Aku terdiam di tempat mendengarkan tiap ocehan yang dilontarkan semua pria itu pada wanita tersebut. Aku bisa merasakan bahwa mereka tengah mempermainkan wanita itu layaknya seorang b******n. Dan itu membuatku merasa geram mendengarnya.
“Kubilang lepaskan! Aku tidak akan tinggal diam jika kalian melakukan sesuatu yang buruk padaku! Aku akan melaporkan kalian semua dan aku akan memastikan kalian akan mendapat ganjarannya!” teriak wanita itu dengan suara yang terdengar sedikit bergetar.
Dari kata-katanya aku tahu bahwa wanita itu adalah salah satu wanita berhati kuat. Namun tetap saja, jika seorang wanita dihadapakan dengan situasi seperti itu, mereka pasti akan merasa takut juga bukan? 6 pria lawan 1 wanita. Ini benar-benar tidak adil.
“Kau pikir kami akan melepaskanmu begitu saja setelah kau mengataan hal itu hah?!” ucap salah satu dari mereka yang lalu dilanjut dengan gelak tawa meremehkan. Setelah itu kembali terdengar pekikan kencang dari wanita itu diikuti dengan sumpah serapah yang keluar dari bibirnya.
Aku mengepalkan kedua tangan dengan erat. Aku semakin tidak bisa membiarkan hal ini tetap berlanjut begitu saja. Tidak ada siapa pun yang datang ke sini. Bahkan orang luar yang mengetahui kejadian ini pun mereka belum tentu berani menghadapi keenam pria tersebut. Aku yakin itu.
Aku mengambil napas dalam sebelum mengeluarkannya dengan pelan. Mencoba untuk menenangkan detak jantungku sendiri yang berdetak tidak kalah cepatnya dengan detak jantung wanita itu. Ya, dari jarak kami, aku bisa mendengar dengan jelas detak jantung yang bergemuruh begitu kencang dalam dadanya.
Aku kini telah membulatkan tekad. Jika masalah ini saja aku tidak bisa menghadapi, lalu bagaimana aku akan menjadi pahlawan super seperti pahlawan yang kuidolakan selama ini? Setelah meyakinkan diri, aku akhirnya kembali berbalik ke belakang, menghadapi semua pria itu. Kulihat mereka masih asik mempermainkan wanita itu, tidak perduli dengan penolakan yang dilontarkannya sedari tadi.
“Hei!” panggilku dengan sedikit lebih keras. Seketika semua orang kembali menoleh ke arahku begitu juga dengan wanita itu. Semua pria di sana menatapku dengan tatapan tajam, sedangkan wanita itu melempar tatapan terkejut sekaligus penuh harap ke arahku. Aku tahu yang ada dalam pikiran wanita itu saat ini.
Wanita itu hanya tidak ingin membuatku yang masih seorang remaja ini terlibat perkelahian dengan semua berandalan itu. Tapi di sisi lain, wanita itu juga diam-diam mengharap pertolongan dariku. Karena itu, dia hanya bisa terdiam menatapku dengan cemas saat ini. Dan semakin panik ketika dua orang pria kini kembali maju untuk menghadapiku dengan tatapan meremehkan.
“Apa?!” jawab salah satu pria berandalan itu dengan wajah pongah.
“Apa lagi ha?!” sahut pria satunya. Aku menatap mereka berdua dengan lurus, sebelum kemudian beralih menatap ke arah wanita itu.
“Ah, tidak. Kupikir wanita itu juga telah salah jalan, sama sepertiku. Hei, kenapa diam saja? Ayo ikut aku. Kita akan mencari jalan bersama-sama,” ujarku kepada wanita itu. Nampak wanita itu tersentak kaget karena ucapanku barusan. Tangannya semakin meremas dengan kencang tas yang tengah didekapnya di depan d**a saat ini, menunjukkan betapa takut nan gugupnya wanita itu, sekaligus menunjukkan perasaan penuh harap untuk bisa terlepas dari situasi menegangkan ini.
Aku masih berusaha bersikap dengan sesantai mungkin di hadapan mereka. Dari sudut mataku aku bisa melihat pria berandalan itu saling melempar lirik ke arah satu sama lain. Selanjutnya suara gelak tawa yang membahana, memecah kesunyian di tempat itu terdengar jelas di telingaku. Mereka tengah menertawaiku.
Satu di antaranya bergerak maju untuk mendekatiku dengan senyuman remehnya. Tubuh tinggi dan besarnya membuatku mendongak ke atas untuk menatapnya. Pria itu lalu membungkukkan tubuh untuk mendekati wajahku. Tangan besarnya bergerak menepuk pelan namun mantap satu pipiku beberapa kali.
“Hei nak, apa kau tidak lihat dia bersama dengan kami ha? Sudah cukup. Pulang sana dan jangan ganggu kesenangan kami sekarang! Dasar bocah!” Ini membuatku kesal sekaligus geram.
“Tapi kulihat dia tidak suka bersama dengan kalian. Coba tanyakan saja kepadanya. Aku yakin dia lebih senang bersamaku dibanding dengan sampah seperti kalian.”
“b*****t! Kau pikir kami perduli hah?! Dasar bocah tengik!”
Dan selanjutnya sudah bisa dipastikan. Salah satu pria itu langsung mengayunkan tangan besarnya untuk memukulku. Gerakan kasar darinya itu juga diikuti dengan respon semua teman-temannya yang terlihat juga tersinggung dengan ucapanku barusan. Mereka masih menatapku dengan tajam dan memerhatikan apa yang akan dilakukan teman mereka ini padaku. Sementara wanita itu seketia memekik kencang saking takutnya dengan apa yang akan kuterima ini.
“JANGAN!” teriaknya seketika.
Aku melihat semua respon mereka satu demi satu dengan jelas, ketika aku sendiri merasa bahwa waktu yang berputar di antara kami saat ini terasa melambat. Aku bisa melihat dengan jelas bagaimana kepalan besar itu menuju ke arahku dengan kuat, dan aku langsung menghindarinya dengan memundurkan kepalaku ke belakang. Tinjuan itu langsung meleset dan melalui wajahku begitu saja.
Bagai sebuah video yang berjalan normal kembali setelah diperlambat, semua orang langsung terkejut ketika aku dengan mudahnya berhasil menghindari serangan dari tinju itu. Bahkan beberapa di antara mereka kini beralih bangkit untuk memerhatikan dengan lebih serius. Sementara wanita itu sudah terperangah dengan bibir terbuka menatap takjub kejadian itu.
Pria yang gagal meninjuku itu kini semakin menggeram marah. Wajahnya mulai memerah entah karena menahan amarah, atau tidak bisa menanggung malu karena telah gagal memukul bocah sepertiku. Aku melihat kepalan tinju dan wajahnya secara bergantian, dan tidak bisa menahan senyumanku untuknya. Senyumanku itu nampaknya berhasil membangunkan singa tidur dalam diri pria itu. Seketika pria itu berteriak marah.
“SIALAN! AWAS KAU!”
Wajah senangku langsung luntur seketika diganti dengan raut wajah waspada. Dengan sigap aku langsung bergerak mundur setelah melihat pria itu kembali mengayunkan kepalan tangannya padaku. Sekali, dua kali, tiga kali pria itu berusaha meninjuku, dan aku dengan mudah menghindari serangan itu sembari bergerak mundur. Membuat pria itu semakin di puncak kemarahannya.
Hingga pria itu akhirnya mengerahkan seluruh tenaganya untuk mengayunkan pukulan terakhir untukku, aku kembali menghindar seperti sebelumnya. Namun kali ini aku ikut mendorong siku pria itu dan menambah tenaga tinjuannya yang telah meleset dari wajahku. Tinjuan itu berakhir menubruk dinding bangunan yang ada di sebelahku dengan begitu kuat.
“GYAAA!” teriakan kesakitan langsung keluar dari bibir pria itu. Ditariknya kembali kepalan tinjunya yang langsung menunjukkan bekas darah dari tangannya di dinding. Pria itu mundur beberapa langkah dariku sembari memegangi tangannya yang sepertinya telah retak.
“Astaga,” gumam wanita itu dengan begitu lirih. Kedua tangannya bergerak menutupi bibir dan menatap kejadian itu dengan wajah tidak percaya. Tidak jauh dari ekspresi wanita tersebut, teman-teman pria itu juga menatap dengan wajah terkejut sekaligus tidak percaya dengan kejadian itu. Mereka kini sudah berdiri sepenuhnya dengan raut wajah yang seakan telah siap untuk membabatku habis.
“Hei Nak! Ketahui batasanmu! Cuih!” ucapnya yang lalu meludah asal dan langsung melangkah maju. Aku kembali bersiap melawan mereka lagi. Kali ini buka hanya satu orang, melainkan mereka semua mulai beralih mendekat secara bersamaan mengelilingiku. Aku bergerak ke samping dengan hati-hati, mencari posisi yang menguntungkan untukku.
Sungguh jantungku masih berdetak dengan kencang seperti sebelumnya. Namun kali ini ada rasa berdebar dalam dadaku yang ingin melihat sejauh mana aku bisa bertahan melawan mereka semua. Sejak aku telah berhasil menghindari serangan dari kepalan tangan pria tadi. Sejak aku telah berhasil membalas balik serangan pria itu. Dan sejak aku telah berhasil mengalahkan monster yang menyerangku di hutan waktu itu. Ada rasa yang bergelora dalam dadaku yang ingin membuktikan diri bahwa aku bisa bertarung dan mengalahkan semua musuhku.
Bukankah ini lucu? Sekali lagi aku tidak pernah melakukan pertarungan fisik sebelumnya, tapi entah kenapa saat ini aku sangat yakin bahwa aku bisa mengalahkan mereka semua. Senyumku mengembang secara perlahan memerhatikan sekitarku.
Aku menatap dengan lekat satu per satu dari mereka semua. Aku telah terkurung saat ini, dikelilingi oleh pria berandalan itu. Wajah yang menatapku tajam dan penuh amarah. Aku merasa takut, namun aku juga merasa tidak sabar untuk menanti pertarungan selanjutnya.
“Cih, bocah ini sudah gila rupanya!” umpat salah satu di antara mereka yang memerhatikan senyuman di wajahku. Gila? Aku tidak tahu apa itu benar? Tapi kurasa aku memang tengah gila saat ini. Seketika aku mengingat kembali perasaan penuh antusias ketika aku melawan monster bersisik ikan dulu.
Aku merasa begitu senang ketika aku berhasil mencabik-cabik tubuh monsternya dan membuatnya tumbang. Aku ingin merasakan perasaan excited itu lagi, bersama dengan mereka semua. Selanjutnya aku langsung menghindar dan melawan serangan satu per satu yang dilontarkan mereka padaku.
Aku bergerak secepat mungkin menghindari tiap serangan dan membalasnya dengan pukulan yang tidak kalah kuatnya. Sesekali aku akan bergerak melempar tubuh mereka dengan cukup mudah hingga membuat mata mereka membola lebar karena terkejut.
Entah berapa lama pertempuran itu terjadi. Aku mendapat beberapa pukulan keras, dan ada waktu di mana mereka berhasil mengunci pergerakan tubuhku dan memukuli tubuhku habis-habisan. Tidak jarang juga aku mengeluarkan darah segar dari sudut bibir dan luka karena pukulan mereka. Namun hal itu tetap tidak bisa menghentikan kesenanganku. Satu demi satu aku berhasil menumbangkan mereka semua.
Aku terjatuh untuk ke sekian kali ketika mereka berhasil menendang tubuhku dengan kuat. “Uhuk!” Darah kembali keluar dari bibirku ketika aku terbatuk. Namun insting tajamku yang merespon dengan baik tetap membantuku menghindar dari serangan berikutnya di mana salah satu dari mereka kembali hendak menendang tubuhku dengan kuat.
Aku menghindar dan melakukan gerakan berputar untuk menendang kaki pria itu. Hasilnya, pria tersebut jatuh dengan keras membentur tanah. Aku segera bangkit kembali dan mendekati pria itu. Kutahan tubuhnya agar tidak bisa membangunkan diri, dan kupukuli wajahnya dengan beringas.
“AWAS!”
Terdengar teriakan dari wanita itu. Teriakan itu langsung membuatku menoleh ke belakang dan dengan cepat menahan serangan dari pria lain. Tanganku secara reflek menahan serangan tersebut yang sontak membuatku terkejut di tempat ketika melihatnya. Benda tajam itu telah menembus telapak tanganku saat ini.
Aku tidak menyangka bahwa serangan yang baru saja kutangkis itu adalah hunusan benda tajam yang telah disembunyikan oleh pria itu. Kini tetes darah mengalir cukup deras dari telapak tanganku. Dari luka itu, mataku beralih menatap wajah pria tersebut. Aku bisa melihat raut wajahnya yang kini langsung tersenyum lebar mengejekku seolah dia telah membalik keadaan di antara kami.
Tentu saja itu tidak akan terjadi. Aku balas tersenyum lebar menertawai kebodohannya itu. Luka seperti ini, tidak akan cukup untuk menghentikanku. Bahkan sakit pun aku tidak merasakannya. Sebaliknya, jemariku langsung mencengkram tangan pria itu dan mengunci pergerakannya. Membiarkan tusukan pisau itu semakin menancap dalam menembus telapak tanganku.
Membuat genangan darah semakin melebar di bawah tanganku. Bisa kulihat wajah pria itu langsung memucat dan menatapku takut. Orang biasa pasti tidak akan melakukan apa yang tengah kulakukan saat ini. Sepertinya dia juga berpikir demikian.
Namun itu sudah terlambat. Karena detik selanjutnya aku langsung melancarkan serangan terakhirku kepadanya. Kupukul dengan kuat wajah itu dengan tangan lain. Pukulan itu berhasil membuat pria tersebut jatuh pingsan seketika, dan itu adalah pria terakhir yang harus kulawan saat ini.
Kutatap semua pria berandalan itu yang sudah terkapar tidak berdaya dengan beberapa luka pukulan di wajah mereka. Tidak termasuk luka lainnya yang telah kuberikan pada tubuh mereka tentu saja. Aku cukup takjub dengan diriku sendiri dan menatap tidak percaya dengan apa yang telah kulakukan ini.
Aku bisa mengalahkan 6 pria bertubuh besar seorang diri. Bukankah ini adalah sebuah prestasi yang menakjubkan? Tanganku bergerak menarik tusukan pisau pada telapak tanganku dan langsung kubuang begitu saja di atas tanah. Seketika darah segar semakin keluar deras dari luka itu. Namun aku tidak memedulikannya.
Toh luka itu akan sembuh dengan sendirinya nanti. Setelah itu aku bisa merasakan langah kaki kecil yang mendekat, yang kutahu bahwa itu adalah langkah kaki milik wanita tersebut.
“Hei, apa kau baik-baik saja?” serunya dengan nada cemas. Dia mendekatiku, dan aku menoleh ke arahnya. Wanita yang cukup cantik. Aku pikir usianya masih di bawah usia Mom. Dia wanita karir yang dewasa. Bisa kulihat dari penampilannya yang rapi dan elegant.
“Astaga kau punya banyak luka. Dan tanganmu!” Wanita itu memerhatikan semua luka di wajahku juga tanganku. Melihat bagaimana parahnya luka itu, seketika membuat dia histeris dan dengan sigap menarik tanganku yang masih mengucurkan banyak darah di telapaknya.
Seketika wanita itu kembali memekik terkejut. “Oh God, ini parah! Kita, kita harus pergi ke rumah sakit untuk mengobatinya sekarang juga. Ayo!” serunya yang langsung menarik tanganku untuk ikut bersamanya.
“Ah, tidak perlu!” tahanku seketika. Aku juga menghentikan tarikan tangan itu.