Kencan, yuk? Minat, WA.
Ini memang gila, tapi waktuku tinggal sedikit saja. Kuusap sudut mata yang tiba-tiba basah,berusaha menyungging senyum walau hati berdenyar pedih. Tubuhku lemah bagai tak bertulang. Pak Budi menatapku iba dari spions.
"Anter ke blok M, Pak." Suaraku nyaris seperti bisikan. Saat sedang stres, paling asyik memang berbelanja. Membeli apa saja yang disuka, sejenak melupakan kesedihan. Pak Budi langsung kusuruh pulang, sementara aku memanjakan diri dengan memilih barang-barang bagus dan mewah. Baju-baju, aksesoris, bahkan boneka untuk adik Mas Adi Jaya. Makan yang ingin kumakan, setelah puas barulah pulang menggunakan jasa grab.
Ternyata walau sudah berbelanja banyak, beban di dadaku tak juga lenyap. Semakin mendekati rumah semakin sakit saja rasanya. Aku turun dari mobil, melambatkan langkah saat melihat mertuaku duduk di kursi depan rumah. Ibu yang melihatku, melambaikan tangan dengan bibir tersenyum lebar, wajahnya tampak bahagia. Lama tak bersua, membuatku rindu padanya. Walau ia ibu Mas Adi, tapi aku menyayanginya seperti ibu sendiri. Mungkin karena ia selalu memperlakukanku dengan sangat baik. Seumur aku jadi menantunya, tak pernah sedikitpun ia membentak. Ia menghujaniku dengan kasih sayang melimpah, sementara aku membalas dengan memberinya uang yang banyak, agar ibu bisa membeli apa saja dan hidup bahagia.
Aku mencium tangan ibu, memeluknya, membuka pintu lalu mengajaknya masuk. Ibu menjatuhkan diri ke sofa, sementara aku mengambil air minum di kulkas. Aku duduk di hadapan ibu, menatapnya dengan canggung karena lama tak bertemu. Aku menjenguknya sekali bersama Mas Adi saat ia baru keluar dari rumah sakit.
"Mel, kamu itu ada masalah apa dengan Adi? Ibu berkali-kali ke rumahmu, kamu tidak ada." Ia menatapku penuh sayang.
Tatapanku lurus memandangi ibu. Apa Mas Adi tak cerita bahwa ia sudah mentalakku? Aku yang tadinya berusaha tegar, di depan ibu terisak seperti anak kecil. Tatapan heran ibu membuatku sangat sedih.
"Ibu, Mas Adi talak aku karena aku gak bisa kasih dia anak, bu."
Ibu mengerutkan kening, tubuhnya menegang dan matanya melebar kaget.
"Apa?! Kamu bercanda kan, Mel, bercanda kan, Nduk?" Ibu menarikku ke pelukannya, mengusap bahuku yang bergetar oleh tangis.
Aku terisak-isak. "Aku nggak bercanda, Bu. Aku gak bisa kasih dia anak. Mas Adi bilang, dia talak aku karena ingin beri ibu cucu." Aku sesenggukan.
"A-diii!" Ibu terlihat geram. "Baru tiga tahun sudah tak sabar. Ibu dulu menunggu dia hampir sepuluh tahun, Nduk. Anak itu benar-ben--" Ibu memegangi dadanya, ia meringis tampak kesakitan.
"Ibu, i-buuu?!" Aku berteriak histeris. Sungguh aku takut ia kenapa-kenapa. Aku menelepon Pak Budi agar kemari untuk membawa ibu ke rumah sakit. Kuguncang tubuh ibu, berharap ia merespons. Tapi ia terus diam.
"Ibu, ibuu!"
Aku kembali menelepon Pak Budi, tidak juga diangkat. Mungkin sedang di jalan. Aku selalu bilang pada Pak Budi, jangan menelepon atau menerima telepon saat sedang mengemudi, bahaya karena bisa membuat pikiran tidak fokus.
Tak ada pilihan, akhirnya aku menghubungi Arman. Langsung diangkatnya.
"Arman, ke rumah aku sekarang. Ibu Mas Adi pingsan di sini." Aku mengarahkan kamera ke wajah ibu.
"Iya mbak, saya segera ke situ."
Sambungan dimatikan, aku mengguncang-guncang tubuh ibu, ia membuka matanya, terlihat kesakitan.
Tak lama kemudian Arman datang, mengangkat ibu ke mobilnya. Aku turut serta, terisak sepanjang jalan. Arman berkali-kali menatapku dari spions.
Setelah ibu mendapat perawatan, aku menghubungi Mas Adi Jaya. Terdengar suaranya yang berat, membuatku berdebar sekaligus sedih.
"Mas?"
Tatapan Mas Adi lurus ke wajahku. "Ada apa, Mel?" Wajahnya tampak pucat, sepertinya kurang tidur. Mungkin sibuk pacaran.
"Ibu tadi ke rumahku, ibu masuk rumah sakit."
"Apa?!" tanyanya kaget.
"Aku segera ke sana."
Aku menumggunya dengan d**a berdebar. Mas Adi ternyata tak datang sendiri, ia datang bersama perempuan yang kulihat di kantor waktu itu, cantik parasnya, dan ia tersenyum lebar padaku, sangat ramah atau mungkin pura-pura ramah? Hatiku pedih tak terperi, aku bersikap seolah tak ada yang sakit dengan hatiku, tersenyum pada Mas Adi, dan pamit pergi. Arman membuntutiku.
"Jalan ke parkiran di sana, Mbak."
Aku tak mempedulikan. Aku menyeberang jalan tanpa peduli kiri kanan. Klakson-klakson bersahutan. Pandanganku berubah nanar, gelap, tubuhku melayang ringan. Dua tangan menangkapku, pipiku ditepuk-tepuk, sakit. Tapi membuka mata pun aku tak bisa. Terlalu berat karena rasa menyakitkan di d**a.
Aku terbangun di ranjang rumah sakit, di sampingku, Arman sedang bicara menggunakan HPku. Ia menyudahi obrolan telepon saat menyadari aku menatapnya.
"Apa kamu menelepon mama? Kamu bicara apa sama mamaku?" tanyaku cemas, takut ia bicara yang bukan-bukan.
Dia menggeleng. Aku memijit pelan kepala yang berdenyar pusing. Teringat perjumpaanku dengan Mas Adi tadi, air mataku meleleh.
"Trus kamu nelepon siapa?"
"Banyak panggilan WA dari laki-laki."
"Siapa?"
"Masa mbak tidak ingat kalau Mbak promosikan diri di grup sss?" Dia memperlihatkan FBku yang banjir komentar.
"Saya tidak menyangka mbak begitu murahan. Grusa-grusu tanpa memikirkan akibatnya. Kalau mbak berhasil tidur salah satu dari mereka, dan ternyata mereka terkena HIV, mbak yang akan rugi."
Aku menarik napas, membenarkan ucapannya dalam hati. Tapi aku tak mau terlihat bodoh juga di matanya.
"Kan bisa pakai pengaman. Heran, gimana sih mikirnya?"
Arman tergelak dengan tatapan mengejek. "Ha ha. Lalu, gimana caranya mbak bisa hamil?"
Itu benar. Arman menepuk jidat. Aku terisak lirih. Ia hanya diam memandangiku.
"Kamu gak tau apa yang terjadi sampai aku berbuat begini. Kamu gak tau apa yang terjadi, Arman." Aku terisak. Malu terlihat lemah.
"Saya tahu. Mbak sudah menjelaskannya pada saya. Tapi yang saya lihat tadi, membuktikan bahwa mbak perempuan payah. Melakukan apa saja untuk lelaki yang jelas-jelas tidak lagi menginginkan mbak. Kalau saya jadi mbak, saya akan lupakan dia dan cari yang baru."
Ucapannya bagai sebilah pisau yang menikam-nikam jantungku. Ia tak tahu apa-apa.
Aku melepas kasar jarum impus di tangan dan berlari keluar. Petir menyambar-nyambar di.lanhit abu-abu pucat, hujan mengguyur deras sampai terasa sakit di wajah. Tubuhku basah. Aku terisak-isak di bawah hujan, menangis sekeras-kerasnya. Apa pun yang terjadi, aku akan dapatkan Mas Adi Jaya kembali. Tak ingin kulepas lelaki baik penuh kasih sepertinya.
Saat aku tiba di rumah dalam keadaan menggigil kedinginan karena hujan-hujanan hampir dua jam, ternyata Arman sudah menunggu di teras. Bajunya juga basah, aku tak tahu apa ia hujan-hujanan juga.
"Ngapain kamu di sini? Pergi, sana!" ucapku ketus.
"Saya kasihan sama mbak."
"Aku gak perlu dikasihani!"
Dia menarik napas panjang, tampak berpikir, lalu ucapnya pelan.
"Saya mau bantu mbak. Tapi ...."
Aku menatapnya tak percaya. "Tapi?" tanyaku penasaran. "Berapa yang kamu minta, akan aku berikan. Asal kamu bisa buat aku hamil."
Dia menarik napas. "Mbak harus ikut saya pulang ke kampung halaman, baru saya akan lakukan."
"Kenapa harus ke kampung kamu? Kan bisa ke hotel yang ada di sini. Kamu bisa pilih yang paling mahal."
Dia berdiri. "Kalau tidak mau ya sudah."
Memang dia beda dengan yang lain. Angkuh dan menyebalkan. Tapi sepertinya dia aman, tak sakit HIV. Apa boleh buat, aku memilih mengalah.
"Iya, aku ikut kamu ke kampung halamanmu. Kapan berangkat?"
"Besok pagi saya jemput." Lalu dia melenggang menuju mobilnya tanpa menoleh lagi. Badanku menggigil kedinginan, tapi bibirku melekuk senyum. Ah, akhirnyaaa. Semoga aku cepat hamil nanti, agar bisa segera kembali dengan Mas Adi Jaya tercinta. Sungguh tak sabar rasanyaa.
*Melani gak tau aja, sampai di kampung dia akan syok berat. Apa, cobaa? Arman kan menghindari zina, ja-dii ....