Bab 65

2538 Kata
Aku menyalakan lampu kamar setelah memasukinya. Mataku langsung tertuju pada arah jendela kamarku yang masih tertutup rapat. Kelereng kembarku langsung melirik ke arah jam dinding di mana waktu sudah menunjukkan angka 10 malam. Mungkin Hellen sudah tidur di kamarnya. Atau mungkin saja gadis itu masih ada di luar, berkencan dengan pujaan hatinya.   Aku tidak mendengar suara apa pun dari kamar gadis itu, dan aku memang tidak ingin mendengarnya saat ini. Sejujurnya aku masih merasa marah, kesal, sekaligus kecewa dengan apa yang baru saja kuketahui tentang hubungan di antara mereka berdua. Seharusnya aku sudah tidak perlu terkejut dengan apa yang terjadi.   Namun aku tidak bisa membantu hatiku sendiri yang merasa seolah telah terkhianati akan hubungan mereka berdua, karena aku sendiri juga secara tidak tahu diri telah menaikkan harapanku hingga melambung tinggi akan kelanjutan hubunganku dengan Hellen sedari kemaren. Aku sungguh merasa kecewa dan sakit hati.   Aku lebih kecewa akan diriku sendiri yang benar-benar tidak tahu diri ini. Perasaan narsis yang tiba-tiba memenuhi pikiranku ini membuatku menjadi seorang pecundang cinta yang sejati. Aku yakin Jason tengah menertawakanku sepuas hati sedari tadi. Aku lebih kesal memkirkan hal itu. Ini sungguh menyebalkan.   “Ck!”   Aku mendecakkan lidah. Kakiku melangkah semakin memasuki ruang kamar. Kuletakkan bungkusan ponsel yang kubawa sedari tadi di atas meja nakas. Setelah itu aku melepaskan jaket yang kukenakan dan menyampirkannya di tempat sampiran. Aku duduk di tepi ranjang.   Kembali aku merogoh saku celana untuk meraih ponsel baruku hanya untuk menyalakan layarnya saja. Di sana ada foto kecilku dan Hellen yang tersenyum lebar ke arah kamera. Aku memerhatikan dengan lekat foto itu. Sengaja aku memakainya sebagai wallpaper ponsel karena bagiku itu adalah foto termanis di antara semua foto yang aku punya.   Aku mengusap layar ponsel yang menunjukkan foto kami dengan sayang. Apa yang harus kulakukan? Perasaanku sudah terlanjur tenggelam dalam sebuah lautan asmara kepada Hellen tanpa bisa kucegah lagi. Perasaan yang selama ini kupendam, akhirnya siap kuluapkan setelah sekian lama, namun semua itu harus berhenti di tengah jalan begitu saja.   Apa yang harus kulakukan dengan sebagian cinta yang terlanjur terbebas dari belenggunya ini?   “Hahh.” Aku mendesah lelah. Kuletakkan kembali ponsel itu di atas meja nakas, berdampingan dengan bungkusan itu. Aku bergerak bangkit berdiri dan mendekati cermin. Memerhatikan beberapa memar di wajahku yang terpantul dalam pantulan kaca, nampak sudah mulai menghilang.   Mataku menoleh ke arah aidband yang telah ditempelkan oleh Halsey sebelumnya. Dengan santai aku membuka kembali perban itu. Sudah kukira. Luka sobekannya telah menutup seperti sebelumnya. Mungkin besok semua memar itu akan kembali sembuh tanpa ada bekas lagi.   Aku membuang bekas aidband itu ke dalam keranjang sampah. Selanjutnya mataku menoleh ke arah perban pada tanganku yang berada di atas meja nakas. Kugerakkan jemariku sedikit dan merasakan bagaimana pergerakan otot-ototnya. Kurasa luka itu juga akan secepatnya sembuh.   Aku kembali mengingat pertemuanku dengan Halsey tadi. Perlukah aku menceritakan pertemuanku dengan wanita itu pada professor Robert? Aku pikir tidak ada gunanya bukan? Wanita itu tidak ada hubungan dengan masalahku dan professor Robert mengenai cairan ini. Lagi pula aku yakin bahwa Halsey sepertinya percaya tentang salah penglihatan mata akan besarnya luka tusukan itu.   