Pagi hari aku melakukan aktifitas seperti biasa. Bersiap untuk pergi sekolah dan memakan sarapanku bersama Mom dan Dad. Minus Hellen kali ini. Aku sengaja mengulur waktu untu menunggu gadis itu datang ke rumahku. Tapi sampai lama aku menunggu, ternyata gadis itu tidak kunjung datang juga. Aku akhirnya memutuskan menyerah dan berangkat lebih dulu.
Namun ketika aku baru saja membuka pintu rumah dan melangkah keluar, ternyata aku langsung disuguhkan dengan pemandangan Jason yang sudah merangkul pundak Hellen untuk masuk ke dalam mobilnya. Aku terpaku di tempat melihat pemandangan itu. Tanpa sengaja mataku dan Hellen saling bertemu pandang, dan membuat gadis itu akhirnya menghentikan langkahnya untuk memasuki mobil Jason.
Untuk beberapa saat kami hanya saling berpandangan mata dalam diam. Jason akhirnya juga menyadari keberadaanku. Namun secepat Jason menoleh dan menatap tajam ke arahku, aku hanya mengalihkan pandang dan melanjutkan langkah, pergi dari tempat itu.
Toh Hellen sudah memiliki seorang penjaga yang baru sekarang. Akan lebih baik jika gadis itu pergi bersama dengan Jason menggunakan mobil dari pada harus jalan bersamaku menuju alat transportasi kota.
“Ayo Sweety.” Dari telinga tajamku aku bisa mendengar suara samar-samar milik Jason yang menyuruh Hellen masuk ke dalam mobil. Setelahnya, mobil mereka bergerak dan melaju dengan mulus melewatiku begitu saja. Aku hanya menghela napas melihat kebersamaan mereka berdua. Aku lebih memilih memakai alat pendengarku untuk mendengarkan musik kesukaan dan menemaniku selama perjalanan menuju ke sekolah ini.
Tidak ada yang penting terjadi di sekolah. Kami hanya melakukan aktivitas seperti biasa. Maksudku aku melakukan aktivitas tanpa Hellen seperti kemaren. Tidak ada waktu untuk kami bercakap-cakap karena Hellen selalu dikelilingi oleh Jason dan teman-temannya.
Sedangkan aku sendiri hanya bersikap masa bodoh dengan mereka berdua. Aku lebih fokus dengan mengejar pelajaran yang sudah cukup lama tidak kuikuti. Hingga tanpa sadar sudah berhari-hari lamanya keadaan seperti ini berlalu begitu saja.
Siang itu, aku tengah menuju loker milikku. Aku hendak mengganti buku pelajaran karena jam selanjutnya adalah jadwal yang berbeda. Dengan santai aku membuka kunci lokerku, ketika aku akhirnya mendengar derap langkah yang berjalan begitu cepat dan sepertinya menuju ke arahku.
Aku mengabaikannya saja karena kupikir tidak ada yang perlu dipedulikan. Hingga akhirnya aku dengan yakin merasa bahwa orang itu benar-benar berhenti tepat di belakangku. Saat aku hendak menoleh, bahuku sudah ditarik dengan paksa olehnya, dan pukulan itu sudah menghantam sisi wajahku dengan cukup keras hingga aku terjatuh ke lantai begitu saja.
“b******k kau!” umpat suara yang begitu malas kudengar. Aku langsung mendengar suara pekikan kencang di sekitar tempat itu. Barulah aku menoleh ke arah siapa yang baru saja menyerangku itu. Tentu saja Jason, siapa lagi kalau bukan dia.
Aku menatap lurus ke arahnya. Aku sudah berusaha menjauhi pria itu, tapi tetap saja sepertinya dia selalu senang mencari masalah denganku. Aku bisa melihat banyak pasang mata yang kini sudah mengelilingi kami berdua.
“Apa yang kau lakukan?” tanyaku dengan berusaha setengah mati untuk tetap tenang dan menahan amarah dalam lubuk hatiku saat ini.
“Apa kau buta ha?! Aku baru saja memukulmu! Memukul wajah sialanmu itu!” balas Jason dengan wajah tengil. Aku tidak tahu ada apa dengannya, tapi aku bisa melihat Jason terlihat begitu marah kepadaku. Memang apa lagi salahku di mata pria sialan ini?
“Hahh,” desahku dengan lelah. Aku cuma ingin hidup tenang tanpa dia. Kenapa itu sepertinya sulit sekali?
“Pergilah Jason. Aku sedang tidak ingin berurusan denganmu,” ujarku dengan malas. Aku mulai kembali membangkitkan tubuh seolah tidak ada yang terjadi di antara kita barusan. Tapi sepertinya pria itu tidak ingin masalah ini berhenti begitu saja. Jason semakin menatap nyalang ke arahku.
“Apa kau bilang? Kau pikir aku senang berurusan dengan nerd sepertimu ha?!” ucap jason yang langsung mendekat dan menindih tubuhku. Tanpa ragu dia menarik kerahku dengan kuat hingga membuat tubuhku sedikit terangkat mendekat ke arahnya.
“Kau yang selalu mencari masalah denganku! Kau yang selalu membuat Hellen menjadi orang bodoh dan tidak bisa fokus ketika bersamaku! Apa saja yang kau sudah katakan padanya ha?! Kau menyuruhnya untuk menjauhiku hah?! Katakan saja sejujurnya padaku, b******k kau!” maki Jason dengan suara keras di depan wajahku.
Aku semakin bingung dibuatnya, meski begitu aku tidak bisa menahan tawa geliku ketika mendengar ucapan Jason. “Hahahaha apa ini? Jadi maksudmu Hellen tidak memperdulikan dirimu dan kau menyalahkanku atas semua itu? Begitu? Kau sudah gila rupanya Jason,” ledekku dengan senyuman miring ke arahnya.
Aku tahu bahwa hal itu akan semakin membuat Jason merasa marah, tapi aku tidak perduli. Dia yang telah memulai pertengkaran ini lebih dulu. Dan aku sudah begitu muak dengan kehadiran pria itu. Bisa kurasakan cengkraman kedua tangan Jason pada kerahku semakin bergetar menunjukkan betapa pria itu tengah berusaha keras menahan amarahnya kepadaku.
“Beraninya kau!” geram Jason dengan kedua mata yang sudah berkilat tajam kepadaku. Detik selanjutnya pria itu langsung meluncurkan pukulan tangannya kembali ke arahku. Seketika suasana di sekitar kami menjadi ricuh. Beberapa teman Jason yang melihat kejadian ini nampak semangat bersorak antusias mendukung teman mereka.
Aku membiarkan Jason melepaskan pukulan tangannya beberapa kali hingga membuat sudut bibirku berdarah. Aku berusaha menahan diri tapi sepertinya ini sudah batas kesabaranku. Meski aku tidak bisa merasakan rasa sakit dari tiap pukulannya, tetap saja harga diriku terluka.
Apa dia pikir dia adalah seorang superior? Apa dia pikir aku tidak bisa membalas tiap pukulannya padaku? Jangan membuatku tertawa Jason. Dengan sigap aku mulai menanggapi perlakuan Jason. Aku balik menarik baju pria itu dan dengan mudah langsung membalik keadaan.
“b******k!” umpatku dengan penuh geram. Kini aku telah ganti menindih tubuh Jason. Semua mata yang melihat kejadian ini nampak begitu takjub, termasuk dengan Jason sendiri. Tentu saja mereka akan takjub. Selama ini aku selalu memilih diam dan bersabar akan segala tingkah Jason kepadaku. Tapi tidak untuk kali ini.
Sudah cukup aku merasa muak dengan hubungan antara dia dan Hellen. Sudah cukup aku merasa muak dengan perasaan tidak tahu diriku ini yang berani-beraninya mencintai Hellen dan merusak hubungan pertemanan yang terjalin di antara kami berdua. Sudah cukup aku merasa muak dengan keadaan ini. Aku tidak ingin terlihat sebagai pecundang lagi.
Aku adalah Danny yang baru. Aku adalah Danny yang telah diijinkan hidup kembali dari gerbang kematian. Aku tidak ingin menjadi Danny yang lemah di mata orang lain lagi, apa lagi di mata pria sialan seperti Jason. Dengan mengerahkan sepenuh tenaga aku memukul wajah tampan Jason menggunakan kepalan tanganku.
“Kau pikir kau siapa telah berani melakukan semua ini padaku ha?!” seruku tepat di depan wajah Janson. Pukulan telah kulayangkan untuk pertama kali.
“Beraninya pria b******k sepertimu mengencani Hellen! Hellen jauh lebih bagus untuk kau miliki!” Kedua kali pukulan kembali melayang.
“Kau itu hanya pria manja yang selalu bersembunyi di balik ketiak orang tuamu yang kaya! Kau pikir kau lebih luar biasa dibanding aku ha?! Kau pasti buta ya?! Buta kau ha?! Pria sepertimu itu hanya senang bersikap tidak tahu diri, dasar sampah!” Sampai tiga kali kulakukan bertubi-tubi. Tidak memedulikan muncratan darah yang keluar cukup banyak dari tubuh Jason di sekitar lantai.
Sorak sorai yang tadinya terdengar bergemuruh kencang, kini mulai memudar hingga menjadi senyap ketika memerhatikan apa yang tengah kulakukan ini. Napasku berderu begitu kencang menunjukkan betapa meluapnya emosiku saat ini. Baru kusadari bahwa Jason sudah menutup kedua matanya di bawah tubuhku.
Pria itu nampak sudah tidak bergerak sedikit pun. Darah segar masih mengalir dari mulutnya yang sudah memerah karena cipratan darah. Begitu juga dengan hidung tingginya yang juga tidak kalah mengeluarkan banyak darah segar. Beberapa bagian wajahnya sudah melebam parah. Kurasa ada bagian tulang yang retak di suatu tempat dalam wajahnya.
Aku mengatupkan bibir dengan rapat. Aku masih merasa belum puas ingin menghajar wajah itu. Meluapkan segala amarah yang tengah kurasakan saat ini. Aku benar-benar telah kehilangan kendali diri. Kutarik kembali kerah baju Jason dan membuatnya mendekatiku.
“Bangun!” titahku dengan tegas kepadanya. “Bangun kau sialan! Kita belum selesai, jadi cepat bangun kau!” Aku mengguncang tubuh Jason beberapa kali untuk membangunkannya. Namun pria itu tetap tidak kunjung bangun juga.
“Hei, tidak mungkin. Apa dia mati?” Aku mendengar suara di sekitar para penonton yang mengelilingi kami berdua, dan kini membuatku mulai tersadar. Apa aku sudah keterlaluan? Aku sempat mengerahkan sepenuh tenagaku tadi ketika memukulnya.
Aku menatap kembali ke arah Jason dan memerhatikan wajah pria itu yang sudah berantakan. Jantungku berdebar begitu kencang. Perasaan tidak tenang mulai melanda lubuk hatiku. Secara perlahan aku kembali menurunkan tubuh Jason di atas lantai. Wajahku mulai mendongak ke depan. Aku sempat melihat sepatu yang cukup familiar dalam ingatanku tadi, hingga membuatku mencoba melihat siapa pemilik sepatu itu dengan perasaan gugup.
Akhirnya mata kami bertemu pandang. Aku dan Hellen, kami sama-sama terdiam tanpa kata. Aku yang begitu terkejut dengan kehadiran Hellen yang sudah berdiri di sana, sekaligus merasa bingung sendiri dengan apa yang telah kulakukan saat ini. Dan Hellen yang memandangku dengan raut wajah tidak percaya.
Aku menelan air ludah dengan susah payah. Aku ingin mengatakan sesuatu kepada gadis itu, namun semua ucapanku hanya bisa tertahan dalam tenggorokan, tidak bisa kuungkapkan sedikit pun. Akhirnya aku hanya bisa pasrah dan memalingkan muka ke arah lain. Tidak lama kemudian beberapa petugas dan guru tiba di tempat, melewati tubuh Hellen begitu saja dan mendekati kami berdua.
“Oh my God, apa yang telah terjadi ini?!” pekik mereka saling bersahutan. Tentu saja mereka juga nampak begitu terkejut dengan apa yang terjadi saat ini.
Setelah kejadian itu, pihak sekolah tentu langsung membawa Jason ke rumah sakit untuk diperiksa lebih lanjut. Sepertinya luka dari pukulanku itu cukup parah hingga membuat pria itu harus menginap di sana untuk beberapa waktu.
Aku sendiri hanya bisa menghela napas dengan lelah. Merasa terjebak dalam situasi yang menyebalkan. Aku hanya korban di sini, dan mereka kini memandangku sebagai seorang tersangka. Bukankah ini lucu? Aku hanya ingin membela diri.
Selama ini aku selalu berusaha bersikap baik. Aku selalu bersikap setenang dan sesabar mungkin dalam menghadapi segala tingkah sialan Jason kepadaku. Bagaimanapun pria itu membuliku baik dengan cara sederhana, atau bahkan cara sulit sekali pun hingga membuatku dipermalukan di depan seluruh orang yang melihat, aku berusaha untuk tetap diam.
Di saat aku sudah lelah dengan semua, dan ingin melawan, semua orang hanya melempar tatapan menyebalkan seolah aku adalah tersangka yang sebenarnya di sini. Bukankah ini lucu? Dia yang mencari masalah denganku lebih dulu, dan aku hanya berusaha melawan dan membela diri. Bukan salahku jika Jason kalah bertarung bukan?
