“Apa kau baik-baik saja? astaga, kau punya banyak luka,” seru wanita itu ketika datang menghampiri dan memerhatikan wajahku. Wanita itu menjadi lebih panik ketika melihat tetesan darah yang keluar dari lubang yang menembus di telapak tanganku.
“Aku baik-baik saja,” jawabku mencoba membuat wanita itu tenang.
“Apanya yang baik-baik saja?! lihat tanganmu ini, astaga kita harus pergi ke rumah sakit sekarang untuk mengobatinya!” seru wanita itu. Aku melihat wanita itu sibuk mengobrak-abrik isi tasnya untuk mencari sesuatu. Tidak lama kemudian sebuah sapu tangan berada dalam genggaman tangannya. Dengan sigap wanita itu meraih tanganku dan membungkusnya dengan sapu tangan itu.
Kurasa dia berusaha untuk menekan aliran darahku agar tidak keluar semakin banyak dari luka itu. Ternyata wanita yang kuselamatkan ini cukup terampil juga. Setelah itu, kurasakan tanganku yang langsung ditarik olehnya membuatku merasa panik sendiri. Aku segera bergerak menahan laju tarikan tangan itu dan membuat langkah wanita tersebut ikut terhenti di tempat.
“Tunggu!” wanita itu menoleh ke arahku dengan wajah heran sekaligus bingung. Aku menatapnya dengan sedikit bingung juga gugup.
“Aku tidak bisa pergi ke rumah sakit,” ucapku kemudian. Hanya itu yang muncul dalam pikiranku sekarang. Tentu saja ucapanku itu langsung membuat kerutan di dahi wanita itu terlihat jelas.
“Apa? Apa maksudmu? Kenapa tidak bisa? Kau terluka. Lihat luka ini. Luka tusukannya membuat telapak tanganmu berlubang!”
“Aku, aku bisa mengatasinya sendiri. Tinggalkan saja aku.”
“Kau pikir aku akan bisa melakukan hal itu?” Aku menatap bingung ke arahnya. “Kau terluka karena telah menyelamatkanku, mana mungkin aku bisa meninggalkanmu dalam keadaan seperti ini?” Bisa kulihat betapa tajamnya pandangan mata itu padaku, hingga membuatku semakin gugup dan menundukkan pandangan darinya.
“Aku,”
“Ikut aku.”
“Huh?” Aku kembali terkejut ketika wanita itu kembali menarik tanganku. “Tunggu, tunggu! Aku—“
“Sudah ikut saja dulu. Aku tidak akan membawamu ke rumah sakit, oke?!” tegas wanita itu tanpa ingin mendengar ucapanku lagi. Aku tidak bisa berbuat apa-apa selain hanya pasrah saja mengikutinya. Lagi pula dia sudah mengatakan untuk tidak pergi ke rumah sakit bukan? Kurasa itu akan baik-baik saja.
Aku hanya menurut ikut ke mana wanita itu membawa aku pergi. Kami berdiri di pinggir jalan bersama untuk mencari taksi. Meski aku berusaha untuk menolak, tapi wanita itu tetap memaksaku untuk ikut bersamanya hingga akhirnya taksi datang dan kami berdua masuk di dalamnya. Aku menjadi semakin gugup karena tidak tahu wanita itu akan membawaku ke mana. Meski begitu aku yakin bahwa wanita itu tidak bermaksud buruk kepadaku.
“Jadi siapa namamu?” tanya wanita itu kemudian dalam perjalanan kami. Aku hanya menoleh ke arahnya sejenak sebelum kembali melihat ke depan.
“Aku Danny.”
“Aku Halsey. Terima kasih karena kau telah menolongku tadi Danny. Itu sungguh luar biasa kau bisa mengalahkan ke 6 pria tadi.”
“Terima kasih,” jawabku dengan tersipu malu. Aku merasa ikut berbangga diri karena itu juga pencapaian besarku selama hidup sebagai seorang pria sampai saat ini. Aku tidak pernah berani melakukan pertarungan sebelumnya. Melihat kejadian ini, sepertinya aku memiliki suatu bakat untuk bertarung bukan?
Tidak membutuhkan waktu yang lama untuk kami akhirnya tiba di sebuah rumah. Wanita bernama Halsey sudah membayar biaya taksi dan mengajakku untuk memasuki rumah tersebut. Kupikir itu adalah rumah pribadinya.
“Masuklah Danny,” pintanya kepadaku. Aku akhirnya masuk ke dalam rumahnya. Mataku meneliti rumah tersebut. Tidak kusangka dengan penampilan yang elegan seperti itu, Halsey memiliki rumah yang cukup sederhana dan nampak nyaman. Aku berdiri di tengah ruangan sembari memerhatikan ke sekitar.
Halsey langsung membuka jas yang dipakainya dan menaruhnya ke atas kursi. Setelah itu Halsey beralih masuk ke dalam untuk mengambil sesuatu dan tidak lama kemudian datang dengan membawa sekotak p3k. Wanita itu tersenyum kepadaku.
“Duduklah. Aku akan mengobatimu Danny,” ucap Halsey sekali lagi. Wanita itu sudah duduk terlebih dahulu di atas sofa, dan aku kemudian mengikutinya. Aku duduk di samping Halsey dan menghadap ke arahnya. Membiarkan wanita itu mulai menjamah wajahku yang penuh dengan luka dan mulai mengobatinya dengan hati-hati dan perlahan. Jarak wajah kami yang cukup dekat membuatku bisa melihat dengan jelas tekstur wajahnya yang masih nampak muda.
“Apa itu sakit?” Kedua mataku mengerjap beberapa kali untuk memfokuskan diri pada Halsey.
“Tidak,” jawabku dengan singkat. Halsey menjauhkan kapas yang digunakannya untuk mengobatiku dan melempar tatapan tidak yakin setelah mendengar jawabanku itu.
“Bagaimana bisa kau tidak merasa sakit. Lukamu nampak mengerikan Danny. Bibirmu bahkan ada yang sobek,” ucapnya. “Jangan bersikap sok kuat. Kau masih muda. Tidak ada salahnya untuk bersikap sedikit manja.” Halsey kembali menuangkan cairan antiseptic pada kapas dan mulai membersihkan lukaku lagi. Aku hanya tersenyum tipis mendengarnya.
“Kau tinggal sendiri Halsey?” tanyaku untuk mengalihkan pembicaraan di antara kami.
“Seperti yang kau lihat.” Aku menatap wanita itu dengan menyelidik.
“Kau membiarkan orang asing sepertiku masuk ke dalam rumahmu?”
“Khekhekhe,” tawa Halsey kemudian. “Tidak apa-apa. Aku percaya kepadamu. Kau telah menyelamatkan aku bukan?”
Aku merasa tidak setuju dengan keputusannya itu. Halsey adalah seorang wanita yang cantik. Dan dia tinggal sendiri di rumah ini. Akan sangat berbahaya jika dia membiarkan orang asing yang ditemuinya masuk ke dalam rumah. Bagaimana jika mereka memiliki niat buruk? “Tetap saja itu berbahaya.”
“Aku tahu. Baiklah aku akan lebih berhati-hati untuk ke depannya.” Halsey menempelkan aidband pada pipiku. “Sejujurnya aku juga tinggal dengan kakakku.”
“Kakak?”
“Ya, kakak.”
“Lalu di mana dia?”
“Dia punya banyak urusan yang perlu dikerjakan. Sebenarnya kami berdua sangat jarang pulang ke rumah karena urusan pekerjaan kami.”
“Sepertinya kalian kakak beradik yang sangat sibuk.”
“Tentu hihihi.” Tanpa sengaja mata kami bertemu. Seketika aku merasa gugup ketika Hasey memandangku dengan lekat seperti itu.
“Apa?” tanyaku kemudian. Aku berusaha mengenyahkan pikiran narsis yang mengira bahwa Halsey memiliki ketertarikan kepadaku. Karena aku sendiri cukup yakin bahwa umur kami terpaut cukup jauh. Kupikir Halsey berumur sekitar 27 tahun saat ini.
Kulihat Halsey tersenyum kecil menatapku. “Apa kau tidak mengingatku Danny?”
“Huh?” Seketika aku merasa linglung dengan pertanyaan itu. Apa aku pernah bertemu dengan Halsey sebelum ini? Batinku bertanya-tanya dalam hati.
“Bukankah kau pria yang berada di rumah professor Robert saat itu?” tebak Halsey. Aku langsung terpaku di tempat. Mencoba mengingat-ingat kembali selama aku berada di rumah professor Robert waktu itu. Kedua mataku membola lebar setelah aku berhasil mengingat wajah Halsey yang sempat kulihat saat itu.
Halsey dan seorang pria bertubuh tinggi datang menemui professor Robert ketika kami tengah menikmati sekotak pizza. Aku sangat terkejut ketika mengingat hal itu. ternyata Halsey adalah wanita itu.
“Kau—“
“Kau sudah ingat?” tebak Halsey ketika membaca raut wajahku yang telah berubah. “Hahaha, aku tidak percaya bahwa dunia sekecil itu. Aku tidak menyangka salah satu murid professor Robert akan menyelamatkan hidupku. Terima kasih Danny.”
“Ah itu, bukan apa-apa. Aku juga tidak menyangka bahwa kita pernah bertemu sebelumnya.” Aku merasa sedikit canggung mengingat hal itu. Aku bertemu dengan salah satu kenalan professor Robert.
“Aku baru mengingatnya ketika memerhatikan wajahmu tadi. Ini sungguh lucu bukan? Tapi bagaimana ini? Aku hanya membiarkan salah satu murid professor Robert terluka tanpa bisa memberikan pengobatan yang lebih baik. Kenapa kau tidak ingin pergi ke rumah sakit Danny?”
“Aku, aku hanya tidak suka dengan rumah sakit.” Aku diam-diam meneguk ludah dengan susah payah ketika topik itu kembali diangkat. Aku selalu bingung harus memberikan alasan bagaimana untuk menjawab pertanyaan seperti ini.
“Benarkah? Kenapa? Apa kau memiliki trauma?”
“Y—ya. Seperti itu.”
“Bagaimana ini? Aku takut luka itu akan menjadi lebih parah, dan aku bukan dokter yang baik yang bisa mengobati luka itu tanpa melakukan pemeriksaan lebih lanjut. Coba kita lihat lukanya.” Halsey mulai meraih tanganku yang terluka dan membuka sapu tangan yang mengikatnya.
“Oh astaga, lukanya mengecil?” gumam Halsey seketika dengan wajah takjub dan tidak percaya melihat luka tersebut. Jantungku langsung berdebar begitu kencang. Aku takut Halsey akan menyadarinya.
“Ap—apa yang kau katakan? Dari awal lukanya memang tidak separah itu bukan haha,”
“Oh benarkah? Apa aku salah melihat? Suasana di tempat itu cukup gelap dan aku sudah terlanjur panik sendiri hahaha,” tawa Halsey dengan renyah. Aku sontak ikut tertawa bersamanya dengan canggung. “Tapi tetap saja luka ini perlu diobati Danny. Tunggu sebentar. Biar aku yang melakukannya.”
Aku mengangguk kecil. Mataku memerhatikan dengan lekat tiap pergerakan Halsey yang mengobati tanganku dengan hati-hati. Halsey terlihat terbiasa dengan luka sseperti ini.
“Apa kau juga seorang Professor seperti professor Robert?” tanyaku kemudian.
“Begitulah. Kami pernah berada di projek yang sama. Professor Robert adalah seniorku dulu.”
“Apa kalian dekat?”
“Hm? Entahlah. Bisa iya, bisa tidak. Sejujurnya kakakku yang memiliki hubungan lebih dekat dengan beliau.” Aku tidak bertanya lebih jauh lagi. Hingga akhirnya Halsey selesai mengobati semua lukaku.
“Sudah selesai.”
“Terima kasih. Kalau begitu, aku akan pergi sekarang.” Aku langsung beranjak bangkit dari dudukku, bersiap untuk pergi.
“Tunggu. Biar aku yang akan mengantarmu.” Sekali lagi aku hanya bisa menurut kepadanya.
Malam sudah semakin meninggi ketika aku akhirnya sampai di depan rumahku dengan diantar oleh Halsey memakai mobil pribadinya. Aku langsung turun dan mengucapkan terima kasih pada wanita itu. Halsey langsung beranjak pergi, dan aku mulai memasuki rumah.
Nampak Mom dan Dad masih berada di depan televisi tengah menonton berita malam ini. Mereka berdua langsung menoleh ke arahku yang melangkah hendak melewati mereka berdua.
“Hai Mom, Dad,” sapaku dengan santai.
“Danny? Ada apa dengan wajahmu itu?” tanya Mom dengan cemas ketika menyadari luka-luka pada wajahku. Aku dengan terpaksa menghentikan langkah. Mom langsung menghampiriku untuk memerhatikan dengan jelas semua luka itu. Sementara Dad memerhatikan kami berdua.
“Hanya luka kecil Mom.”
“Tapi bagaimana bisa?”
“Bukan masalah besar. Aku hanya terlibat perkelahian kecil karena berusaha membantu seorang wanita tadi.”
“Astaga, apa kau tidak apa-apa Danny?”
“Yup. Aku baik-baik saja. Lukanya juga sudah diobati dengan baik.” Mom nampak lebih lega mendengarnya. “Kalau begitu aku akan langsung ke kamar Mom, Dad. Selamat tidur.” Aku kembali melangkahkan kaki hendak meninggalkan mereka berdua. Namun ternyata Mom masih ingin menahanku.
“Tunggu Danny.” Aku kembali berbalik ke arahnya. “Apa ada yang terjadi antara kau dan Hellen tadi?”
Aku terdiam mendengarnya. Untuk sesaat aku telah melupakan masalahku dengan Hellen tadi. “Tidak Mom.”
Kulihat Mom menghela napas dengan pelan menatapku lalu beralih menatap ke arah Dad. Dad nampak mengangguk kecil menanggapi pikiran Mom tanpa kata. Setelah itu Mom menoleh kembali ke arahku. “Tadi Hellen datang mencarimu. Jika terjadi sesuatu, lebih baik kalian selesaikan dengan baik, apa kau mengerti Danny?” tutur Mom dengan lembut.
Aku cukup terkejut mendengar Hellen datang mencariku, karena yang kuyakin gadis itu pasti tengah asik bersama dengan Jason –pacarnya yang sekarang. Aku melempar senyum tipis setelah berpikir beberapa saat kepada Mom, dan menjawabnya.
“Aku mengerti Mom.” Setelah itu aku benar-benar pergi ke kamarku.