Masih Perawan

1481 Kata
Seorang gadis berambut pendek memakai blazer abu-abu datang dengan keadaan wajah penuh intimidasi di ambang pintu. Bahkan, kedua bola matanya sibuk melihat setiap sudut kamar indekos yang tadinya cukup berisik kini terdiam saat dirinya membuka pintu kamar itu. “Rauna, kau ngobrol dengan siapa tadi?” tanya Putri yang menatap Rauna dengan tajam. Rauna menghela napas dengan tenang. Ia begitu lega hati dan jiwanya jika yang datang bukanlah manajer yang akan menjemputnya malam ini. Gadis itu pun menoleh ke arah belakang. Syukurlah, dia bisa gerak cepat. “Eh, gak ada siapa-siapa kok. Lo salah dengar kali. Gue tadi cuma setel musik doang di kamar. Ya, pas ada yang ketuk pintu gue matiin musiknya,” kilah Rauna bola matanya bergerak ke segala arah yang menandakan gadis itu berbohong. Jantung Ruana berdebar lebih kencang, kalau Putri melewati dirinya dan beralih ke depan lemari besarnya. Aduh, ngapain si Putri ke situ? Si Killer ngumpet di mana sih? Putri pun menatap lemari itu yang tampak mencurigakan. “Lemarinya bagus, lo baru beli?” “Ah, gimana?” Rauna mendadak tuli saking berdebarnya. “Jadi, yang tuli gue apa lo sih? Lemari ini, baru apa kredit?” Rauna mendengus kesal. “Sembarangan, lo! Gue MC papan atas, tidak ada sejarahnya kredit apalagi pinjol! Lo mau ngapain ke sini mendadak?” Tatapan Rauna semakin mendesak seakan tubuhnya begitu lemas “Hehehe … gue mau numpang toilet. Bentar ya.” Putri terbirit-b***t pergi ke toilet. Gadis yang masih membuang hajat itu sedang berandai-andai sebelum keluar dari dalam toilet. Ia merasa ada yang berbeda dari sahabatnya itu saat dirinya tak sengaja mampir ke indekosnya. Ada sejuta benak pertanyaan yang ingin ia lontarkan, tetapi entah apa yang akan menjadi buah pertanyaan tersebut. “Apa Rauna sedang berbohong denganku?” Putri merapikan rambutnya sebelum keluar di depan cermin. Alat pendengarnya masih berguna dengan baik selama ini, bahkan sebelum ia mengetuk pintu kamar Rauna benar-benar mendengar suara yang tak asing. “Tapi, siapa? Setahuku, Rauna malas bergaul dengan orang?” Pertanyaan-pertanyaan itu, ia tepis sementara. Tubuhnya harus keluar dari tempat hajat ini, ia harus segera menyelesaikan misi dengan client kerjanya. “Rau, terima kasih ya. Sudah menampung jadi wc umum gue, he-he-he.” Rauna melirik tajam ke arah Putri. “Bahasa lo itu loh nampung! Emang gue septic tank berjalan! Lain kali, gak gratis ya. Air buat nyiram emas lo, juga bayar!” Putri meraih tangan Rauna. “Ye, kan lo sahabat gue masa bayar sih.” “Whatever, gak ada kata sahabat kalau urusan cuan mah. Lo mau ke mana sih?” tanya Rauna. “Biasa, client mendadak. Mau rias orang lamaran,” sahut Putri. Bola mata Putri tetap saja sibuk menatap tajam ruangan penuh misteri ini. Gelagat Rauna tak seperti biasa menyambut dirinya yang seperti penuh tekanan dan ketakutan yang melanda. “Rias orang lamaran mulu gak iri gitu pingin dilamar juga?” “Enggaklah, emang lo apa-apa baper. Dibentak Pak Arga aja baper, sampai mau adu mulut kena hukuman baru nyaho lho.” Badan Arga yang merasa engap, ditambah udara di dalam ruangan sempi berbau kamper yang kurang Arga sukai membuat bulu roma hidungnya, ingin bersin. “Aaa ….” Tangan Arga segera menangkup mulutnya sendiri yang hendak bersin. “Eh, kok kayak ada orang mau bersin?” Putri melihat ruangan yang kiranya berarah ke sumber suara. Gadis itu mencegah sahabatnya yang hendak mengeceknya. “Eh, apaan sih! Gak ada siapa-siapa, kok. Noh client lo, udah jadi kuda kelamaan nunggu.” Putri menutup pintu itu kembali. Rauna mengamati dari luar dan setelah aman ia segera menguncinya. Senam jantung sekarang menjadi bagian dari hidupnya. Menikah dengan Arga secara diam artinya dirinya harus pandai menjaga rahasia demi karier dan martabatnya di kampus. “Huh, aman! Eh, si killer ngumpet di mana ya?” gumam Rauna. Gadis itu mengecek semua ruangan kecil di kamarnya. Namun, ia tidak berhasil menemukan suaminya di dalam. “Di mana sih tuh orang? Tidur apa kabur?” “Pak Arga? Pak Arga di mana? Putri sudah pulang, nih,” Rauna memanggil sambil melihat sudut area kamar. “Ini dosen tuli apa gimana sih? Apa mesti, gue sewa toa komplek biar langsung syok?” Tidak mendengar jawaban apa pun di dalam, gadis itu mulai menimbulkan rasa khawatir. Bagaimana jika, setelah datangnya dosen killer ke kamarnya ada berita ‘Dosen hilang di kamar mahasiswanya?’ “Jangan-jangan dari tadi diam aja … apa dia ….” Rauna segera berjalan menuju lemari besar yang belum sama sekali ia cek kembali Badan Arga terjatuh tepat di kasur empuknya. Gadis tu sangat kesal dengan suaminya. Ia yang sedari tadi sedang menahan rasa khawatir akan ketahuan dirinya malah asyik mimpi ke pulau kapuk. “Ye … dia beneran tidur? Gila sih ini sepanjang gue punya teman kayaknya baru dia yang keterlaluan di saat aku panik!” Gadis itu menggaruk kepalanya yang tidak gatal dengan berjalan ke sana kemari. Ia pun mencoba untuk memegang tubuh Arga dan menggoyang-goyangkan agar dosen itu segera membuka matanya. “Pak Arga bangun dong. Woy, ini kamar orang! Bukan tempat penginapan!” Tak ada respon dari Arga sedikit pun membuat gadis itu sedikit berpikir untuk menghalalkan segala cara agar Arga segera bangun dari tidurnya. Ia mengambil anak sapu dengan mencabutnya. “Semoga, dia langsung bangun.” Ia mencoba memasukkan anak sapu ke lubang hidungnya. Bukannya bangun malah alat untuk menghirup oksigen bertambah kembang kempis. “Gagal? Dia manusia apa kebo sih? Apa gue kodek pakai centong?” Ia pun mengambil alat pengambil nasi dari dapurnya. Ada garpu, sumpit, sedotan stainless juga untuk uji coba. Rauna menabok sedikit ke pinggangnya Arga. Namun, bukannya terbangun malah keenakan seperti mendapat doorprize pijat pijat gratis. Gadis itu mencoba lagi dengan gagang supit. Ia memasukan ke hidung, dan telinga juga tetap gagal. “Duh, capek! Mana ngantuk. Si Elmo lama bener deh, jemputnya. Biar gue pergi gitu dari kamar ini,” Rauna menggerutu kesal dengan Arga yang sulit untuk dibangunkan dan juga dengan manajernya itu yang sering tidak tepat waktu. Tiba-tiba ia mendapat pesan pendek dari notifikasi ponsel pintarnya. Elmo : Rau, acaranya diundur. Jadi, gue jemput lo gak jadi jam 5 tapi jam 7. “Mau heran, tapi ini Indonesia. Seneng banget sih sama jam karet. Mulur-mulurin acara buat orang males aja. Mana ngantuk banget. Apa gue tidur dulu ya? Lumayan dua jam.” Gadis itu menarik selimut, saat matanya hendak terpejam ia baru ingat kalau ada Arga di sampingnya. “Lah, ini gimana ceritanya? Tidur barengan begini, bagaimana kalau dia grepe-grepe gue? Bisa hilang, virgin gue.” Konon katanya, jika bujang telah lama melepas masa lajangnya akan mudah terbawa naluri kelakiannya. Apalagi Arga, seorang dosen dan Rauna gadis yang masih segar-segarnya menjadi bunga yang mudah diambil nektarnya oleh sang kumbang. “Ih, ini badan apa drum krupuk sih. Berat banget.” Rauna menggigit giginya, badan kecil yang tak mampu mengangkat Arga untuk dimasukkan ke lemari lagi. Padahal hampir sudah sampai, malah ia dan Arga sampai terjatuh kembali ke kasur. Badan Rauna berada di bawah, sedangkan badan Arga berada di atasnya Rauna. Gadis itu pun ternganga, ia kaget menemui pemandangan seram itu. Pemandangan, yang menyebabkan dirinya harus dipaksa warga untuk menikah. “Aduh … ini gimana bangunnya si Killer kenapa biasa di atas lagi sih?” Rauna menghela napas, ia belum bisa bangun dengan tubuh Arga yang lebih besar darinya. “Huh … Bismillah Rauna, yuk bisa yuk.” Rauna mengangkat kembali tubuh kekar itu. Dan. Mereka pun ambruk kembali di atas kasur. “Ya ampun, gagal lagi … duh, kalau kayak begini apa gue yang tidur lemari? Alamak, yang bayar indekos gue masa dia yang menempati fasilitasnya sih?” Rauna sedang berperang diri dengan batinnya, seharian kuliah membuat dirinya mudah lelah apalagi ditambah kerja. Mau tak mau, ia membiarkan Arga tertidur di sampingnya. Namun, Rauna memakai baju double dengan selimut. Ia takut di grepe dalam keadaan tidur, belum lagi kalau suaminya tinggi hati dikira dipindahkan tidurnya. Suara azan berkumandang, Arga pun mencoba membuka bola matanya. Suara indah itu, yang selalu menjadi alarm yang ada di dalam ponsel pintarnya. “Astaghfirullah, aku satu ranjang dengan siapa?” Arga kaget, melihat gadis cantik macam putri tidur abadi. Ia pun memeriksa bajunya yang masih utuh, kancing bajunya juga masih aman. “Saya kan tadi di lemari, kenapa dia mindahin aku?” Jam 7 malam, manajer Rauna hendak menjemputnya untuk datang ke lokasi show. Gadis itu sibuk mencatok rambut panjangnya. Malam ini, ia mendapat show dengan bayaran tinggi tetapi dengan melepas hijabnya. “Kau mau show atau mau jual diri?” Ruana menatapnya lewat cermin riasnya. “Bukan urusan, Pak Arga! Gak semua cewek cantik itu jual diri ya.” “Gaun yang kau pakai terlalu minim dan ketat. Tanggapan apa ketika orang melihat selain mengatakan wanita malam atau jangan-jangan ….” “Saya masih perawan ya! Jangan menuduh tanpa bukti begitu!” Rauna kesal, sebab setinggi apa pun tawaran untuk check in ke hotel selalu ditolak untuk suami tercintanya kelak. “Oh ya? Mana buktinya?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN