Di batas kesabaran

1381 Kata
Bukan yang pertama kalinya ia merasa seperti ini. Kesal? Pasti. Marah? Sudah jelas. Kecewa? Sangat. Meskipun ini bukan yang pertama, tetapi perasaan sebelumnya tidak sesakit saat ini. Yang ia minta hanya satu, masa SMA yang bahagia. Sudah cukup dia menjadi yang tertutup selama ini. Ia mulai merasakan bagaimana bahagianya berkumpul, tertawa, membicarakan sesuatu yang belum pernah ia bicarakan. Ia hanya merasa, saat ini ia bisa lepas, merasa bahwa menjadi pemberani bukanlah hal yang menakutkan. Menjadi orang yang percaya diri bukanlah hal yang berat. Bersama Ardan ia mulai melepas semua itu. Adel merebahkan tubuhnya di kasur dengan mata yang menatap langit-langit kamarnya. Disela-sela lamunannya ia teringat sesuatu. Diliriknya jam di dinding. Jarum pendek menunjukan angka sembilan dan jarum panjang di angka enam. Tak berapa lama suara decitan pagar terdengar. "Bunda," gumamnya seraya beranjak turun dari kasur. Bunda baru saja membuka pintu, wajahnya tampak lelah. Baru saja ia ingin menanyakan alasan keterlambatan Bunda pulang ke rumah tidak seperti biasa, tetapi Bunda sudah langsung menjawab. "Pesenan kue lagi banyak, sayang, tidur sana udah malam." Adel hanya mengangguk lemah lalu membalikkan badannya. *** Adel merasa ada yang aneh pada dirinya, ia seperti tidak enak badan. Rasanya malas sekali berangkat sekolah. Namun, ia tetap memaksa diri berangkat sekolah. Ketika ia ingin memasuki ruang kelasnya, suara yang mengucapkan namanya terdengar jelas di telinganya. "Hai!" sapa orang itu. Adel tersenyum, semangatnya tiba-tiba saja muncul. "Hai juga." "Masalah yang kemaren, gue pikir gimana kalo mulai pulang sekolah nanti kita belajar untuk persiapan ujian?" "Aku setuju." "Ya udah kalo gitu, dadah Adel," ucap Ardan sangat manis seraya menggerakan telapak tangannya ke kanan dan kiri. Adel pun dengan kekehan mengangkat tangannya untuk membalas lambaian tangan Ardan. *** Reynald memandang satu persatu anak muridnya. Sepengetahuannya anak itu berkelas di sini. Namun, ia belum melihat anak itu sama sekali. Ia tersenyum miring lalu berdeham pelan meminta perhatian penghuni kelas. "Itu bangku yang kosong tapi ada tasnya punya siapa?" "Ardan, Pak Rey." Salah satu muridnya berucap. Reynald menaikkan satu alisnya. "Sekarang di mana orangnya?" "Bolos kali, Pak," jawab asal salah satu siswi berambut ikal. "Woy sembarangan aja! Kalo Ardan bolos dia bakal ngajak gue." Murid yang Reynald yakini teman Ardan turut membela. Baru saja ia ingin berucap, seseorang yang tengah dicari datang. "Permisi." Reynald memandang rendah murid laki-laki di hadapannya itu. "Abis bolos ke mana? Kenapa nggak sampe jam saya habis aja?" "Maaf, Pak. Tadi saya ada halangan, saya lupa ngasih tau Pak Rey." "Tidak perlu alasan jika berhadapan dengan saya. Anak seperti kamu nggak bakal kapok kalo saya hanya menugaskan hal-hal berat. Ikut saya ke lapangan," ucapnya dingin menciptakan suasana tegang seketika. *** Tak henti-hentinya ia tersenyum, ia tidak menyangka bahwa Ardan mau membantunya. "Dadah juga Ardan." Setelah mengucapkan itu Adel bun berbalik melanjutkan perjalanannya tadi. Tak lama dari itu suara derap langkah yang cepat terdengar oleh indra pendengarnya, langkah itu seperti mengarah padanya. Belum sempat ia melihat ke belakang, tiba-tiba saja sebuah lengan dengan membawa jaket menutupi pinggangnya dari belakang. Kini orang di belakangnya menempatkan mulutnya tepat di telinga Adel. "Lagi 'dapet', ya?" Adel tidak menjawab, ketika berada pada jarak yang sedekat ini ia hanya dapat mengatur degupan jantungnya. "Untung gue liat tadi," sambungnya. Tangan itu bergerak mengaitkan jaketnya agar menutupi 'noda' yang ada di rok Adel. Setelah itu, ia menjauhkan dirinya pada gadis itu. "Bawa pembalutnya?" Adel menggeleng sebagai jawaban. "Oke, ikut gue." Lalu Ardan menarik pergelangan tangan Adel dan mengajak gadis itu untuk berdiri di depan pintu toilet wanita. "Lo tunggu sini jangan ke mana-mana." Setelah itu Ardan berlari entah ke mana. Sudah lebih dari setengah jam Adel menunggu, sebenarnya ia masih bingung apa yang sedang dilakukan Ardan sehingga membuat ia harus menunggu orang itu selama ini. Tak berapa lama orang yang sedang ditunggunya menampakan diri dengan membawa kantong hitam berukuran sedang. "Nunggu lama ya? Sorry ya, hehe. Abis gue bingung tadi pas nyari pembalut buat lo. Belum lagi gue harus ngumpet-ngumpet ngambilnya. Malulah gue kalo ketauan pembeli lain." Adel membelalakan matanya tak percaya. "Kamu?" "Iya udah ini, gue juga tadi sekalian ke koperasi dulu beli rok buat lo. Lo nggak bakal betah kan pake rok itu." "Dan--" Lagi-lagi kalimatnya harus terpotong. "Dah cepet sana ganti, kita udah telat setengah jam ini." Dia pikir ia akan di marahi Bu Beti, berhubung sekarang adalah jam pelajaran beliau. Ternyata, Bu Beti tidak seperti biasanya, setelah ia menjelaskan alasan ketelatannya, Bu Beti mengijinkan dia masuk tanpa harus dihukum. *** Koridor ini tiba-tiba saja sangat ramai, dengan beberapa anak yang berlarian menuju lapangan bola. Belum sempat ia bertanya, ia mendengar satu nama yang pada detik selanjutnya membuat ia ikut mengarahkan kakinya menuju tempat yang sedang dituju orang-orang sejak tadi. "Ardan dihukum Pak Rey." *** Dengan susah payah Adel menerobos kerumunan murid yang sedang mengerumuni lapangan. Usahanya pun berhasil, ia berdiri dibarisan paling depan sehingga dapat melihat jelas apa hukuman yang diterima Ardan. Ia berjongkok mengitari lapangan basket dengan diiringi riuhan tawa dari murid-murid lain. "Ardan kenapa?" "Katanya sih, dia bolos pelajaran Pak Rey." Entah suara darimana yang menjawab pertanyaannya. Adel sungguh tak menyangka bahwa Rey tega menghukum siswanya seperti ini. Dihukum lalu disoraki pasangan yang komplit untuk memberikan sangsi kepada seseorang. Seharusnya tidak seperti ini, hukuman ini sungguh keterlaluan. Dengan tangan yang mengepal dan napas yang memburu ia mengghampiri seorang laki-laki yang tengah berdiri tegap dengan tangan yng saling bertautan di belakang tubuh. "Pak Rey, Bapak nggak bisa semena-mena begini!" Adel memandang tajam orang biasa ia panggil Mas Rey itu. "Bapak udah menghukum orang yang salah, kalo emang mau menghukum orang itu adalah saya!" Adel benar-benar memposisikan dirinya murid dan laki-laki di hadapannya itu adalah guru. Reynald memandang gadis itu yang sedang menatapnya tajam. "Kalo memang tidak mau dihukum tidak usah melanggar," jawabnya santai. "Bapak nggak bisa menghukum orang yang tidak salah. Bapak menghukum tanpa mengetahui penyebabnya. Apa itu bisa disebut pendidik?" ucap Adel sarkastis. "Dia ... dia nggak salah. Ardan cuma membantu aku," katanya dengan nada rendah. Ia berusaha meredam emosinya yang bergemuruh. Meskipun seperti itu ia tidak bisa menahan air mata yang sudah menggenang di kantung matanya. Cairan bening itu menetes karena bentuk luapan emosi. Rey masih bergeming, melihat itu Adel langsung berlari kembali menuju lapangan. Teman-teman Ardan terlihat sedang mengusir murid-murid yang masih saja menjadikan Ardan tontonan gratis. Bahkan Kevin yang biasanya menggoda cewe kini malah membentaknya. Ardan tampak kelelahan karena harus mengitari lapangan dengan berjongkok. Mungkin hukuman itu tidak seberapa dibanding hukuman yang ada di sekolah militer. Namun, fakta bahwa Ardan melakukan hukuman yang bukan kesalahannya suatu hal yang tidak bisa diterima Adel. Belum lagi melihat reaksi teman-teman sekolahnya yang malah menertawainya. Tidak ada yang bisa dilakukan Adel selain berdiri di pinggir lapangan menunggu Ardan menyelesaikan hukuman itu. *** Lima kali putaran dan itu cukup menguras seluruh tenaga laki-laki itu. Kini ia sedang menelentangkan tubuhnya di tengah lapangan. "Ardan!" Suara itu sontak membuat empunya badan memaksa berdiri. Tubuhnya sangat sangat lelah kakinya bagai jelly yang tidak memiliki tulang sangat lemas. "Ap-" Ucapannya terhenti karena sepasang tangan yang melingkar di pinggang laki-laki itu dengan tubuh yang bergemetar. Tangan Ardan terangkat untuk membalas pelukan itu. "Kenapa, Del-?" "Kamu yang kenapa?!" Adel membentaknya. "Kamu kenapa ngelakuin hukuman itu, kenapa nggak ngebela diri, kenapa kamu mau jadi bahan ketawaan mereka?!" lanjutnya seraya terisak. "Itu bukan salah kamu," lirih Adel. Ardan tak menjawab hanya mengelus rambut dan punggung Adel. Terus ia lakukan sampai gemetar tubuh itu berhenti seiring isakan itu mereda. Ardan mulai berbicara ketika Adel dirasa sudah tenang. "Del." Lalu ia mendekatkan mulutnya mendekati telinga gadis itu. "Peluk-peluknya jangan di sini dong, malu tauk," bisik Ardan sambil tersenyum geli. Lantas gadis itu melepas pelukannya dan mendorong bahu Ardan untuk menjauh. Hal itu menimbulkan gelak tawa dari Ardan. "Resek!" desisnya seraya mengusap air mata yang masih berada di pipinya. "Ih, kasar ngomongnya." Adel ikut tertawa dengan jawaban Ardan. Namun, setelah itu mereka seperti mengingat sesuatu. Keduanya segera menengok ke sekelilingnya. Benar saja, kelima teman-temannya sedang berada tidak jauh dari mereka memeragakan memeragakan orang yang sedang menangkap nyamuk. "Nyamuknya banyak ya? Duh, nyamuk nih nyamuk," kata Aldi yang dibalas anggukan oleh teman-temannya yang lain. "Ih, kalian, masa pelukan berdua aja. Rame-rame dong," kata Kevin sambil berlari menghampiri Adel dan Ardan, yang disusul dengan temannya yang lain. Ardan langsung menggamit pergelangan tangan Adel mengajaknya berlari. "Kabur, Del. Bisa cacar air kita dipeluk sama mereka." Adel hanya bisa tertawa dengan tangan yang masih ditarik Ardan yang mengajaknya berlari.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN