Nita memandang keduanya secara bergantian dengan penuh amarah. Menyesal karena berpikir bahwa keduanya bisa berubah menjadi lebih baik, sebab memang beberapa hari terlihat damai tanpa adanya pertikaian diantara mereka.
"Nita, harus berapa kali sih dibilang jangan mendoakan hal buruk pada Lena!" sentak Hilda berkacak pinggang.
"Aku tidak pernah mendoakan hal buruk pada siapapun. Tapi, anak kesayangan Mama ini yang seringkali bicara lancang tanpa berpikir panjang. Ma, Gusti Allah itu tidak tidur! Bisa melihat dan mendengar, disekeliling kita juga ada malaikat yang menyaksikan. Siapa yang memulai dan mendoakan hal buruk! Karma itu benar-benar ada, Ma. Atau bahasa yang lebih halusnya hukum tabur tuai itu ada."
"Seumur hidup, aku tidak pernah mendoakan hal buruk pada orang lain. Tapi, kalian terus mengoyak hatiku hingga tidak berbentuk lagi. Kalian selalu menyindir, menghina, mencemooh bahkan mengatakan hal buruk padaku. Aku tetap diam tidak melawan, tapi jika kalian mengatakan bahwa aku mandul, maka mohon maaf aku tidak akan pernah tinggal diam."
"Aku sehat, aku subur, aku memiliki rahim. Gusti Allah, akan menurunkan malaikat kecil dan menitipkannya di rahimku di waktu yang tepat. Tanpa kalian suruh dan minta, karena apa? Karena Gusti Allah itu, lebih tahu apa yang terbaik untukku."
"Kalian jangan bersikap seakan-akan lebih mengetahui segalanya daripada Gusti Allah. Aku sudah sering mengingatkan, jangan bicara sembarangan. Ingat, doa orang yang tersakiti dan terdzolimi itu akan dengan mudah menembus hingga langit ke tujuh. Jadi, aku peringatkan untuk kesekian kalinya, jangan bicara sembarangan. Jangan membuatku, berdoa sambil menangis, mengadukan semua luka dan rasa sakit itu pada Gusti Allah, aku tidak akan mendoakan yang buruk untuk kalian tapi Allah pasti akan memberikan pelajaran yang sangat berharga, cepat atau lambat, itu pasti!"
"Oh jadi rupanya kau sering berdoa dan mengadukan kelakuan kami, iya?" serang Lena.
"Iya benar. Memangnya, kenapa? Masalah? Aku punya hak untuk mengadukan kelakuan kalian pada Gusti Allah," jawabnya menantang. "Masih untung aku membicarakan kelakuan buruk kalian pada Gusti Allah, kalau membicarakan pada tetangga sekitar bagaimana? Apakah kalian tidak akan malu?"
Hilda tertawa terbahak-bahak mendengar kata-kata Nita yang menurutnya itu sangat lucu. "Dan kamu pikir, mereka akan percaya dengan segala macam ucapan darimu?"
"Aku yakin, mereka akan percaya karena aku memiliki banyak bukti-bukti kejahatan kalian dalam menghinaku," papar Nita tersenyum sinis, mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan apa yang sudah dilakukan olehnya.
"Bagaimana kalau semua rekaman ini, aku tunjukkan pada tetangga dan dunia Maya? Lalu, aku bikin caption mertua dan ipar yang selalu menginjak-injak harga diri menantu juga kakak ipar," sinisnya. "Ingat, Lena, kamu anak kuliahan, cukup terkenal juga bukan karena bermuka dua. Bagaimana jika mereka semua tahu kelakuan kamu yang sebenarnya?" ancam Nita berani.
"Jangan macam-macam kamu, Nita. Aku tidak akan segan-segan membunuhmu jika sampai itu terjadi," ancam balik Lena.
"Kamu pikir, aku takut?" tantang Nita tersenyum sinis. "Sebelum kamu membunuhku, maka aku akan lebih dulu membunuh karaktermu dan dalam seketika kamu akan stress, gila, masuk rumah sakit jiwa deh, ups," ledek Nita berlalu pergi meninggalkan Hilda dan Lena yang diambang emosi memuncak.
"b******k! Nita! Kurang ajar kamu, ya! Lihat saja nanti, aku tidak akan pernah terima diperlakukan seperti ini. Berani macam-macam, maka akan aku bunuh, kamu!" ancam Lena penuh emosi dengan suara yang lantang.
"Hati-hati, semua kartumu, aku yang pegang," jawab Nita kembali memutar ulang video suara dari Lena barusan.
"Argh! Kurang ajar!" teriaknya.
Nita bergegas masuk ke dalam kamar dan menguncinya dari dalam. Tidak peduli dengan pekerjaan rumah yang belum juga selesai. Ia menyandarkan tubuh di balik pintu kamar, lalu lurus kebawah. Menarik nafas berat lalu menghembuskannya perlahan-lahan.
Memejamkan mata sejenak lalu terisak, ia merasa emosinya benar-benar muncak. Berusaha untuk mengikis rasa sakit, tapi sulit sekali. Bahunya bergetar hebat, Nita menggigit bibir bawahnya kuat-kuat agar tidak menangis histeris. Kembali menarik nafas yang terasa berat, dadanya terasa sesak seakan tidak ada lagi ruang untuk bernafas.
Nita masih memejamkan matanya, menangis dalam diam memang tidak mengenakan bahkan terasa sangat sakit sekali. Lebih baik menangis dan melepaskan semuanya agar hati menjadi tenang dan lega. Menangis dalam diam justru akan semakin membuat luka basah dan semakin lebar. Rasanya bahkan tidak bisa lagi dijelaskan dengan kata-kata.
Duduk berjongkok dengan kedua kaki terlipat dan menundukkan kepala, meringkuk seperti ini rasanya ada kenyamanan tersendiri bagi Nita. Melampiaskan semua rasa dalam tangisan pilunya, ia tergugu namun tak berani untuk mengeluarkan suara.
Rasa sesak kembali menghampiri, bahkan ia sampai merasa kesulitan untuk bernafas. Berkali-kali membuang nafas demi untuk menstabilkan lagi nafasnya yang tidak beraturan. Kembali menenangkan diri agar tidak mati konyol karena terus dalam menangisi kehidupan.
Setelah puas menangis dalam diamnya, Nita kembali membuka mata. Jangan ditanya saat ini kondisi wajahnya sudah seperti apa, wajahnya basah bahkan matanya pun terlihat sembab. Melepaskan untuk menangis histeris saja bisa membuatnya merasa sakit apalagi menangis dalam diam seperti ini.
"Allah … Allah … Allah," lirihnya terbata-bata.
Nita bangkit, melangkah masuk lebih dalam lagi dan melemparkan tubuhnya ke atas ranjang. Menatap langit kamar dengan sesegukan, tangisnya memang sudah berhenti tapi hatinya terasa masih luka.
"Ya Allah, ternyata tidak mudah menjadi istri Mas Dimas. Aku menikah untuk mencari kebahagiaan tetapi terus-menerus dihantam oleh sikap buruk mertua dan ipar. Apa mungkin aku salah memilih lelaki itu menjadi suami?"
"Tapi, Mas Dimas justru cukup sangat baik selama ini. Memperlakukan aku layaknya ratu di hatinya. Tidak sedikitpun memberikan luka, berbeda dengan mama dan adiknya."
"Ya Allah, tenangkan hati dan pikiranku. Lapangkan lagi rasa sabarku, ini adalah awal dimana dunia baruku berjalan."
***
Menangis membuat Nita merasa sangat lelah, ia sama sekali tidak keluar kamar sampai-sampai suaminya kembali ke rumah dan mendapati pintu kamar yang masih terkunci. Merasa curiga tapi tidak ingin berpikiran yang macam-macam, mungkin saja memang istrinya itu kelelahan dan tertidur.
Dimas memilih untuk duduk santai di teras sambil meneguk kopi secara perlahan. Menikmati setiap paduan rasa manis sekaligus pait yang ada di dalam kopi tersebut. Tidak lupa menyantap juga gorengan yang dibeli sebelum pulang. Padahal, niat hati ingin menghabiskan waktu sore bersama istri sambil bersantai tetapi malah terkunci dari dalam kamar.
Tetangga samping rumah yang ternyata teman baik Nita melihat Dimas yang sedang bersantai pun melangkah maju. Menatap sekeliling, melihat ke kanan dan ke kiri memastikan bahwa tidak akan ada yang melihat atau mendengar jika dirinya mengobrol dengan Dimas.
"Mbak, ngapain? Celingukan begitu nyari siapa?" tanya Dimas bingung melihat tingkah Mbak Yati yang berdiri tidak jauh dari hadapannya itu.
"Nita mana, Dimas?"
"Di dalam kamar, kayaknya ketiduran, Mbak. Aku gak bisa masuk nih," kekehnya.
Mbak Yati melangkah maju dan duduk disamping Dimas lalu berbisik, "Mama dan adikmu kemana?"
"Gak tahu, tadi sih pergi keluar. Kenapa sih emangnya, Mbak?"
"Dimas, apa tidak lebih baik kalau kamu ajak Nita ngontrak? Ya setidaknya, tidak satu atap dengan mertuanya."
"Kenapa memangnya, Mbak? Kok mbak bicara seperti itu?"
"Maaf, Dimas. Bukan maksud bicara lancang, tapi Mbak kasihan sama istri kamu itu," jawab Yati kembali memastikan tidak ada yang mendengar. "Ibu Hilda terkadang keterlaluan, sering banget membicarakan hal buruk tentang Nita ke tetangga. Apalagi, belakangan ini lagi gencar banget nyebarin info bahwa Nita mandul," bisiknya.
"Aku sebagai seorang perempuan dan ibu, bisa merasakan sakitnya, Dimas. Aku juga tahu rasanya lama mendapatkan momongan, tapi Alhamdulillah keluarga suami tidak ada yang menuntut akan hal itu. Jadi, aku tidak terlalu stress memikirkannya."
"Setiap hari nih, kalau kamu gak ada, mereka selalu saja bertengkar. Mbak bukan maksud menguping, tapi pernah sekali waktu saat akan mengajak Nita pergi, ternyata mereka sedang bertengkar. Dan kamu tahu, Nita selalu menangis diam-diam kalau sedang bersama denganku."
"Nita memang tidak bicara apa-apa, sedikitpun ia tidak membicarakan hal buruk mengenai mertua dan iparnya. Tapi, aku seringkali mendengar mereka saling berteriak lantang. Aku kasihan sama Nita, Dimas."
"Seperti tadi siang, mereka kembali bertengkar–"
"Lagi, mbak? Kali ini apa masalahnya," keluh Dimas mengusap kasar wajahnya frustasi.
"Gara-gara Lena dan Ibu Hilda membandingkan Desi yang baru saja menikah sudah hamil, sedangkan Nita belum. Bahkan, Lena nih ya ampun deh aku mah gak habis pikir, dia seorang perempuan tapi selalu lantang mengatakan bahwa Nita itu mandul. Ya Allah, maaf ya Dimas, mbak harus bicara. Mbak kasihan sama Nita, demi Allah."
"Ya Allah, astaghfirullah. Mbak Yati, apa aku sebagai suami sudah terlalu zalim pada istri karena tetap bertahan di rumah ini?"