Keadaan saat itu memang cukup gelap untuk Halsey bisa melihat lebih jelas, dan itu menguntungkanku untuk mengelabuhi ingatan Halsey. Aku beralih melangkah menuju kamar mandi untuk mencuci wajahku sebelum mengambil tidur.   Sementara di pinggir jalan yang cukup sepi, sebuah mobil pribadi telah berhenti di tempat. Menyimpan seorang wanita cantik yang ada di dalamnya. Wanita itu hanya duduk diam di balik pengemudi dengan pikiran yang tengah berkelana ke mana-mana sedari tadi. Rambut pendeknya diikat kuda, menyisakan helaian anakan rambut yang membingkai wajah cantiknya.   Kedua tangannya yang bertengger di atas pengemudi kini mulai meremas dengan cukup kuat setelah sedari tadi sibuk mengetuk-ketukan ujung kuku rapinya. Wanita itu nampaknya telah memutuskan sesuatu yang penting setelah lama berpikir lamat sedari tadi.   Dengan sedikit tergesa-gesa, wanita itu meraih ponsel pribadinya yang tersimpan di atas dashboard mobil dan mencari kontak penting di dalamnya. Tanpa ragu wanita tersebut memencet tombol panggil setelah menemukannya.   Tutt! Tutt! Tutt! Terdengar dering ponsel dari seberang yang menunggu jawaban. Hingga akhirnya sambungan itu terjawab oleh pihak seberang.   “Halo Halsey?”   “Kakak, apa kau ada waktu?” tanya Halsey tanpa basa-basi lagi.   “Aku ingin mengatakan ada, tapi kau tahu bagaimana sibuknya pekerjaanku ini bukan?” Halsey memutar kedua bola matanya merasa jengah mendengar jawaban yang sudah terlampau biasa baginya itu.   “Pulanglah. Aku menunggumu di rumah.”   “Beri aku alasan yang tepat sehingga aku mau meninggalkan pekerjaan penting ini. Kenapa?”   “Aku menemukan sesuatu yang tidak akan mungkin kau sesali jika kau pergi meninggalkan pekerjaanmu saat ini, tuan Ryan.”   “Hahaha, sungguh? Kalau begitu aku akan secepatnya datang ke tempatmu. Tapi kenapa kita tidak bertemu di tempat kerjamu Halsey?”   “Kau akan tahu nanti. Sudahlah. Aku akan menunggumu di rumah. Cepatlah datang.”   “Baiklah, baiklah. Tunggu aku adikku sayang.”   Klik! Akhirnya sambungan telepon diputus oleh Halsey. Setelah meletakkan ponselnya kembali ke tempat semula, Halsey akhirnya kembali menyalakan mesin mobil dan mengendarainya pergi dari tempat itu menuju arah pulang.   “Halsey,” suara seorang pria yang baru saja memasuki rumah Halsey. Halsey yang tengah duduk di atas sofa kini menoleh ke arahnya, dan ikut berdiri menyambutnya. Halsey melipat kedua tangannya di depan d**a dan menyandarkan pantatnya di punggung sofa. Kedua bola matanya menatap Ryan –kakak kandungnya yang baru saja datang ke rumah mereka.   “Kau sudah datang? Itu cukup cepat,” jawab Halsey dengan wajah puas menatap pria tinggi itu.   “Seperti yang kau inginkan.” Ryan meletakkan tas kerjanya di atas meja dan sedikit melonggarkan dasi yang dikenakannya sembari berdiri di depan Halsey. “Jadi ada apa?”   Ditatapnya Halsey dengan tatapan penuh rasa penasaran. Halsey tersenyum melihatnya. Seperti yang dia tahu. Kakaknya itu selalu to the point jika itu menyangkut sesuatu yang penting. Meski mereka berdua adalah kakak beradik yang dulunya sangat akur, bahkan sampai saat ini, tetap saja tidak jarang mereka akan berselisih pendapat di tempat kerja.   Kebetulan Halsey juga bekerja di bawah komando Ryan, karena itu mereka lebih sering bertemu di tempat kerja, dibanding dengan di rumah mereka sendiri. Sejak lama mereka hanya tinggal berdua. Karena itu sebisa mungkin mereka akan selalu berusaha menjaga satu sama lain sebagai sebuah keluarga yang saling menyayangi.   “Kau baru saja pulang. Apa aku perlu membuatkanmu makanan lebih dulu?” tawar Halsey yang lalu bergerak membalikkan diri menuju dapur.   “Cukup kopi saja. Apa kau sudah makan?” tanya Ryan balik. Pria itu juga beralih menuju lemari pendingin untuk mencari sesuatu di sana.   “Belum. Aku baru saja pulang,” jawab Halsey dengan santai. Wanita itu menyalakan api untuk memasak air. Mendengar jawaban itu, membuat Ryan menghentikan gerakan tangannya sejenak dan menatap Halsey.   “Kalau begitu bagaimana jika membuatkanku sesuatu yang ringan untuk dimakan selama aku menunggumu makan?”   Halsey tersenyum kembali mendengar permintaan itu. Ia tahu bahwa kakaknya itu masih perduli akan kesehatannya. “Baiklah. Aku akan membuatkannya.”   Halsey membuatkan makanan ringan sesuai yang dipesan Ryan –kakaknya tadi. Tidak lama kemudian mereka akirnya makan bersama di meja makan. Halsey menikmati makanannya ketika Ryan akhirnya kembali berbicara masalah alasan Halsey memanggilnya pulang.   “Jadi bisakah kau menceritakan apa yang terjadi padaku Halsey?”   “Kak Ryan, apa kau tahu berita mengenai penyerangan seekor monster yang membuat seorang anak muda menghilang?” tanya Halsey memulai pembicaraan penting di antara mereka. Ryan yang telah menyelesaikan makanannya kini meraih gelas yang berisi air untuk diminumnya sembari menatap Halsey dengan lekat.   “Tempat kejadian itu dipenuhi dengan banyak darah yang sudah dipastikan adalah milik anak yang menghilang tersebut,” lanjut Halsey mengingatkan.   “Ya. Aku masih mengingat berita itu. Aku dengar seorang gadis dan pria telah diserang di bangunan kosong. Satu-satunya saksi hidup yang berhasil selamat adalah si gadis yang merupakan teman dekat pria itu. Dari kesaksiannya, monster itu tiba-tiba datang dan menyerang temannya. Memakan bahunya dan membuat genangan darah di sana. Ketika gadis itu pergi untuk meminta pertolongan, baik monster dan teman prianya sudah tidak ada di tempat. Pihak polisi sudah mencari ke arah hutan tapi tidak menemukan jejak. Karena merasa tempat itu berbahaya, maka pencarian akhirnya dihentikan. Tapi sepertinya kudengar anak itu telah kembali dengan selamat bukan? Pihak polisi juga telah melaporkannya padaku. Lalu apa yang ingin kau sampaikan padaku Halsey?”   “Apa kau ingat wajah dan nama dari korban itu?” Halsey menatap Ryan dengan tatapan penuh arti hingga membuat Ryan semakin merasa penasaran dibuatnya.   “Kurasa aku tidak begitu mengingatnya. Kau tahu bahwa aku juga menyelidiki banyak kasus orang hilang akhir-akhir ini bukan?”   Halsey mengangguk maklum. Wanita itu mengusap bibirnya dengan tisu, menandakan dirinya telah menyelesaikan acara makannya. “Ikut aku, Kak,” ajak Halsey kemudian. Ryan menurut dan mengikuti ke mana Halsey menuntunnya pergi.   Mereka kembali ke sofa di mana barang-barang mereka berada. Halsey meraih tas miliknya untuk mencari sesuatu di sana. Lalu menarik selembar kertas yang kemudian diberikannya pada Ryan. Pria itu langsung menerimanya dan melihat apa yang tertulis di dalamnya. Foto Danny dan beberapa laporan kehilangan mengenai dirinya sudah terkumpul di sana.   “Dia ...” Ryan menggantung ucapannya sembari berpikir dengan lamat akan foto Danny.   “Namanya Danny. Danny Rayyan Peter. Dia anak yang ada dalam kejadian itu.” Ryan mengangguk kecil.   “Lalu?”   “Aku baru saja bertemu dengannya Kak.”   “Oh, benarkah? Lalu?”   “Apa kau tidak curiga sedikit pun tentang dia?”   “Memang kenapa? Dia hanya korban yang berhasil selamat dari serangan monster itu Halsey. Aku dengar ada seseorang yang berhasil menyelamatkannya, karena itu dia bisa kembali pulang ke rumah. Lalu apa yang kau pikirkan?”   “Kakak, coba pikirkan dengan lamat. Monster itu telah memakan bahunya, dan itu juga sesuai pengakuan saksi hidup yang melihatnya dengan jelas bukan?”   “Iya, lalu?”   “Aku baru saja bertemu dengannya, dan aku sangat yakin bahwa tidak ada luka apa pun pada tubuhnya.”   “Halsey, kejadian itu sudah sebulan yang lalu. Mungkin saja semua luka itu sudah sembuh,” jawab Ryan dengan santai. Pria itu meletakkan kembali laporan yang diberikan Halsey padanya mengenai Danny tersebut ke taas meja.   “Jangan bodoh, Kak. Apa kau pikir daging yang hilang bisa tumbuh bahkan hanya dalam sebulan?” Gerakan Ryan akhirnya terhenti di tempat ketika mendengar ucapan itu. Dirinya mulai menatap Halsey dengan lekat, baru tersadar bahwa ucapan Halsey ada benarnya.   “Apa kau yakin dia tidak memiliki luka sedikit pun?”   “Aku sudah memastikannya sendiri dengan menyentuh dan melihatnya secara langsung. Aku sempat memeriksa tubuhnya dengan berpura-pura ingin mengobati luka yang lain. Dan aku yakin daging di bahunya itu adalah daging asli.”   “Mengobati?” beo Ryan dengan wajah bingung. “Tunggu, kau bilang kau telah bertemu dengannya?”   Halsey menghela napas dengan panjang. “Dia telah menyelamatkanku Kak. Tadi aku diserang oleh segerombolan berandal di jalan—“   “Apa?! Kau dieserang?!” seru Ryan seketika dengan wajah terkejut bercampur cemasnya pada Halsey. Pria itu langsung mendekati Halsey dan mencengkeram kedua bahunya. Lewat kedua matanya Ryan memeriksa tubuh Halsey, mencari sesuatu yang sekiranya nampak tidak beres pada tubuh kecil itu.   “Di mana? Apa kau terluka Halsey? Kenapa kau tidak mengatakannya padaku?” tanya Ryan dengan wajah khawatirnya.   “Kakak, tenanglah. Aku tidak apa-apa. Danny yang menyelamatkanku tadi. Tapi bukan itu yang terpenting sekarang, Kak.” Halsey melepaskan cengkeraman tangan Ryan pada kedua bahunya. “Kau tahu, anak muda yang berumur 18 tahun seperti Danny, bisa mengalahkan 6 pria besar sendirian. Apa itu mungkin?”   Ryan kembali menatap lurus ke arah Halsey. “Apa dia pernah belajar bela diri?”   “Oh ayolah, Kak. Aku berbicara tentang salah satu korban monster saat ini. Kau tidak akan percaya dengan apa yang kukatakan ini, tapi aku yakin bahwa seharusnya orang yang bahunya baru dimakan oleh monster, tidak akan mudah bergerak selincah itu, bahkan melawan 6 pria sekaligus. Dan lagi aku melihat dengan jelas bagaimana pisau itu telah menusuk telapak tangannya hingga menembus punggung tangan. Itu adalah luka yang lebar. Tapi ketika aku hendak mengobatinya tadi, luka itu tidak sebesar apa yang kupikirkan. Aku yakin luka itu telah menyembuhkan diri, Kak.”   “Hahaha Halsey itu tidak mungkin,” tawa Ryan seketika.   “Kau pikir aku gila?” Halsey menatap Ryan dengan senyuman sarkas di wajahnya, dan tatapan itu membuat Ryan langsung terdiam. “Aku juga berpikir aku telah gila Kak. Tapi aku sangat yakin akan hal itu. Aku sangat yakin akan pikiranku ini karena aku sendiri yang melihat itu semua. Walau begitu samar, tapi aku sangat yakin bahwa aku melihat luka itu menyusut secara perlahan di sana.”   Ryan dan Halsey saling berpandangan dalam diam. Seakan mengerti bahwa kakaknya itu masih tidak yakin akan ucapannya tersebut, Halsey kembali menambahkan penjelasannya itu. “Mungkin kau sudah lupa tentang ini, tapi kita berdua juga telah bertemu dengan Danny beberapa minggu yang lalu di rumah professor Robert. Dia anak yang sedang memakan pizza di sana, Kak. Apa kau tidak mengingatnya?”   Seketika kedua mata Ryan membola lebar menunjukkan bahwa pria itu mulai memiliki pemikiran sama dengan adiknya. “Ya. Dia adalah Danny. Korban yang hilang karena serangan monster waktu itu. Kita sudah bertemu dengan Danny dan melihat sendiri anak itu dalam keadaan segar bugar bukan? Tapi kenapa dia baru pulang ke rumah jauh sebelum hari itu? Kenapa dia berada di rumah professor Robert?   Apa orang yang menyelamatkan Danny adalah professor Robert? Kenapa mereka berdua berbohong mengenai keberadaan Danny? Kau ingat bukan, professor Robert mengatakan apa pada kita? Danny adalah salah satu anak didik professor yang ingin mendiskusikan masalah pelajaran bersamanya. Seolah professor ingin menyembunyikan kebenaran itu!”   Halsey menjelaskan lebih rinci apa yang ada dalam pikirannya ini pada Ryan secara menggebu. Sementara Ryan sendiri mulai memiliki pemikiran yang sama dengan Halsey mengenai kejadian ini. “Dan yang lebih penting lagi, aku takut pemikiranku ini benar kak,” lanjut Halsey. Ryan semakin dibuat penasaran akan ucapan Halsey selanjutnya.   “Apa itu Halsey?”   “Kau sudah melihat monster yang tengah kita teliti bukan?” tanya Halsey dengan tatapan yang masih tidak yakin.   “Kenapa dengan monster itu?” balas Ryan sembari menatap tajam Halsey.   “Monster itu bisa menyembuhkan diri dengan cepat, sama seperti yang kulihat pada luka Danny.”   “Hah? Jadi maksudmu ...” Ryan terperangah tidak percaya menatap Halsey setelah mendengar ucapannya. Ryan pikir Halsey ingin menyangkut pautkan mengenai monster itu dengan penyembuhan Danny yang begitu cepat. Ryan merasa ini terlalu berlebihan, namun dirinya juga tidak bisa memungkiri bahwa pikirannya juga ikut menyetujui ucapan Halsey. Terlebih ketika Halsey sendiri yang telah mengatakan semua ini secara langsung.   Kemampuan Halsey tidak bisa diragukan lagi. Bahkan dia berhasil menjadi ketua dari tim laboratorium khusus mereka di usia yang muda ini. Walau Halsey juga baru mendapatkan title itu, tetap saja itu adalah pencapaian yang sangat luar biasa. “Ini tidak mungkin Halsey. Ini sungguh gila.”   “Karena itu, aku ingin membuktikannya secara langsung Kak,” balas Halsey kemudian dengan mantap.   “Bagaimana?” Halsey kembali merogoh tasnya dan mengeluarkan suatu bungkusan plastik di sana. Diperlihatkannya bungkusan itu pada Ryan. Dengan lekat Ryan memerhatikan bungkusan itu.   “Apa itu?”   Halsey mengangkat ke atas bungkusan itu di depan Ryan. “Ini darah. Dalam sapu tangan ini ada darah milik Danny yang berhasil kusimpan tadi. Aku akan memeriksa darah ini lebih jauh dan melihat apa saja yang terkandung di dalamnya Kak,” tegas Halsey.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN