Semakin Berani

1110 Kata
Hilda merasa geram karena anak lelakinya itu sama sekali tidak mau membuka pintu setelah di gedor-gedor sekian lama. Tanpa sadar, bulir kristal jatuh membasahi pipinya. Merasa sakit dan terluka karena diperlakukan seperti ini oleh anak sulungnya itu. Ia beralih pada Lena yang masih terpaku di tempatnya. Hilda mendekati Lena dan menariknya sedikit kasar menuju kamar lalu mengunci pintunya. Menatap anak gadisnya dengan tatapan tajam seakan ingin melahapnya. "Ma, pelan-pelan dong, kenapa jadi kasar sih," sentak Lena menghentakkan tangannya agar lepas. "Kamu kenapa susah banget sih kalau dikasih tahu, Lena," geram Mama. "Kalau mama suruh kamu masuk ke kamar ya masuk! Sudah dikasih isyarat tapi gak paham juga! Dasar gadis bodoh!" makinya. "Mama kenapa sih? Ada apa? Kenapa jadi marahin aku cuman gara-gara Nita!" sentak Lena lagi. "Mama tidak peduli dengan wanita kurang ajar itu. Mau kayak gimana, mau dilawan seperti apa sama kamu pun, gak peduli–" "Ya terus, kenapa sikap Mama menjadi seperti ini?" potongnya cepat. "Ini semua karena kamu yang bodoh. Coba kalau tadi masuk ke kamar, tidak ikut angkat suara, maka Dimas tidak akan mengancam untuk pergi dari rumah ini. Kamu paham gak sih? Kalau mereka pergi, apalagi Dimas, itu artinya keuangan kita tidak akan seperti sekarang," papar Mama. "Halah, paling juga itu cuman ancaman semata, Mama. Mas Dimas tidak akan mungkin tega meninggalkan kita dirumah hanya berdua saja. Itu ancaman, agar Mama berbaik hati pada Nita. Memangnya, Mama mau berbaik hati w************n itu?" cecar Lena tidak suka dengan sikap Mamanya saat ini. "Tapi kalau Dimas benar-benar akan pergi dan ternyata bukan ancaman, bagaimana?" Hilda mendelik tajam pada anaknya dan melayangkan pertanyaan yang membuat Lena bungkam seketika. Gadis itu mulai berpikir, benar juga apa yang dikatakan mamanya itu, bagaimana jika nantinya ternyata itu bukan ancaman semata melainkan benar-benar pergi dari rumah. "Gimana? Gak bisa jawab kamu, 'kan? Makanya, jangan seenaknya dulu!" sentak Hilda. "Bolehlah kita kalau mau bersikap seenaknya pada Nita. Tetapi, pada Dimas, Mama rasa mulai sekarang harus hati-hati. Gak peduli, uang yang dihasilkan itu dari siapa, paling penting sekarang kita tetap mendapatkan bagian," papar Hilda. "Aku juga bisa kok cari uang, Ma. Atau kalau perlu cari pacar yang kaya raya, jadi nanti bisa mensejahterakan hidup Mama." "Ya terserah apa katamu. Tapi, untuk saat ini sampai kamu belum bekerja dan belum mendapatkan pacar yang katanya kaya raya, maka kita harus bisa berbaik hati–" "Ih apaan sih, Ma!" pekiknya. "Ogah banget berbaik hati. Tidak ya! Tidak ada dalam kamusku berbaik hati!" Bugh. Hilda menepuk bahu anaknya sedikit kencang agar berhenti mengoceh. "Bodoh, berbaik hati pada Dimas, bukan Nita! Mama juga ogah berbaik hati pada wanita itu," sergahnya. Lena mengangguk setuju dan pamit undur diri untuk masuk ke kamarnya sendiri. Ingin berselancar di sosial media mencari lelaki kaya raya seperti yang dikatakan olehnya barusan. *** Hari-hari berlalu, keadaan masih sama seperti sebelumnya. Nita masih tidak dianggap oleh kedua wanita beda generasi itu, tetapi beda jika ada Dimas di rumah, maka keduanya akan memainkan drama seakan-akan sudah berubah dan hidup lebih baik berdampingan dengan Nita. Terkadang, hal itu sering kali membuat Nita tidak habis pikir. Ada saja, hal yang membuatnya menggelengkan kepala dengan segala macam ulah yang dibuat oleh mereka. Tapi, Nita mulai merasa tidak peduli dan tidak ambil pusing dengan semua itu. Ia kan mengikuti semua drama yang dimainkan oleh Hilda dan Lena. Mulai berubah menjadi Nita yang seperti sebelumnya, tidak bisa lagi ditindas namun tetap saja susah mengalah karena menganggap keluarga. Nita merasa tidak sabar untuk segera keluar dari rumah tersebut. Berharap, jika suaminya dapat segera dengan cepat mendapatkan info perumahan. Baginya, tidak masalah jika mencicil tiap bulan, anggap saja mengontrak, tapi nanti di ending akan memiliki rumah sendiri. Daripada terus bertahan di dalam satu atap yang sama, tidak dapat dibayangkan lukanya nanti akan selebar apa. Sejak kejadian kemarin, Nita mulai masa bodoh dengan apa yang dilakukan atau dikatakan oleh Hilda maupun Lena. Jika kata-kata mereka hanya sebatas sindiran, maka ia tidak ambil pusing tapi jika sudah lebih dari itu, maka ia akan melawan namun masih dalam batas yang wajar. Ya seperti sekarang ini, kedua wanita beda generasi itu sedang menonton tv karena warung Hilda tutup. Sedangkan, Dimas sedang berbelanja ke pasar, membeli stock barang-barang yang akan dijual nantinya. "Ma, tahu gak, Mbak Desi yang kemarin baru nikah, sudah hamil loh," sindir Lena melirik ke arah Nita berharap wanita itu mendengar. "Oh iya? Wah hebat ya, berarti subur banget tuh Desi. Senang banget pasti itu Ibu Nur akan segera dapat cucu," balas Mama. "Ya itu juga karena sikapnya yang baik, Ma. Baik sama orang tua dan mertua, tidak suka membantah dan selalu nurut. Bukan malah mengibarkan bendera perang dan selalu berusaha menjauhkan anak lelakinya dengan ibu dan adiknya." "Iya kamu benar. Desi tuh baik banget sama mertuanya, selalu memberikan apa yang diminta oleh mertuanya. Ah bahagia sekali pasti yang jadi mertuanya, kapan ya Mama merasakan hal itu." "Ya lihat dulu modelan mertuanya seperti apa dan bagaimana. Gimana Mbak Desi gak baik dan sayang sama mertua, lah wong mertuanya aja baik banget. Selalu membantu mengerjakan semua pekerjaan rumah, gotong royong. Tidak saling membenci dan saling mendukung," sindir Nita. "Makanya, kalau mau diperlakukan dengan baik, ya bersikap baik juga dong. Bukan cuman sama menantu tapi sama orang lain juga sama," imbuh Nita masih sibuk menyapu lalu akan mengepel. "Maksudnya apa, Nita? Kamu nyindir Mama?" "Lah, Mama kenapa? Ngerasa kesindir memangnya?" "Ya bahasa kamu seakan-akan menyindir, Mama!" sentak Hilda. "Loh, biasa saja dong, Ma. Tidak usah marah jika tidak merasa. Kecuali, kalau Mama merasa dan marah, berarti sindiran itu memang pas untuk Mama," papar Nita merasa tidak bersalah dan asik dengan pekerjaannya. "Hei, kamu itu gak bisa apa ya lebih sopan bicara sama orang tua? Hah?" tanya Lena melotot. "Kamu bicara sama aku? Hah?" tanya Nita balik. "Ya iyalah, masa iya sama tembok!" "Ya cocok sih kalau kamu bicara sama tembok. Soalnya, sama-sama tidak punya sopan santun. Kok bisa kamu membicarakan mengenai hal sopan santun denganku, tapi kamu sendiri tidak bisa bersikap sopan dan santun padaku." "Kurang ajar!" maki Lena. "Sudah berani rupanya kamu, sekarang!" "Kenapa harus takut? Sama-sama makan nasi, kok," seloroh Nita. Kata-katanya itu membuat Hilda dan Lena semakin merasa geram. "Kamu itu ya, semakin hari semakin kurang ajar sekali, Nita!" bentak Hilda menghampiri Nita dan ingin melayangkan tangannya. Sigap, Nita menangkap tangan itu dan menepisnya dengan kasar. "Tidak usah main tangan, Ma. Aku juga bisa melakukan hal yang sama, tapi pantang bagiku menampar orang tua kecuali sudah keterlaluan," tegasnya sangar. "b******k kamu itu, Nita! Dasar perempuan mandul!" maki Lena. "Jangan lancang kamu, Lena. Belum tentu aku yang mandul! Jangan sampai, ucapan kamu dan Mamamu ini berbalik pada diri kalian, Mas Dimas atau kamu sendiri, Lena!" teriak Nita lantang, menunjuk keduanya bergantian penuh emosi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN