Di Sekolah
Seperti biasa, Zoya masuk ke dalam kelasnya. Beberapa saat kemudian, Pak Bagus selaku guru dan wali kelasnya masuk dengan membawa seorang murid laki-laki. Melihatnya, Zoya seperti tak asing dengan siswa tersebut. Ya, dia adalah siswa laki-laki yang tadi menabraknya dan langsung kabur.
“Pagi anak-anak,” ucap Pak Bagus.
“Pagi pak,” jawab siswa di kelas.
“Itu kan cowok yang tadi nabrak aku. Ngapain dia disini,” batin Zoya.
Pak Bagus memintanya memperkenalkan diri, “Hari ini kalian punya teman baru pindahan dari sekolah lain. Badi, silahkan perkenalkan diri kamu pada teman-teman baru kamu.”
“Halo teman-teman. Perkenalkan namaku Badi William Siegfried. Kalian bisa panggil aku Badi,” ucap siswa baru bernama Badi tersebut.
“Bad, kamu aslinya orang mana sih? Kok mukamu kayak bule,” tanya salah seorang siswi.
“Kebetulan ayahku orang Jerman dan ibuku asli Indonesia. Aku lahir dan tinggal di Indonesia jadi aku aslinya orang Indonesia meskipun punya darah Jerman dari ayahku,” ucap Badi.
“Badi sekarang kamu bisa duduk disitu,” ucap Pak Bagus menunjuk ke bangku kosong disamping Zoya.
“Kok disini sih pak. Suruh duduk di bangku lain aja,” ucap Zoya.
“Di kelas ini yang bangkunya kosong cuma ada satu yaitu disamping kamu. Biarkan aja Badi duduk disitu,” ucap Pak Bagus.
“Tapi ini kan bangkunya Viko pak,” ucap Zoya.
“Viko lagi, Viko lagi. Kamu sadar dong kalau alam kamu dan alam Viko itu sudah berbeda. Viko udah meninggal, jadi gak perlu kamu ingat-ingat lagi apalagi sampai masih menganggapnya ada. Pokoknya bapak gak mau tahu Badi harus duduk disamping kamu karena di kelas ini gak ada bangku kosong lagi selain disitu,” ucap Pak Bagus.
Pak Bagus mempersilkah Badi untuk duduk disebelah Zoya, “Badi, silahkan kamu duduk disamping Zoya.”
“Baik pak,” ucap Badi kemudian duduk disebelah Zoya.
“Anak-anak sekarang kita mulai pembelajaran kita seperti biasa,” ucap Pak Bagus.
Setelah duduk disamping Zoya, Badi ingin berkenalan dengannya. Namun, Zoya menanggapi Badi dengan ketus. Hal ini karena Zoya masih kesal dengan Badi karena tadi Badi telah menabraknya sampai jatuh.
“Hai. Kenalin namaku Badi,” ucap Badi mengulurkan tangan.
“Udah tahu,” ucap Zoya tanpa menanggapi jabat tangan dari Badi.
“Kalau nama kamu siapa?” tanya Badi.
“Kayaknya Pak Bagus tadi udah nyebut namaku deh,” ucap Zoya dengan ketus.
“Judes banget sih jadi cewek,” ucap Badi.
“Apa kamu bilang? Aku judes?” tanya Zoya.
“Kamu ngerasa judes gak?” tanya Badi.
“Enggak Lah,” jawab Zoya.
“Ya kalau enggak ngapain marah,” ucap Badi.
“Hih! Nyebelin banget sih kamu!” ucap Zoya.
*****
Pertengkaran tak cukup sampai disitu saja. Saat jam istirahat, tepatnya saat ingin pergi ke kantin, Badi dan Zoya masih bertengkar kecil. Meskipun baru kenal tetapi keduanya sering salah paham.
“Ngapain kamu ngikutin aku,” ucap Zoya.
“Siapa juga yang ngikutin kamu. GR!” ucap Badi.
“Kalau gak ngikutin aku kenapa jalannya sama,” ucap Zoya.
“Lah kan emangnya jalannya lewat sini,” ucap Badi.
“Aku mau ke kantin,” ucap Zoya.
“Aku juga mau ke kantin,” ucap Badi.
Zoya mengatakan, “Tuh kan kamu pasti ngikutin aku. Aku ke kantin, kamu juga ikut ke kantin!”
“Emangnya yang mau ke kantin kamu doang? Seluruh siswa dan siswi di sekolah ini berhak ke kantin,” ucap Badi.
“Tapi kamu udah ngikutin aku!” ucap Zoya.
“Banyak tuh anak-anak lain yang ke kantin juga tapi kok gak kamu bilang ngikutin kamu? Giliran aku ke kantin kamu bilang aku ngikutin kamu,” ucap Badi.
“Kenyataannya begitu kan. Aku keluar kelas, kamu juga keluar. Aku jalan kamu juga jalan di belakang aku,” ucap Zoya.
“Susah ya ngomong sama cewek aneh kayak kamu, bawaannya overthinking mulu. Udah deh biar kamu gak ngerasa aku ikutin mending aku jalan duluan aja! Bye,” ucap Badi berjalan lebih dulu ke kantin.
Di Kantin
Sesampainya di kantin, Zoya bingung mau duduk dimana karena kantin sangat penuh sampai-sampai tidak ada satupun meja dan kursi yang tersisa. Hanya ada satu tempat yang tersisa yaitu tempat duduknya si Badi. Namun, Zoya tak mau kesana karena gengsi sebelumnya bertengkar dengan Badi.
Disisi lain, Zoya sudah sangat lapar tetapi ia belum menemukan tempat duduk. Zoya bingung harus makan dan minum dimana jika semua meja dan kursi disana telah penuh. Melihat itu, Badi memanggil Zoya dan menyuruhnya duduk di tempat duduknya.
“Kok udah penuh semua sih. Kalau gini caranya aku makan dan minum dimana. Gak mungkin kan kalau aku makan dibawah,” batin Zoya sambil celingak celinguk.
“Kenapa mbak?” tanya ibu kantin.
“Bu, tolong tambahin tempat duduk dan mejanya dong. Saya gak kebagian tempat nih,” ucap Zoya yang juga sedang membawa nampan berisi makanan dan minuman.
“Nimbrung aja sama murid lainnya mbak,” ucap ibu kantin.
“Mau nimbrung dimana sih bu jelas-jelas udah penuh semua nih tempatnya,” ucap Zoya.
“Ada kok mbak. Tuh,” ucap ibu kantin menunjuk ke tempat Badi.
“Hah? Tempatnya si Badi? Enggak-enggak, jangan sampe!” batin Zoya.
“Mas yang duduk disana itu sendirian mbak dan kursinya masih ada satu tuh. Mbak kesana aja mumpung belum ditempati orang lain,” ucap ibu kantin.
“Gak ada tempat lain apa bu,” ucap Zoya.
“Sepertinya cuma disitu satu-satunya tempat kosong mbak,” ucap ibu kantin.
“Woy. Ngapain kamu disitu,” ucap Badi.
“Bukan urusan kamu,” ucap Zoya.
“Pasti lagi nyari tempat duduk kan? Duduk disini aja. Masih ada kursi satu nih,” ucap Badi.
“Ogah,” ucap Zoya.
“Gak usah gengsi deh. Bentar lagi jam istirahat selesai. Kamu mau gak jadi makan dan kelaparan di kelas?” tanya Badi.
“Duh gimana nih,” batin Zoya.
“Duduk disitu aja mbak gak apa-apa toh masnya juga baik kok dengan senang hati meminta mbak duduk disitu,” ucap ibu kantin.
“Ya udah deh. Mau gimana lagi,” batin Zoya.
“Iya bu. Makasih ya bu,” ucap Zoya kemudian duduk di tempatnya Badi.
Karena tak punya pilihan lain, akhirnya Zoya duduk disitu. Ketika sedang makan, Badi terus memperhatikannya. Zoya merasa risih karena sedari tadi Badi tak henti-hentinya menatap Zoya yang sedang makan.
“Ngapain sih ngeliatin aku terus. Naksir ha?” ucap Zoya.
“Kamu tuh ya kalau gak overthinking ya ke GR-an. Aku lihatin kamu bukan karena naksir tapi ada ini nih,” ucap Badi mengambil sebutir nasi yang menempel di dekat bibir Zoya.
“Malu banget aku,” batin Zoya.
Badi mengatakan, “Bilang makasih kek karena aku udah ngambil ini di muka kamu. Coba kalau aku biarin aja nasinya menempel di muka kamu sampai kamu masuk kelas, kamu bisa diketawain loh sama anak-anak.”
“Makasih,” ucap Zoya.
Mendengar itu, Badi mengatakan “Kalau gak ikhlas bilang makasih, sekalian aja gak usah.”
“Memangnya aku bilang kalau aku gak ikhlas ngomong makasih?” tanya Zoya.
“Mulut kamu sih gak bilang tapi nada bicara kamu udah cukup mewakilkan,” ucap Badi.
Beberapa saat kemudian, bel masuk yang menunjukan jam istirahat selesai berbunyi. Hal ini membuat Zoya panik karena dia masih lapar dan makanannya belum ia habiskan.
“Yah jam istirahat udah selesai,” ucap Badi.
“Ini semua gara-gara kamu. Kalau kamu gak ngajak aku ngomong terus pasti aku udah selesai makan!” ucap Zoya.
“Lah salah sendiri kok malah nyalahin aku,” ucap Badi.
“Kan emang gara-gara kamu!” ucap Zoya.
“Tau ah. Kayaknya aku gak pernah bener deh di mata kamu. Aku selalu aja salah,” ucap Badi kemudian meninggalkan Zoya di kantin.
****
Pandu menunggu Zoya di tempat parkir karena ia akan mengantarkan Zoya pulang. Namun, lagi-lagi Pandu diganggu oleh ketiga guru wanita yang tadi pagi menemuinya. Sebenarnya, Pandu merasa tidak nyaman tetapi ia juga tidak tahu harus bagaimana. Pandu tidak mau memberikan kesan buruk pada orang yang baru ia kenal.
“Mau kemana kamu?” tanya Yuki mengejar Tamara yang berjalan ke tempat parkir motor.
“Mau pulang lah,” jawab Tamara.
“Kalau bener kamu emang mau pulang, terus kenapa kamu ke parkiran motor? Kamu kan bawa mobil berarti seharusnya kamu ke parkiran mobil,” ucap Yuki.
“Terus kamu sendiri ngapain ngikutin aku jalan ke parkiran motor? Kamu kan tadi pagi bawa mobil,” ucap Tamara.
“Suka-suka aku dong. Aku mau kemana itu terserah aku,” ucap Yuki.
“Ya udah kalau gitu kamu juga gak usah nanya aku mau kemana,” ucap Tamara.
Ketika Yuki dan Tamara sedang berjalan berdampingan, mereka melihat Sahila juga berjalan ke arah tempat parkir motor. Yuki dan Tamara pun segera menghampiri Sahila untuk mengetahui kemana dia pergi. Ketiganya berharap tidak ke tempat yang sama dengan tujuan yang sama pula.
“Ngapain kamu jalan ke arah parkiran motor?” tanya Tamara pada Sahila.
“Pentingnya aku kasih tahu kalian berdua?”
“Buat aku itu penting karena aku gak mau tujuan kamu sama dengan tujuanku,” ucap Tamara.
Yuki menarik tangan Sahila dan Tamara, “Tunggu-tunggu.. Jangan-jangan, kita emang punya tujuan yang sama.”
“Jangan bilang kalian berdua mau ketemu sama Pandu,” ucap Sahila.
“Emang iya,” ucap Tamara.
“Kok kamu tahu?” tanya Yuki.
“Aku asal nebak aja sih soalnya aku juga mau ketemu Pandu,” ucap Sahila.
“Ada perlu apa kamu ketemu Pandu?” tanya Yuki.
“Kayaknya kalian gak perlu tahu deh apa keperluanku dan urusanku nemuin Pandu,” ucap Sahila.
“Kalau itu berhubungan dengan Pandu berarti jadi urusanku juga,” ucap Yuki.
“Apaan sih kalian berdua. Minggir aku mau lewat!” ucap Sahila.
“Enak aja! Aku duluan,” ucap Tamara.
“Gak bisa! Kalian mundur aja biar aku yang maju,” ucap Yuki.
Meskipun sempat bertengkar kecil, akhirnya mereka memutuskan untuk menemui Pandu bersama-sama. Walaupun baru pertama bertemu, ketiganya seperti menaruh hati dengan Pandu. Sayangnya, Pandu sudah memiliki Cinka, sehingga ia tak tertarik dengan wanita lain lagi.
“Hai Pandu. Belum pulang nih?” tanya Sahila.
“Belum. Aku masih nungguin Zoya,” ucap Pandu.
“Kamu deket banget ya sama Zoya?” tanya Tamara.
“Lumayan deketlah. Aku udah anggep Zoya seperti adikku sendiri,” ucap Pandu.
“Bang Pandu,” ucap Zoya dari kejauhan kemudian menghampiri Pandu.
“Abang disini,” ucap Pandu.
“Loh kok ada Bu Sahila, Bu Yuki, sama Bu Tamara juga?” tanya Zoya.
“Iya Zoy. Kebetulan kita mau pulang terus lihat ada Pandu masih disini. Jadi kita ngobrol-ngobrol dulu deh,” ucap Tamara.
“Tapi bukannya Bu Tamara, Bu Sahila, dan Bu Yuki naik mobil? Kok malah pada ke parkiran motor?” tanya Zoya.
“Nih bocah nanya mulu. Ganggu aja,” batin Tamara.
“Zoya emang perusak suasana,” batin Sahila.
“Gimana jawabnya nih,” batin Yuki.
Belum sempat menjawab, Pandu mengalihkan topik pembicaraan “Kamu nih nanya-nanya mulu,”
“Hehehe habisnya aku bingung aja bang. Oh iya, btw bang Pandu keterima gak jadi tukang kebun disini?” tanya Zoya.
“Alhamdulilah. Abang keterima dan besok abang udah bisa mulai bekerja,” ucap Pandu.
“Yes! Aku seneng dengernya bang. Semoga abang betah ya kerja disini dan semoga apa yang abang pengen nanti segera terwujud,” ucap Zoya.
“Aamiin,” ucap Pandu.
“Wah. Mulai besok bakalan sering-sering ketemu Pandu nih,” batin Sahila.
“Bang, kita mau langsung pulang atau ke kantornya kak Cinka dulu?” tanya Zoya.
“Langsung pulang aja deh. Soalnya Cinka bilang kalau dia lagi ada meeting sama klien jadi kita gak bisa kesana sekarang,” ucap Pandu.
“Oh gitu. Ya udeh. Kalau gitu langsung anterin aku pulang aja bang,” ucap Zoya.
“Siap,” ucap Pandu.
Zoya berpamitan kepada ketiga gurunya, “Bu Sahila, Bu Tamara, dan Bu Yuki, aku sama bang Pandu pulang dulu ya.”
“Iya hati-hati ya,”
“Mari bu,” ucap Pandu menyapa mereka kemudian bergegas pulang dengan membonceng Zoya di motor.
“Kamu ngapain sih dari tadi bengong aja?” tanya Tamara pada Sahila.
“Aku ngerasa ada yang beda tau gak. Padahal aku baru pertama kalinya ketemu Pandu tapi kenapa aku langsung jatuh cinta sama dia,” ucap Sahila.
“Kok sama sih. Aku juga ngerasain hal yang sama kayak kamu. Pandu tuh bener-bener berkarisma banget,” ucap Tamara.
“Jangan seneng dulu,” ucap Yuki.
“Emang kamu gak naksir juga sama Pandu?” tanya Tamara.
“Naksir sih tapi aku gak mau berharap lebih,” ucap Yuki.
“Maksud kamu?” tanya Sahila.
“Kita aja bisa langsung naksir sama Pandu apalagi cewek lain di luar sana? Aku yakin pasti banyak yang suka sama Pandu,” ucap Yuki.
“Halah. Gak usah mikirin itu. Selama Pandu belum punya pacar kita punya kesempatan yang sama buat dapetin cintanya,” ucap Tamara.
“Kalau Pandu udah punya pacar gimana?” tanya Yuki.
“Gak mungkin lah,” ucap Sahila.
“Kalian denger gak tadi Zoya nyebut-nyebut nama siapa? Dia menyebut nama Cinka dan itu pasti nama wanita. Siapa tahu itu pacarnya Pandu,” ucap Yuki.
“Gak usah sok tahu deh. Aku yakin seyakin-yakinnya kalau Pandu itu jomblo,” ucap Sahila.
“Kalau aku sih enggak yakin kalau Pandu jomblo,” ucap Yuki.
Tamara mengatakan, “Kita buktikan aja sendiri. Kalau Pandu udah punya pacar berarti dugaan kamu bener tapi kalau Pandu belum punya pacar, berarti dugaan kamu salah. Kalau dugaan kamu salah dan Pandu terbukti jomblo, kamu gak boleh ikutan deketin Pandu.”
“Lah kok gitu? Itu namanya gak adil,” ucap Yuki.
“Aku tahu sekarang. Kamu ngomong kayak tadi karena kamu pengen kita berdua gak deketin Pandu lagi karena kita tahu Pandu udah punya pacar,” ucap Tamara.
“Enggak. Aku malah gak mikir sampai kesitu. Aku kan cuma ngasih tahu kalian supaya kalian gak berharap lebih karena yang naksir Pandu itu pasti banyak. Belum lagi kalau ternyata Pandu udah punya pacar,” ucap Yuki.