Titik Terendah

1004 Kata
Nama itu memang sangat familiar di telinganya. Bukan karena ia mengingat nama panjang saudaranya, tetapi karena itu adalah nama Ardan. "Ruangan pasien bernama Arfabian Putra Elramdan di mana, ya?" ucap Dion tergesa. Iris mata yang sama. Ikatan batin yang selama ini mereka rasakan. Seharusnya itu sudah cukup menyadarkan mereka bahwa mereka memang memiliki ikatan. Adel berlari keluar restoran itu. Berusaha mengejar Ardan yang entah ke mana. Motor besar itu melaju kencang membelah ramainya jalan raya. Sekuat tenaga Adel berteriak memanggil nama Ardan. Air mata terus berebut keluar. Bahkan tak hanya air mata, isak tangis mulai keluar dari bibirnya. Adel memegang dadanya yang terasa menyempit, ia tundukan kepalanya seiring tubuhnya yang bergetar. Kakinya tak mampu menopang berat tubuhnya, ia terduduk lemas di parkiran restoran. Isakan itu makin terdengar bahkan menjadi raungan. Bunda dan papanya berlari keluar. Bunda terlonjak melihat kondisi putrinya itu. Ia lalu menyambar tubuh yang hampir meringkuk di jalanan. "Bun ... sa-sakit...," Bunda mengelus tubuh gemetar Adel. "Sakit, Bundaa!" "Iya, sayang Bunda tau." "Bunda nggak tau! Bunda nggak tau dan nggak akan pernah tau! Cuma Adel yang tau Bunda." Napasnya tercekat. "Cuma Adel." Adel sesenggukan dadanya makin terasa sesak hingga ia tak bisa lagi berkata. Dengan hati yang sama hancurnya Bunda membopong Adel kembali ke mobil. Papa menuntun mereka memasuki mobil itu. Sorot matanya kacau. Ia merasa tak becus menjadi ayah. Merasa bukan seorang yang pantas dipanggil ayah. Dia sudah melukai bahkan mungkin membunuh perasaan kedua anaknya. Setelah mobil yang ditumpangi mantan istrinya dan anaknya berlalu. Ia memukul-mukul kepalanya, terus memukul hingga sopir pribadinya datang dan menyudahi tingkah kalap majikannya. *** Ardan memukul, menendang, meninju pohon besar di taman itu. Terus meninju tanpa ia sadari darah segar menghiasi tangannya. Bahkan kepalanya ia benturkan ke batang pohon besar yang keras itu. Ia berteriak sekeras mungkin kemudian tangisan menyusul setelahnya. Ia tertawa akan takdir yang menimpanya. Mungkin kewarasannya saat ini sudah patut dikhawatirkan. Tubuhnya luruh dan bersandar di pohon itu. Darah yang mengucur di pelipisnya bersatu dengan air mata yang jatuh. Ia menekuk kedua lututnya membenamkan wajahnya di sana. Malam itu, titik terlemah bagi semuanya. Empat hati yang hancur karena ketidakberdayaan diri. Jika, boleh mereka meminta, saat itu keempat hati itu memohon tempat yang indah untuk dandelion singgah. Itu pun kalau angin mendengarkan. *** Sudah seminggu ini Adel tidak keluar kamar hanya jika ingin ke kamar mandi saja. Bu Ratna dan Pak Ramdan sudah membicarakan masalah ini. Berusaha bersikap dewasa dengan pikiran yang dingin. Dan satu keputusan sudah ditetapkan. Adel memandang baju seragam itu. Seragam berisi harapannya yang diakhiri dengan bentuk hati di bagian punggungnya. Air mata terus mengalir. Lalu benda lain, bandana polkadot, awal dari semua ini. Kemeja cokelat yang baru ia pakai kemarin. Ia mengingat saat-saat Ardan menggenggam tangannya kala lantunan lagu bahasa kalbu dinyanyikan oleh salah satu temannya. Kini satu tangannya membekap mulutnya, menghindari suara isakan tangis yang keluar. Ia memasukan semua itu di dalam sebuah kotak kayu. Adel kembali menyapukan pandangannya ke penjuru kamarnya itu. Semuanya sudah rapi, barang-barangnya usai dirapikan dan di simpan dalam sebuah kardus atau koper besar. Besok pagi ia akan segera berangkat ke negara yang akan menjadikan salah satu harapannya terwujud. Semua sudah siap, tetapi ada satu yang jangan sampai terlewat sebelum ia berangkat besok. Ia mengusap cairan bening yang membasahi sebagian wajahnya. Adel menghirup napas dalam-dalam lalu beranjak keluar kamar. "Adel, kamu mau ke mana sayang? Kamu harus istirahat besok pagi 'kan udah harus ke bandara." Adel mengulum senyum menenangkan untuk bundanya. "Aku mau ke suatu tempat dulu, Bun. Adel janji nggak kemaleman udah pulang kok." "Ke mana? Bunda anter aja." Adel terkekeh. "Nggak usah, Bun, Adel bener-bener udah nggak pa-pa kok." Bunda menatap ragu Adel yang memasang senyum menenangkan. "Adel berangkat dulu, ya." Setelah ia berbalik dan berjalan keluar setetes air mata kembali jatuh. Ia menyetop taksi dan masuk ke dalamnya. Air mata kembali menetes deras dari matanya. Salah satu hal terberat baginya adalah ketika harus mati-matian tersenyum dibalik air mata yang memaksa keluar. Taksi itu berhenti di suatu tempat yang dituju Adel. Ia keluar dan dengan perlahan berjalan menuju tempat itu. Ia merapatkan tubuhnya dengan kedua tangannya ketika embusan angin menerpa sekujur tubuhnya. Rumah pohon. Adel memanjat pohon itu. Sekelebat kenangan yang pernah ia lakukan di sini kembali membuat air matanya menetes. Namun, ketika ia berhasil memasuki benda berbentuk kotak yang berada di atas pohon itu napasnya tercekat. Ritme jantungnya terasa memompa lebih cepat dari sebelumnya. Waktu terasa berhenti sejenak ketika iris mata yang sama dengan yang ia miliki itu bertubrukan dengan matanya. "A-Alpa." "Princess." Ardan langsung menerjang tubuh cewe itu. Mendekapnya, mencurahkan seluruh perasaanya selama seminggu ini. Dalam pelukan itu emosi keduanya bercampur padu. Adel sama memeluk tubuh cowo itu erat. Isakan yang ia tahan tumpah begitu saja. Mereka rapuh, hancur, luluh lantak, bersama tangisan itu mereka luruh. "Ini bener-bener nyata?" "Nyata. Ini nyata," ucap Ardan di pucuk rambut Adel. Ia mencium pucuk rambut cewe itu, menciumnya lamat-lamat. Menyalurkan perasaan rindunya, kasihnya. Pelukan itu terurai oleh keduanya. Ditatapnya wajah sendu perempuan di depannya itu. Ardan tersenyum. "Kita ketemu lagi." Adel bergeleng. "Ini cuma mimpi. Aku lagi mimpi, 'kan?" Ardan mengusap rambut cewe itu. "Ketemu sama Alpa mimpi buruk?" "Bukan ini yang aku mau," lirih Adel. "Bukan dengan cara ini." Ardan kembali mengusap air mata yang keluar. "Sst, denger ini cara yang paling indah menurut Alpa. Kenapa? Karena ini menunjukan bahwa ikatan kita kuat. Alpa sayang Princess sampai kapan pun. Itu pun yang kamu rasakan saat ini. Tapi bukan perasaan sayang antara laki-laki kepada perempuan. Perasaan ini adalah ikatan sayang antara saudara kembar." Ardan kembali memeluk Adel. "Jangan menyesalkan semuanya, ya." *** Setelah tangisnya reda, Adel duduk di pinggir rumah pohon itu. Membiarkan kakinya bergelantungan. "Besok aku mau ke Paris," ucap cewek itu memecah kesunyian. "Princess ninggalin Alpa lagi." Adel menatap cowo di sampingnya. Ardan terkekeh. "Bercanda." Ia kembali menatap langit malam itu. "Harapan lo bakal tercapai." "Sama kayak harapan gue, 'semoga hubungan kita nggak bakal terputus', jelas nggak putus orang kita satu darah." Entah mengapa ucapan Ardan masih terasa sakit di dengar oleh Adel, walau diucapkan dengan gaya nyantai ala Ardan. "Kenapa Ardan?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN