Bab 48

2977 Kata
Tok tok tok! Suara ketukan pintu dariku. Aku menunggu beberapa saat di depan pintu rumahku sendiri. pintu itu masih tidak terbuka. Aku merasa heran dibuatnya. Mungkinkah Mom dan Dad tidak mendengarkan ketukan pintuku? Ataukah mereka sedang keluar rumah?   Tok tok tok! Aku mencoba mengetuk pintu itu lagi dengan lebih keras. Namun sepertinya tidak ada tanda-tanda pintu itu akan dibuka. Aku merasa heran sekaligus bingung dengan itu. Aku mencoba mengintip ke arah jendela yang tertutup tirai dari dalam. Berharap aku bisa melihat ke dalam dan memeriksa keadaan di sana.   Namun aku tidak bisa melihat apa-apa di sana. Aku semakin mengerutkan kening dan bertanya-tanya. Kira-kira di mana mereka semua? Pikirku mencoba menebak-nebak dalam hati. Lalu samar-samar aku mendengar suara langkah kaki yang datang mendekat. Aku hendak memalingkan wajah ke arah langkah kaki itu ketika suara yang sudah familiar di telingaku akhirnya terdengar.   “Siapa kau?” Seketika gerakanku yang hendak memalingkan muka terhenti. Aku tahu suara itu. Aku sangat mengenal pemilik suara itu. Dia yang sangat ingin kutemui saat ini. Tapi ketika mendengar suara itu dengan senyata ini, membuatku tiba-tiba merasa semakin gugup sekaligus merindu. Aku perlu menyiapkan hati terlebih dahulu untuk bisa bertatapan muka dengannya.   Dari sudut mata aku bisa melihat sepatu yang dipakainya berdiri tidak jauh dari tempatku saat ini. Sepatu itu berdiri di antara salju putih yang menghiasi halaman rumahku ini. Untuk beberapa saat hanya ada keterdiaman di antara kami berdua. Aku entah kenapa merasa begitu tegang saat ini.   “Dan ... ny?”   Rasanya jantungku seakan hendak meloncat dari tempatnya ketika pada akhirnya namaku disebut olehnya. Meski nada suaranya terdengar seakan dia tidak yakin, namun aku tahu bahwa dia –Laura –ibu kandungku bisa menyadari siapa aku dengan postur tubuh yang aku yakin telah mengalami sedikit perubahan saat ini, terlebih dengan tudung jaket yang tengah kupakai hingga menutupi hampir seluruh wajahku. Ternyata hal itu tidak membuat Mom terkecoh dan mengenali anaknya sendiri. Dia menyadari siapa aku. Mengerti hal itu, seketika membuat hatiku merasa tersentuh.   “Danny?!” panggil Mom lagi untuk kedua kali. Suara Mom terdengar lebih yakin saat ini. Aku secara perlahan mulai menghadap ke arah Mom dan memperlihatkan wajahku padanya. Mom tengah memakai coat panjang musim dinginnya yang berwarna cokelat hitam, dengan rambut sebahunya yang dikuncir satu, dan kedua tangan yang tengah membawa bungkusan entah apa itu.   Dari tempatku berdiri, aku bisa melihat wajah Mom yang semula memandang tidak yakin ke arahku, kini langsung berubah menjadi raut wajah terkejut dan tidak percaya. Detik kemudian Mom menjatuhkan semua barang yang tengah dibawanya begitu saja ke tanah. Mom terlihat sudah tidak perduli lagi dengan apa yang tengah dijatuhkannya itu.   Dia kini lebih fokus menatap dengan kedua mata lebarnya ke arahku. Kedua mata jernih itu kini terlihat berkaca-kaca. Sedangkan aku sendiri lebih fokus dengan penampilan Mom yang terlihat jauh berbeda dari apa yang kuingat selama ini.   Mom terlihat begitu kurus. Bahkan dengan penglihatan tajamku yang sekarang, aku semakin jelas melihat kerutan yang tercipta di sekitar matanya. Mom terlihat lebih tua dari apa yang kuingat selama ini. Mungkinkah waktu sebulan itu bisa merubah penampilan seseorang secepat ini?   “Danny!” seru Mom sekali lagi kini lebih keras. Dilanjut dengan Mom yang langsung berlari menghampiriku dan tanpa ragu lagi dia memeluk tubuhku dengan erat. Ini mungkin terlihat aneh, tapi aku jelas melihat Mom menyandarkan sisi telinganya pada d**a bidangku sembari memelukku.   Aku tahu Mom masih tidak percaya dengan kehadiranku saat ini, sehingga dia memilih untuk mendengarkan detak jantungku lebih dulu. Hingga dirinya percaya dan yakin bahwa aku benar-benra masih hidup dan berdiri di depan matanya, Mom kin mendongakkan wajah untuk melihatku.   “Danny,” panggil Mom lagi. Kini air mata juga ikut mengiringi pandangan matanya. Aku membalas tatapan Mom dengan tidak kalah berkaca-kaca. Air mataku juga telah siap menumpah dari pelupuk mataku. Aku melempar senyum ke arahnya dengan sedikit sulit karena rasa sesak akan rindu dalam dadaku ini.   “Mom,” panggilku dengan nada yang bergetar menahan tangis.   “Oh my God, Danny ... Danny, anakku! Hiks Danny!” Seketika tangis Mom mengencang. Wanita itu memeluk tubuhku dengan begitu erat lalu menciumi wajahku di segala sisi, menunjukkan betapa merindunya dia saat ini padaku.   Aku tersenyum kecil menerima tiap kecupan yang dilontarkan Mom padaku saat ini. Merasa geli sekaligus merasa dicintai secara bersamaan. Wajahku menjadi basah akan air mata Mom yang menempel tiap ciuman yang diberikannya.   Cklek! Tiba-tiba terdengar suara pintu dibuka. Aku tidak menyangka bahwa ternyata ada seseorang di dalam rumahku. Aku langsung menoleh ke arah pintu itu, begitu juga dengan Mom yang berada dalam pelukanku, juga ikut melihat ke arah itu. Seketika aku terpaku melihat siapa yang membuka pintu itu.   Daddy. Dibanding dengan siapa yang membuka pintu itu, aku lebih terkejut ketika melihat kondisi Dad saat ini. Pria itu duduk di atas kursi roda, menatapku dengan wajah yang tidak kalah jauh terkejutnya dengan Mom sebelum ini.   Aku tidak memedulikan ekspresi wajah terkejut dan tidak percaya yang ditunjukkan Dad saat ini. Aku lebih fokus dengan kondisi tubuhnya. Apa yang terjadi selama aku pergi? Kenapa Dad duduk di atas kursi roda saat ini? Semua pertanyaan itu langsung berkumpul dalam kepalaku.   “Dad ...?” Suaraku terdengar mengambang ketika memanggil Daddy.   “Dave, dia Danny, Dave! Hiks hiks dia Danny anak kita. Danny, Dave!” ucap Mom mencoba meyakinkan Daddy akan keberadaanku saat ini di sela isak tangisnya.   “Danny ...?” panggil Dad. Aku bisa mendengar suara Dad yang masih terdengar mengambang tidak yakin, namun juga penuh harap. Jangan lupakan suaranya yang juga sedikit bergetar. “Danny?!” panggil Dad lagi dengan lebih mantap.   Aku melihat Dad yang mulai bergerak berusaha bangkit dari kursi rodanya secara perlahan. Satu tangannya bergerak menahan bagian rusuk, sedangkan satu tangan yang lain menahan sisi kursi roda untuk menopang tubuhnya. Tangan itu nampak sedikit bergetar, membuatku khawatir melihatnya.   “Dad!” Aku segera bergerak menghampiri Dad dan dengan sigap menopang tubuhnya sebelum tubuh itu sempat terjatuh. Kami langsung menatap satu sama lain dengan lekat. Terlebih Dad yang masih tidak percaya melihat kehadiranku yang tepat berada di depan matanya.   Aku menyadari bahwa tinggi kami saat ini hampir sama, membuatku sedikit bangga melihatnya. Aku merasa telah menjadi Danny yang jauh lebih dewasa dan diandalkan. Aku merasa telah menjadi Danny yang selangkah lebih maju dibanding sebelumnya.   “Danny?” panggil Dad sekali lagi. Satu tangannya meraba wajahku dengan perlahan.   “Ya, Dad. Ini aku, Danny,” balasku kemudian. Aku kembali melempar senyum kecil ke arah Dad. Yang justru membuat Dad jadi menitikkan air mata sama seperti Mom sebelumnya.   “Oh astaga, Nak! Kau masih hidup?! Kau telah kembali?! Syukurlah Tuhan!” puji sukur Daddy dengan sepenuh hati kemudian. Secara cepat Dad langsung memeluk tubuhku dengan erat. Menepuk-nepuk dengan mantap punggungku lalu mengusapnya dengan sayang. Tidak lupa Dad juga mengusap belakang kepalaku dengan bangga. Aku segera melingkarkan tanganku pada tubuh Dad dan membalas pelukannya dengan tidak kalah erat.   “Terima kasih Tuhan! Terima kasih, Tuhan!” Dad tidak henti mengucap syukur sembari memelukku dengan erat. Aku tersenyum semakin lebar mendengar betapa bersyukurnya Dad melihatku kembali pulang ke rumah. Begitu juga dengan Mom yang kini juga ikut bergabung untuk memeluk tubuhku dengan erat, sama seperti yang dilakukan Dad.   Tangan besar Dad dengan erat melingkari tubuh kami berdua seakan ingin memberikan perlindungan untuk keluarga kecilnya. Aku merasa senang dan bersyukur menyadari bahwa ternyata kedua orang tuaku sangat menantikan kehadiranku kembali ke rumah mereka. Perasaan gugup dan ragu yang sempat kurasakan tadi, seketika menghilang begitu saja terganti dengan perasaan yang jauh lebih lega.   Aku membantu Dad duduk di atas sofa rumah kami dengan hati-hati setelah acara reuni kecil kami tadi. Mom membawa bungkusan yang sempat dijatuhkannya tadi dan menaruhnya ke atas meja di depan kami. Setelahnya, Mom mengambil tempat duduk di sebelahku yang juga mengambil tempat duduk di sebelah Dad.   Segera Mom meraih satu tanganku dan menggenggamnya dengan erat seakan takut akan kehilanganku lagi. Aku tersenyum kecil ke arah Mom yang juga membalas senyumanku dengan begitu lembut. Dengan kasih aku menarik tangan Mom yang menggenggam tanganku, lalu menciumnya dengan lembut, membuat senyuman Mom semakin melebar melihatnya. Dad kembali mengusap kepalaku dengan penuh syukur dan bangga lalu mengacaknya dengan gemas.   “Kau baik-baik saja Danny? Di mana kau selama ini? Hellen berkata bahwa kau telah diserang oleh monster. Apa kau terluka?” tanya Dad kemudian memulai banyak pertanyaan untukku. Seketika otakku langsung bekerja cepat untuk mencari jawaban yang tepat akan semua pertanyaan itu.   Aku mengingat dengan jelas ucapan professor Robert yang menyuruhku untuk menutupi kebenaran yang terjadi terutama jika itu berhubungan dengan dirinya. Aku meneguk air ludah dengan perlahan lebih dulu, sebelum kemudian menjawab pertanyaan itu.   “Aku baik-baik saja, Dad. Aku ... aku berhasil melarikan diri dari monster itu,” jawabku dengan berusaha setenang mungkin agar tidak membuat mereka berdua menyadari kebohongan yang akan kukatakan nanti.   “Sungguh? Kau luar biasa, Nak! Bagaimana caramu bisa kabur dari serangan monster itu? Lalu bagaimana dengan lukamu?” Dad meraba lengan dan sekitar tubuhku dengan hati-hati, seakan takut jika dia tanpa sengaja menyentuh bagian lukaku yang tersembunyi.   “Tubuhmu terlihat jauh lebih baik sekarang. Bagaimana bisa?” tanya Dad semakin penasaran dengan ceritaku ini. Dad terlihat antusias ingin mendengarkan perjalananku hingga bisa sampai di tempat ini. Aku meringis mendengar pertanyaan itu.   “Dave, satu per satu tanyanya. Danny bisa bingung menjawabnya,” tegur Mom dengan senyuman lembut. Diam-diam aku merasa sedikit lega. Kini Mom menoleh ke arahku. “Danny, apa kau lapar Nak? Tunggu sebentar. Mom akan membuatkan sesuatu yang enak untukmu dengan cepat,” ujar Mom yang lalu bangkit berdiri. Mom memberikan kecupan sekali lagi pada puncak kepalaku sebelum beralih pergi ke dapur dengan membawa bungkusan di atas meja.   Bahkan Mom tidak berniat untuk mendengar jawabanku akan lapar atau tidaknya aku saat ini. Hal itu membuatku tersenyum geli melihat betapa semangatnya Mom yang ingin membuatkan makanan untukku. Kini aku hanya duduk berdua dengan Dad, yang kembali membuatku merasa gugup.   “Katakan pada Dad, Danny. Apa yang terjadi selama kau berada di hutan dengan monster itu? Apa kau terluka?” tanya Dad sekali lagi dengan wajah seriusnya. Mata tajam Dad kini menatapku dengan lekat dan menanti jawabanku. Aku hanya bisa pasrah dan mulai menjelaskan apa yang terjadi pada Dad.   “Dad, kau mungkin sudah mendengar kejadian penyerangan itu dari Hellen. Monster itu membawaku ke hutan dan sempat menggigit tubuhku. Saat itu, aku merasa tidak yakin karena aku hampir kehilangan kesadaran karena gigitan monster itu. Yang aku ingat, seseorang telah datang dan menyelamatkanku di waktu yang tepat. Dia membawaku ke tempatnya dan menyembuhkan lukaku.”   “Seseorang? Siapa dia? Kita harus menemuinya dan berterima kasih kepada orang itu Danny,” ujar Dad kemudian. Aku sudah bisa mengira respon Dad akan menjadi seperti ini. Dan aku sudah menyiapkan jawabannya sebelum datang ke tempat ini.   “Tidak perlu Dad. Maksudku, aku sudah mengucapkan terima kasih kepadanya. Dia tidak meminta hal lebih kepadaku. Dia menolak pemberian apa pun dariku, karena itu aku hanya bisa mengucapkan terima kasih kepadanya. Lagi pula dia juga telah pergi ke tempat lain. Kami berpisah di tengah jalan.”   “Oh Danny, siapa orang baik itu? Kita berhutang budi besar kepadanya,” ucap Dad dengan raut wajah gemas karena merasa telah kehilangan kesempatan untuk berterima kasih dengan orang tersebut. Aku meringis dalam hati melihatnya. Ini tidak sepenuhnya kebohongan bukan? Professor Robert yang membawaku keluar dari hutan itu.   “Sudahlah, Dave. Kita memang sangat berterima kasih kepada orang itu, tapi jika orang itu telah memilih untuk bersikap seperti itu, maka bagaimana lagi? Bukankah itu berarti dia adalah orang yang memang berniat tulus untuk membantu Danny tanpa pamrih?” celetuk Mom kemudian yang datang dari dapur sembari membawa sepiring sandwich buatannya dan segelas s**u hangat.   Aku langsung berbinar senang melihat sandwich buatan Mom. Aku merindukan sandwich itu. Mom memberikan sandwich itu padaku dan kembali duduk di sebelahku. Aku langsung melahap sandwich itu dengan nikmat. Kurasakan usapan lembut dari tangan halus Mom pada kepalaku setelahnya.   “Kita harusnya cukup bersyukur bahwa ada orang baik yang telah membantu anak kita, Dave. Terima kasih telah kembali pulang Danny. Mom sangat merindukanmu,” ucap Mom lalu memelukku dengan hangat. Aku melempar senyum manis untuknya.   “Aku juga sangat merindukanmu Mom. Kau terlihat kurus sekali. Apa kau melewatkan makanmu hm?” tanyaku. Aku mengarahkan sandwichku di depan bibir Mom. Mom yang mengerti maksudku akhirnya membuka mulut dan mengambil gigitan pada sandwichku.   “Aku tidak akan melakukannya lagi setelah melihat kalian berdua kembali pulang ke dalam pelukanku, Sayang,” balas Mom yang bergantian melirik ke arahku dan Dad dengan sayang. Aku merasa heran dengan ucapan Mom itu. Aku juga ikut menoleh ke arah Dad dengan wajah bingung.   “Dad? Memang kenapa dengan Dad? Dan kenapa Dad jadi seperti ini? Apa yang terjadi selama aku pergi Mom? Dad?”   “Daddymu nekad mencarimu ke dalam hutan sendirian, Danny,” jawab Mom kemudian. Seketika aku membolakan kedua mata dengan tidak percaya. Aku menoleh ke arah Dad yang hanya membalasku dengan senyuman kecilnya, seolah hal itu bukanlah apa-apa baginya.   “Dad, apa benar begitu? Lalu apa yang terjadi sampai kau bisa terluka seperti ini Dad?” tanyaku. Kini ganti aku yang melempar tatapan penuh rasa penasaran kepadanya.   “Dad bertemu dengan monster itu, dan kami sempat melakukan pertarungan Danny.”   “Apa?!” seruku yang semakin tidak percaya mendengar cerita itu. “Bagaimana?”   “Jadi setelah Hellen berhasil menelpon bantuan, kami datang ke tempat kejadian malam itu, dan kau sudah tidak ada di sana. Akhirnya kami melakukan pencarian jejak yang tertinggal di sana, dan karena jejak yang ada telah terputus, dan area dinilai cukup berbahaya, maka pihak kepolisian melakukan perhentian. Karena itu aku bertekad melakukan pencarian sendiri setelahnya.   Aku mencari jejak itu hingga akhirnya bertemu dengan monster yang kemungkinan telah menyerangmu. Kami sempat melakukan pertarungan dan aku berhasil melukai monster itu Danny. Monster itu melarikan diri, dan aku mengejarnya. Aku pikir dengan mengikuti monster itu, maka aku bisa menemukan tempat kau berada.   Sampai kami tiba di gua. Aku hanya bisa menemukan banyak tulang belulang yang tersisa. Maafkan aku Danny. Aku langsung merasa kecil hati untuk berharap kau masih bisa selamat di tangan monster itu setelah melihat semua tulang itu, dan melihat bagaimana buasnya para monster itu saling bertarung memperebutkan daging segar.   Di sana aku juga sempat bertarung dengan monster yang lainnya. Monster itu cukup kuat dan memiliki sisik ikan. Aku pikir aku telah berhasil menembaknya. Namun sepertinya tembakan itu tidak berpengaruh apa-apa pada monster bersisik ikan itu. Aku terluka, tapi setidaknya aku juga berhasil kabur dari tempat itu.” Dad mengakhiri cerita singkatnya dengan senyuman simpul.   Aku tertegun mendengar semua cerita itu. Dalam hati aku merasa takjub sekaligus bangga dengan perjuangan Dad yang berusaha mencariku ke tempat berbahaya seperti itu. Terlebih lagi Dad dengan gagah beraninya sempat melakukan pertarungan dengan beberapa monster di sana. Dad benar-benar seorang pria yang luar biasa. Dia adalah seorang pahlawan yang sebenarnya bagiku.   Tapi di sisi lain juga aku merasa geram ketika mengetahui cerita itu. Berbicara mengenai suara tembakan dan monster bersisik ikan yang telah disebutkan oleh Dad, aku menjadi semakin yakin bahwa suara tembakan yang sempat terdengar di telingaku malam itu berasal dari senapan milik Dad yang tengah melawan monster bersisik ikan itu.   Andai aku datang lebih cepat, mungkin saja aku akan bisa bertemu dengan Dad. Jika itu adalah monster yang sama yang telah membuat Dave terluka seperti ini, maka sekarang aku tidak merasa menyesal telah membunuh monster itu. Dia pantas mendapatkan itu.   “Mom begitu sedih karena berpikir telah kehilangan kalian berdua, Danny. Daddymu tidak kunjung pulang hingga sekitar seminggu lamanya. Mom pikir ...” Ucapan Mom tertahan. “Mom pikir kalian telah ...” tangis Mom kembali pecah dan tidak sanggup melanjutkan ucapannya kembali.   Aku ikut merasa menyesl karena telah membuat Mom menunggu dan menderita seperti ini. Pastinya Mom akan begitu mencemaskan kami berdua hingga membuatnya menjadi sekurus ini. Segera aku memeluk tubuh kecil Mom dan berusaha menenangkannya.   “Maafkan aku Mom. Kau pasti begitu mencemaskan kami saat itu.”   “Hiks jangan pergi lagi, Danny. Jangan membuatku takut, Dave. Hanya kalian berdua yang kupunya,” pinta Mom di sela isak tangisnya. Dad ikut memeluk tubuh Mom dan memberi kecupan sayang pada kepalanya.   “Maafkan aku, Laura.” Aku tahu Dad juga merasa menyesal karena telah membuat Mom khawatir seperti ini.   “Kau tahu Dave, kau benar-benar membuatku takut ketika kau datang dengan kondisi tubuh penuh luka seperti itu. Aku pikir aku benar-benar akan kehilanganmu juga hiks!” rengek Mom semakin kencang.   “Bagaimana kondisi luka Daddy sebenarnya Mom?” tanyaku kemudian yang semakin penasaran.   “Daddymu mendapat luka jahit, dan beberapa tulang rusuk dan yang lain patah. Tulang kering juga. Dokter bilang itu membutuhkan waktu untuk bisa sembuh total. Mungkin ada efek samping karena tulang yang patah itu. Tapi kita bisa melihatnya nanti dan mencoba memperbaikinya dengan rehabilitasi,” jelas Mom. Mendengar itu membuatku teringat kembali pertemuanku dengan Dad tadi. Aku sempat membalas pelukan Dad dengan erat tanpa menyadari kondisi tubuh Daddy yang penuh luka.   “Dad, apa tubuhmu tidak apa-apa? Maafkan aku. Aku tidak tahu kau terluka separah itu, dan aku memelukmu sekencang itu,” sesalku. Raut wajahku seketika nampak cemas, dan Dad hanya melempar senyum penuh wibawa.   “Itu bukan masalah besar, Danny. Kau tahu Daddymu ini kuat,” jawab Dad dengan bangga. Sontak baik aku dan Mom tertawa mendengarnya.   “Sekarang kau ada di sisi kami, itu sudah cukup Danny. Terima kasih telah bertahan hidup dan kembali pulang, Nak,” lanjut Dad lagi. Aku melempar pandang pada Mom dan kami saling tersenyum bahagia bersama. Sungguh, aku merasa begitu dicintai saat ini.   Perasaan bahagia itu lalu tertahan ketika aku kembali mengingat mengenai Hellen. Benar juga. Aku masih belum mendengar kabar mengenai gadis itu. “Dad, Mom, bagaimana dengan Hellen? Apa dia baik-baik saja?” tanyaku kemudian.   “Oh Dear, kau harus menemui gadis itu. kau tahu, Hellen benar-benar kehilanganmu. Gadis itu tidak henti menyalahkan diri atas hilangnya kau malam itu, Danny,” jelas Mom. Aku menghela napas dengan pelan. Aku tahu gadis itu pasti akan menyalahkan diri atas kejadian itu. Benar kata Mom. Aku harus menemui Hellen setelah ini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN