Aku menyalakan lampu kamar yang telah kutinggalkan selama hampir sebulan penuh ini untuk pertama kalinya. Semuanya masih terlihat sama ketika aku memerhatikan ruangan itu. Aku melangkah ke tengah ruangan untuk memperhatikan lebih jelas isi ruanganku itu. Mataku bergerak mengelilingi seluruh ruangan, hingga akhirnya pandangan mataku berakhir pada jendela kamar yang saling berhadapan dengan jendela kamar mlik Hellen. Setelah memerhatikan dengan sejenak, aku beralih bergerak mendekati jendela itu lalu menyibak tirainya.
Nampak jendela kamar Hellen tertutup rapat dengan tirai di dalamnya. Aku menghela napas dengan pelan. Dalam hati aku merasa puas dan lega bahwa gadis itu benar-benar mendengar permintaanku malam itu yang menyuruhnya untuk menutup jendela kamar setiap hari. Semua itu kulakukan demi keselamatan Hellen tentunya.
Aku membuka pengait jendelaku dan menggeser pintunya. Hembusan angin dingin sore menjelang malam di luar langsung menerpa wajahku. Aku menopang tubuhku dengan kedua tangan yang menyandar di pinggir jendela. Kulongokkan kepalaku ke luar untuk melihat lorong kecil di antara rumah kami berdua.
Dari ujung ke ujung masih terlihat sama. Aku masih ingat ketika malam itu aku melihat bayangan asing yang tertangkap oleh kedua mataku, tengah berkeliaran di ujung lorong rumah kami. Kedua mataku dengan lekat memerhatikan tiap ujung lorong kami dan mengawasinya kembali. Tidak ada siapa pun di sana, seperti biasa. Kompleks rumah kami cukup jarang penduduk. Tentu suasana di luar terlihat cukup sepi, apa lagi dalam cuaca dingin seperti ini.
Kini aku menggulirkan kedua mataku ke arah depan, di mana jendela kamar Hellen berada. Aku memerhatikan jendela itu dengan lurus. Menajamkan indera pendengaranku yang telah berkembang pesat kemampuannya dari sebelum ini, untuk mendengarkan suara apa pun yang ada di dalam kamar Hellen.
Entah aku memang tidak bisa mendengarnya, atau memang tidak ada siapa pun orang di dalam kamar itu. Aku tidak mendengar suara apa pun di sana. Kurasa Hellen masih belum pulang. Aku memutar leherku ke belakang untuk melihat jam dinding. Waktu telah menunjukkan jam 6 sore dan gadis itu belum juga pulang.
Aku penasaran, di mana kira-kira gadis itu berada. Aku merasa sudah tidak sabar ingin bertemu dengan gadis itu dan menceritakan banyak hal luar biasa kepadanya. Aku ingin melihat ekspresi ketidak percayaan Hellen ketika mendengar semua itu. Dan yang paling penting, aku ingin melihat reaksi wajahnya ketika melihatku nanti.
“Hmm.”
Aku melipat kedua bibirku ke dalam dan melipat kedua lenganku yang telah berotot di depan d**a. Mataku masih memandang lurus ke depan tepat ke arah jendela kamar Hellen berada. Setelah itu aku menyenderkan sisi tubuhku ke pinggir jendela. Dengan pose seperti ini, aku merasa aku telah terlihat seperti pria seksi saat ini.
Sudut bibirku terangkat ke atas. Aku mendadak merasa bangga dan penuh percaya diri sekarang. Aku menjadi semakin tidak sabar ingin memperlihatkan diri di hadapan Hellen dan menunjukkan bagaimana tubuh seksiku ini berkembang. Hanya dengan memikirkan hal itu saja membuatku terkekeh lirih. Lihatlah betapa narsisnya diriku sekarang. Aku pasti telah menjadi gila.
Ketika sibuk memikirkan hal itu, telingaku samar-samar mendengar suara mesin mobil yang berhenti di depan rumah Hellen. Seketika aku menegakkan tubuhku kembali dan menoleh ke arah suara itu, meski tetap saja aku tidak akan bisa melihat apa pun dari tempatku ini. Meski begitu aku tetap yakin bahwa suara itu adalah suara Hellen yang telah tiba di rumahnya.
Layaknya seekor anjing yang tengah menunggu majikannya datang, aku menunggu dengan penuh antusias dan tidak sabar suara langkah kaki Hellen yang mulai memasuki kamar pribadinya. Aku semakin menajamkan indera pendengaranku demi memeriksa kedatangan Hellen.
Cklek, blam! Suara pintu kamar itu terdengar dibuka lalu ditutup kembali. Aku yakin bahwa aku benar. Itu memanglah suara Hellen yang tengah memasuki kamarnya saat ini. Aku semakin merasa antusias dan gugup secara bersamaan. Lidahku bergerak keluar untuk membasahi bibir luarku yang terasa kering.
Aku bisa mendengar suara debuman kecil di sana. Tebakanku, Hellen baru saja melempar tas yang dibawanya ke meja. Lalu gadis itu meletakkan ponsel juga di sana. Untuk beberapa saat aku tidak mendengar suara apa pun lagi. Sepertinya gadis itu tengah diam di tempat entah melakukan apa.
Aku merasa ini adalah saatnya aku mengejutkan gadis itu. Aku bergerak mundur ke belakang. Lalu menoleh ke sekitar kamarku untuk mencari sesuatu yang bisa kugunakan. Tidak ada apa pun yang sekiranya bisa kulempar selain penghapus pensil yang ada di atas meja belajarku. Segera aku bergerak menghampiri dan mengambilnya.
Aku kembali mendekati jendela sembari memotong kecil menjadi beberapa bagian penghapus pensil itu dengan tangan. Aku tersenyum kecil melihat jendela kamar Hellen. Aku mengambil satu potongan penghapus pensil itu dan mulai membidik jendela kamar Hellen. Satu, dua, tiga, kuhitung secara perlahan waktu yang tepat sebelum kemudian aku melemparkan potongan itu pada jendela kamar Hellen.
Duk! Terdengar suara benturan kecil di sana. Untuk beberapa saat tidak ada respon apa pun dari dalam. Aku mengerutkan kening dengan heran. Apa Hellen tidak mendengar suara benturan itu? Sekali lagi aku kembali melempar potongan penghapus pensil itu.
Duk! Aku menunggu setelahnya. Aku juga tidak mendengar suara langkah kaki apa pun dari kamar itu. Hal itu semakin membuatku heran. Atau mungkin gadis itu sengaja mengabaikan suara benturan itu? Aku kembali menyiapkan dua potong penghapus pensil yang tersisa dan berniat untuk melemparkannya sekaligus. Satu, dua, tiga! Kulempar dengan lebih kuat ke arah jendela kamar Hellen.
Duk! Duk! Barulah setelah itu aku bisa mendengar suara langkah kaki yang berjalan cukup cepat ke arah jendela, dan detik kemudian, tirai jendela kamar Hellen tersibak dengan kasar, menampilkan wajah gadis itu. Dari tempatku berdiri saat ini, aku bisa melihat Hellen yang terlihat terganggu dengan apa yang baru saja kulakukan pada jendela kamarnya.
Gadis itu dengan raut wajah heran sekaligus kesal menatap kaca jendelanya yang tidak menampakkan sesuatu yang aneh. Lalu pandangan mata gadis itu beralih ke arah luar jendela yang akhirnya langsung bertatapan dengan kedua bola mataku.
Seakan ada magnet yang tak kasat mata di antara kami berdua. Pandangan mata kami saling bertemu dengan lekat tanpa berniat untuk memutuskan kontak. Aku bisa jelas melihat Hellen yang terpaku di tempat, menatap wajahku dari tempatku berdiri saat ini. Seakan masih tidak percaya dengan apa yang tengah dilihatnya, Hellen akhirnya membuka kaca jendela hanya untuk memperhatikan diriku dengan lebih jelas.
“Danny,” gumamnya. Aku seakan bisa mendengar suara Hellen yang lebih seperti bisikan manis di indera pendengaranku saat ini. Aku tanpa sadar tersenyum kecil mendengar Hellen menyebut namaku dengan cara gumaman lirih seperti itu. Seakan gadis itu masih belum bisa mempercayai apa yang tengah dilihatnya saat ini. Tapi kenyataannya, inilah aku. Berdiri dengan tegap membalas tatapan gadis itu.