Setelah mengantar dokter sampai di ambang pintu dan minum obat, aku menelepon mama.
"Iya, Mel?" Di layar HP, Mama mengernyit memandangku. "Wajahmu kok pucat banget, kamu sakit? Apa tadi kamu hujan-hujanan? Kamu kan tahu kamu gak boleh terkena hujan. Sudah periksa dokter belum?"
Mama bicara panjang lebar sampai membuatku bingung menjawabnya. "Udah minum obat, Ma."
"Kamu si, udah tau gak bisa kena hujan malah hujan-hujanan."
Aku memijit kening, rasanya pening banget, kepalaku terasa berputar. Ini akibat kemarin hujan-hujanan ditambah hari ini, jadi semakin parah flu yang kuderita. Aku menjauhkan HP dan bersin dua kali.
"Adi mana? Mama mau bicara," Mama terlihat kesal. Ia pasti akan mengomeli Mas Adi karena membiarkan anaknya hujan-hujanan.
Biasanya saat aku sakit, mama akan mengomeli Mas Adi Jaya. Beda dengan ayah yang mencoba ikhlas menerima Mas Adi Jaya sebagai menantunya, mama terkadang masih begitu jutek pada Mas Adi. Aku dan Mas Adi hanya nikah hitam di atas putih karena dulu baik mama maupun ayah tak setuju aku nikah dengannya. Katanya mama, bisa jadi Mas Adi hanya mau memeloroti hartaku aja. Tapi ternyata, itu tak terbukti. Mas Adi tak pernah meminta uang padaku, tapi aku yang dengan senang hati memberinya uang walau ia tak memintanya, ia bahkan menolak saat diberi uang tapi aku memaksa. Mobil aku belikan, rumah aku belikan, pakaian bagus-bagus aku belikan. Aku senang memanjakannya walau Mas Adi sering mengoceh agar aku tak boros.
Seiring berjalannya waktu, mama mulai respeks pada Mas Ad Jaya. Lebih tepatnya, saat itu Mas Adi Jaya berhasil memenangkan tender, mama mulai memperlakukannya sebagai menantu karena ternyata walau tamatan SMA, Mas Adi cukup cerdas, beberapa kali memenangkan tender. Mama pernah menyuruh kami agar menikah secara resmi tapi Mas Adi Jaya menolak. Ia berkata tak perlu menikah resmi karena ia tak akan pernah meninggalkanku, jadi tak ada yang perlu dikhawatirkan.
Dari situ, mama mulai menyayanginya, dan menasehatiku agar patuh pada Mas Adi Jaya, memperlakukannya dengan baik. Tiap aku dan Mas Adi Jaya bertengkar karena hal sepele, mama akan selalu menasehati anaknya ini agar mengalah. Tapi kalau aku sakit, sifat asli mama muncul, ia akan langsung menyalahkan Mas Adi Jaya.
"Mana Adi? Mama mau bicara."
"Dia lagi gak di rumah, Ma," kataku jujur. Kenyataannya, Mas Adi memang tak di rumah. Lebih tepatnya kami sudah tak serumah. Aku di rumah kami yang dulu, sementara Mas Adi di rumah mewah yang aku belikan atas namanya.
Tatapan Mama menajam. "Bisa-bisanya dia pergi ninggalin istrinya yang sedang sakit." Mama menyentak napas. "Memang suamimu ke mana, sih, sebenarnya? Kata ayahmu, Adi tidak ke kantor dua hari ini."
Hatiku sakit membayangkan bisa jadi ia tak ke kantor karena sibuk mempersiapkan pernikahannya dengan perempuan itu.
"Gak tau, Ma, tadi bilangnya mau keluar bentar, gitu."
"Suamimu sebenarnya ada kesibukan apa sih, Mel, dua hari gak ke kantor, tanpa ijin, pula. Beberapa bulan belakangan ini sering tertidur di jam kantor."
Mungkin sibuk mempersiapkan pernikahan, Ma. Aku menggigit bibir membayangkannya. Aku gak sanggup. Pokoknya, aku harus segera hamil anak Arman agar bisa kembali pada Mas Adi. Mas Adi hanya mencintai aku. Lihat saja nanti setelah aku hamil, ia pasti akan berlutut mengemis cinta. Ehemp, aku tersenyum kecil membayangkannya.
"Mama harus telpon suamimu. Bisa-bisanya istri lagi sakit malah ditingg--"
"Ma, jangan!" Teriakku. Mama tak tahu apa-apa tentang masalah kami, juga tentang besannya yang masuk rumah sakit. Mama tak boleh tahu, kalau sampai tahu, mama pasti akan menjenguk ibu. Ibu pasti akan cerita pada mama yang didengarnya dariku.
"Jangan ya, Ma, Mas Adi sepertinya lagi banyak pikiran. Tolong jangan ganggu."
Mama menyentak napas. "Baiklah."
Sepertinya, aku harus menghapus nomer Mas Adi di HP mama, tentu saja setelah memblokir nomer Mas Adi di HP Mama. Jadi, Mas Adi gak bisa menghubungi mama.
"Ma."
Mama memandangku.
"Aku besok mau liburan ke kampung Arman. Aku pengen tahu tempat tinggalnya."
Mama mengangguk. "Arya tadi ke sini menjelaskan kamu akan ikut dengannya ke kampung halamannya. Yang penting hati-hati, Mel."
"Udah kasih ucapan hati-hati aja, deh. Aku kan mau peluk mama dulu sebelum berangkat."
Mama tersenyum.
"Aku tidur ya, Ma?"
Mama mengangguk. Aku mematikan panggilan dan memeluk bantal. Dadaku sedikit berdesir membayangkan aku akan tidur dengan Arman. Astaga, apa-apaan, ini, kenapa aku gugup begini? Aku menarik napas panjang mencoba meredam gugup, perlahan memejamkan mata.
***
Jam tujuh pagi, aku ke rumah Mama. Orang tuaku sedang melompat-lompat di halaman.
"Ma-maaa!" Aku berseru riang, lalu berlari ke arah Mama yang merentangkan kedua tangan. Aku memeluknya. "Mama, aku pergi, yaa?"
"Hati-hati, Mel." Ayah memandangku. Aku ganti memeluk ayah.
"Ayah mau minta dibawain oleh-oleh apa?" Aku mencium pipinya.
"Yang penting kamu selamat. Adi Jaya mana? Tidak ikut?" Mama menatap ke arah mobilku. Aku melambai pada Pak Budi, dengan gerakan tangan menyuruhnya pergi.
"Enggak, mungkin lagi sibuk. Emp, aku ke kamar mandi dulu, pengen pipis." Lalu aku melangkah cepat menuju rumah, bukan untuk mengunci kamar mandi melainkan memblokir nomer Mas Adi dari HP orang tuaku. Juga menghapus nomer Ibu Mas Adi.
"Sibuk apa suamimu? Dia sering tertidur di kantor, sepertinya kelelahan." Ayah memandangku penasaran begitu aku mendekat pada mereka tak lama kemudian.
"Nggak tau, tapi sepertinya belajar bisnis." Aku menelan ludah. Bukan belajar bisnis tapi sibuk mempersiapkan hari H-nya. Aku akan hamil dan tak akan biarkan kamu menikahinya, Mas. Kamu milik aku seorang dan yang kamu cintai hanya aku. Kamu menikahinya hanya agar punya anak. Tapi aku yakin aku tidak mandul.
Arman datang tak lama kemudian. Ia turun dari mobil, aku menggelengkan kepala memandangnya. Kalau saat pertama datang ke sini ia pakai blankon, kini ia memakai peci di kepalanya, kemeja hijau langit kotak-kotak dan pantalon hitam. Ya ampun dia, bagaimana mungkin ia berpenampilan sok alim begitu?
Arman menyalami orang tuaku, lalu aku dan dia masuk mobil yang dikendarai sopirnya. Arman yang masuk duluan duduk di tengah, tapi pas aku duduk di dekatnya, ia langsung bergerak ke pinggir. Aku mengerutkan kening. Sumpah heran banget, aku. Bagaimana gak heran, coba? Dideketin perempuan cantik malah bergerak ke pinggir. Aneh.
Setelah beberapa waktu dalam perjalanan, mobil akhirnya berhenti di stasiun. Arman membuka pintu dan turun. Aku menatapnya dengan kening berkerut.
"Mau ke mana, Ar?"
"Pulang kampung, lah, Mbak, ayo turun, nanti tertinggal kereta."
Mataku melebar tak percaya. "What? Maksud kamu, kita naik kereta, gitu?"
Arman mengangguk. "Iya."
Mataku melebar kaget. "Kenapa gak naik mobil aja? Ayah aku kalau pas ke Lampung pasti di antar sopir, kok. Gak perlu naik kereta."
Dia tersenyum kecil sambil menggelengkan kepala. Senyumnya manis, sayang nyebelin.
"Tetangga saya bisa geger kalau saya pulang bawa mobil, Mbak."
"Lha kan kamu emang punya mobil? Gimana, sii. Heran, deh."
"Mobil hanya untuk di Jakarta mbak, di kampung, saya tidak ingin terlihat mencolok."
"Ya gak papa lah mencolok. Itu tandanya kamu sukses di Jakarta."
"Mbak mau ikut saya atau tidak? Kalau tidak, ya, sudah."
"Iiih, kok, gi-tuuu?" Aku menatapnya sewot.
Arman kembali menggelengkan kepala. Mau tak mau akhirnya aku mengiringi langkahnya. Arman mencangklong ransel sementara tangan kirinya menarik koperku yang penuh berisi baju. Arman membeli tiket dan kami pun masuk. Aku mondar-mandir, mana kebelet pipis, pula. Udah jadi kebiasaan banget tiap mau bepergian jika belum memasuki kendaraan, pasti hawanya pengen pipis mulu.
"Ar, toilet di mana, ya? Aku ingin pipis, nii."
Tangan Arman terangkat ke udara. Aku mengikuti arah tangannya. Ada tulisan 'toilet' tak jauh dari kami.
"Jangan lama-lama, Mbak, takut tertinggal kereta."
"Mau buang air kecil kok dicepet-cepetin, sih? Kan kereta banyak, nyebelin, deh."
Ia tertawa kecil. "Iya banyak, tapi kalau langsung ada kan bisa berangkat dan cepat sampai Merak, cepat naik kapal dan cepat sampai rumah."
"Naik kapal, Ar?" Aku bergidik. Pernah dulu naik kapal dan aku muntah-muntah.
Ia mengangguk. Aku memgepalkan tangan kuat. "Kenapa gak naik pesawat aja siiii, Armaaan!" kataku gemas ingin njitak kepalanya.
"Atau naik travel kan enak gak perlu ribet harus naik keretalah, kapal lah, terus apa lagi nanti? Dokar?"
Ia tergelak. "Saya di Lampung, mbak, mana ada dokar? Mbak jadi ke kamar mandi apa tidak? Keburu datang keretanya."
Aku menyentak napas. "Harusnya naik travel kan bisa!" Aku meluapkan kekesalan.
"Saya suka naik kereta. Dan naik travel juga tetap naik kapal."
"Auk, ah, nyebelin!" Aku melangkah cepat menuju toilet. Lalu kembali menghampiri Arman. Tapi aku kebelet pipis lagi, padahal baru saja pipis. Ini aku kebiasaan banget, tiap mau bepergian pasti deh hawanya pipis mulu.
"Itu keretanya datang, mbak," kata Arman saat aku menghampirinya lagi. Benda panjang itu bergerak pelan mendekat.
Arman menarik koper bersiap masuk, tapi aku mencekal tangannya. "Ar, aku pengen pup." Aku nyengir.
"Ya ampun, mbak, kenapa tidak dari tadi?"
"Orang kebeletnya sekarang. Trus, air mineralku habis, tolong beliin ya, di sana?" Aku merogoh tas lalu mengulurkan dompetku padanya. Ia menarik napas.
"Nanti saya belikan, mbak ke toilet saja dulu." Ia terlihat sedikit jengkel karena tak jadi naik kereta.
"Gimana mau ke toilet, kamu belum beliin aku air mineral."
"Mbak bisa minum setelah dari toilet."
"Ya ampun Armaaan, airnya bukan buat minum tapi buat cebok."
Ia mengerutkan kening. Aku mengibaskan tangan di depan wajahnya.
"Air di toilet umum itu gak bersih, bisa jadi ada bakterinya. Namanya aja dipakai banyak orang. Kalau untuk nyiram si gak papa, kalau buat cebok ya ogah, lah, yaa."
Ia menggelengkan kepala, lalu melangkah cepat meninggalkanku. Aku menunggunya cukup lama.
"Lama banget, sih!" kataku saat ia mengulurkan air mineral padaku. Orang-orang di sekeliling memperhatikanku. Mungkin heran aku cantik berpakaian seksi tapi pergi bersama Arman yang berpenampilan kalem.
"Yaudah aku ke toilet dulu."
Arman mengangguk. Baru saja aku hendak melangkah, ia memanggilku, aku membalikkan badan, menatap plastik mengembung yang terulur ke udara.
"Apa itu?"
"Buat mbak, biar tidak repot."
"Apaan?" Aku nenerimanya. Aku mendelik saat melihat isinya. Ia tertawa.
"Itu solusi buat di perjalanan, Mbak, jadi mbak gak repot."
"Begitukah? Tapi masa aku pakai ini? Kayak anak kecil, dong? Ogah, ah."
"Daripada kita di sini sampai malam gara-gara Mbak ke toilet terus, pilih mana?"
Iya juga sih kalau dipikir-pikir. Aku akhirnya membawa pemberiannya menuju toilet. Begitu aku kembali menghampiri Arman, ia sudah bersiap naik kereta. Ia langsung menarikku masuk dan kereta pun bergerak meninggalkan stasiun. Aku dan Arman duduk berdekatan, aku sesekali membenarkan posisi duduk, tak nyaman karena sebelumnya tak pernah memakai pempes. Sumpah risih banget.
"Arman, aku gak nyaman banget pakai pempes. Kamu, siii." Aku berkata pelan.
"Apa, mbak?" Ia menatapku tak percaya. "Mbak beneran pakai pempes di kamar mandi?" Bibirnya mengulas senyum. "Ha ha. Padahal aku hanya menggojloki mbak saja, tapi dipakai beneran. Ha ha."
Suara Arman yang keras membuat orang-orang menoleh memperhatikan. Aku mendelik pada Arman, ia terus saja tertawa, bahunya bergetar-getar oleh tawa dan tangannya membekap mulut. Aku kembali mendelik padanya.
"Ha ha. Mbak, mbak, ada-ada saja. Memang mbak beneran mau pipis di pempes? Tidak risih? Ha ha." Tangannya kini memegangi perutnya.
"Armaaan, kamu nyebelin banget, siiih!" Aku memukuli bahunya. Ia menyilangkan tangannya di depan dadanya dan tergelak. Wajahku menghangat saat menyadari beberapa orang menatap kemari.
"Ha ha. Mbak, Mbak."
"Auk, ah."
"Ha ha."