Dia telah memberiku 3 pukulan di wajah, dan aku juga melakukan hal yang sama. Kita impas bukan? Sialan! Semua ini hanya membuatku semakin diliputi kemarahan yang meningkat. Aku masih mengingat tatapan Hellen yang sulit untuk kuartikan. Aku tidak mengerti lagi.
Aku merasa aku tidak salah. Aku tidak melakukan kesalahan apa pun. aku hanya beusaha untuk membela diri atas perbuatan yang selama ini Jason lakukan kepadaku. Aku sangat percaya diri bahwa aku tidak bersalah dan aku tidak akan meminta maaf kepada pria sialan itu.
Tapi lalu semua itu hanyalah sebuah angan dalam pikiranku ketika pihak sekolah akhirnya memanggil kedua orang tuaku datang. Mereka melakukan pertemuan wali murid atas kejadian itu. Pihak orang tua Jason tentu tidak bisa membiarkan hal ini berjalan begitu mudah untukku. Dan kini kami semua telah berada di depan meja bundar saling menghadap satu sama lain, minus Jason tentu saja karena pria itu masih perlu perawatan intensif untuk wajahnya.
Aku hanya bisa duduk diam, menundukkan kepala di antara kedua orang tuaku. Sesekali mereka berdua akan saling melirik satu sama lain dan melirik ke arahku yang masih saja diam di tempat. Aku telah menceritakan semuanya kepada Mom dan Dad tentang perlakuan Jason kepadaku hingga akhirnya aku memutuskan untuk melawan balik. Dan mereka berdua mendengarkan segala ceritaku dengan penuh perhatian.
Aku masih merasa tidak bersalah telah melakukan hal itu pada Jason. Namun ketika Mom dan Dad harus dipanggil ke tempat ini hanya untuk dipaksa mendengarkan permintaan maafku kepada keluarga Jason, seketika membuatku merasa bersalah.
Aku tidak ingin melakukan hal itu karena aku tidak melakukan salah. Tapi jika hal itu akhirnya hanya menyulitkan kedua orang tuaku, aku tidak bisa melakukan apa-apa lagi. Aku tidak ingin membuat mereka berdua ikut berurusan dengan keluarga Jason. Aku sungguh merasa marah pada keadaan di mana keluarga Jason memiliki kedudukan tinggi di tempat ini.
Aku tidak ingin membuat Mom dan Dad merasa malu dan kecewa atas apa yang telah kulakukan ini. Aku sungguh merasa bersalah atas itu. Sedangkan di sisi seberang ada kedua orang tua Jason yang menatap tajam ke arahku. Sebagai penengah, ada pihak sekolah yang siap memulai pembicaraan alot di antara kita sebentar lagi.
“Tunggu apa lagi? Saya ingin mendengar permintaan maaf sebesar-besarnya dari anak itu Pak!” seru ibu Jason dengan dagu terangkat tinggi-tinggi. Kedua matanya sudah tidak jauh beda dengan nenek sihir yang selalu kutonton dulu bersama dengan Hellen.
“Tunggu sebentar nyonya Vandolf. Bukankah lebih baik kita mendengar cerita yang sebenarnya dulu? Kita perlu mendengar apa yang terjadi sebenarnya sehingga pertengkaran di antara mereka berdua terjadi.”
“Saya tidak perduli dengan penyebab pertengkaran itu terjadi Pak. Yang saya inginkan adalah permintaan maaf dari dia!” Ibu Jason langsung menuding ke arahku dengan jemari berkuteks merahnya. “Anak itu telah membuat anak terpenting kami menjadi terluka seperti itu! Berani-beraninya dia melakukan hal itu pada keluarga Vandolf yang terhormat!”
“Nyonya Vandolf yang terhormat, sebagai keluarga yang terpandang dan terhormat seharusnya anda bisa lebih menunjukkan sikap layaknya anda seharusnya di saat seperti ini bukan? Semua hukum perlu proses yang adil. Saya yakin anda sendiri belum mendengar sedikit pun apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka berdua, dan anda sudah memaksa anak saya untuk meminta maaf tanpa mau mendengar alasan yang sebenarnya. Tanpa ingin mengetahui siapa yang sebenarnya bersalah di tempat ini!”
Aku terkejut ketika Mom akhirnya menunjukkan suaranya dengan tegas dan berani di depan keluarga Vandolf. Terlebih Mom terdengar memihak kepadaku. Hal itu seketika membuat hatiku merasa sejuk sampai lubuk hati yang terdalam. Aku menatap Mom yang tengah memandang lurus tanpa gentar ke arah nyonya Vandolf dengan pandangan mata penuh rasa haru.