Di Rumah Pandu
Ketika Pandu pulang ke rumah, kedua orang tuanya langsung mempertanyakan apakah Pandu mendapatkan pekerjaan atau tidak. Pandu mengatakan bahwa hari ini ia belum mendapat pekerjaan tetapi dia akan mencoba lagi esok hari. Pandu memaklumi bahwa dirinya hanya lulusan SMA, sehingga sulit untuk masuk ke perusahaan besar.
“Pandu, kok jam segini baru pulang? Ibu cemas mengkhawatirkan kamu,” ucap Ibunya.
“Ibu tenang aja. Aku baik-baik aja kok,” jawab Pandu.
“Gimana, kamu udah dapat kerjaan?” tanya Ayahnya.
“Belum pak,” jawab Pandu.
“Lho kok belum. Di kota ini kan banyak perusahaan masa satupun gak ada yang masuk,” ucap Ayahnya.
“Ya mau gimana lagi pak. Aku kan cuma lulusan SMA jadi susah buat masuk perusahaan. Sebagian besar perusahaan mencari karyawan yang udah Sarjana atau minimal Diploma. Sedangkan aku gak memenuhi kriteria tersebut,” ucap Pandu.
Ibunya mengatakan, “Gak apa-apa Pandu, kamu kan bisa bekerja di selain perusahaan.”
“Iya Bu. Meskipun hari ini aku gak dapat kerjaan tapi besok aku akan coba lagi. Kebetulan tadi aku ketemu Zoya dan Zoya bilang di sekolahnya ada lowongan tukang kebun. Besok aku mau ngelamar pekerjaan itu siapa tahu keterima,” ucap Pandu.
“Kamu yakin mau jadi tukang kebun?” tanya Ibunya.
“Yakinlah bu. Aku mau bekerja apapun yang penting halal,” ucap Pandu.
Ketika berbicara, ibunya melihat ada bercak darah di baju Pandu. Hal ini membuat Ibunya khawatir jika Pandu mengalami kejadian yang tidak diinginkan ketika mencari pekerjaan. Namun, Pandu segera menepis kekhawatiran ibunya tersebut. Bercak darah di bajunya itu bukan darahnya, melainkan darah Zoya.
“Pandu, ibu baru menyadari kalau ada bercak darah di baju kamu. Sebenarnya apa yang terjadi sama kamu? Kamu kenapa di jalan?” tanya Ibunya cemas.
“Aku gak apa-apa kok bu. Sebenarnya ini bukan darahku tapi darah Zoya,” ucap Pandu.
“Darah Zoya? Zoya kenapa?” tanya Ibunya.
Pandu menceritakan apa yang terjadi pada Zoya, “Jadi begitu ceritanya Bu.”
“Memangnya Zoya sakit apa?” tanya Ayahnya.
“Jangankan aku pak, kakak-kakaknya sendiri juga gak tahu Zoya sakit apa. Gimana mau tahu orang Zoyanya aja gak pernah mau kalau diajak ke rumah sakit. Padahal kakak-kakaknya itu pengen Zoya diperiksa dokter biar jelas apa penyakit Zoya,” ucap Pandu.
“Meskipun Zoya gak mau, seharusnya harus tetap dipaksa toh ini buat kebaikannya sendiri. Takutnya terjadi apa-apa sama Zoya dan terlambat penanganannya,” ucap Ayahnya.
“Zoya kan udah remaja Pak, bukan anak kecil lagi. Ya kali anak segede itu harus dibawa paksa,” ucap Pandu.
“Ya udah kita doakan aja semoga Zoya tidak kenapa-napa,” ucap Ayahnya.
“Aamiin,”
“Pandu, kamu buruan mandi gih. Udah mau magrib nih,” ucap Ibunya.
“Iya bu. Ini aku juga mau mandi,” ucap Pandu kemudian masuk ke dalam rumah.
Di Rumah Cinka
Hari ini tepatnya saat pagi-pagi Pandu datang ke rumah Cinka untuk menjemput Zoya. Rencananya, Pandu ingin mengajak Zoya berangkat ke sekolah bersama. Hal ini karena Pandu akan melamar kerja menjadi tukang kebun di sekolah Zoya. Jika diterima kerja, Pandu akan sering berangkat sekolah bersama Zoya.
Tok Tok (Pandu mengetuk pintu)
“Eh ada bang Pandu. Ayo masuk bang,” ucap Zoya menarik tangan Pandu untuk diajak ke ruang makan.
Pandu mengatakan, “Jangan-jangan Zoy. Kalau kamu belum siap, kamu bilang aja biar abang tunggu diluar.”
“Bang Pandu kayak sama siapa aja. Udah ayo masuk sekalian sarapan bareng. Kak Cinka pasti seneng kalau ada bang Pandu di rumah,” ucap Cinka.
“Duh gimana ya. Sarah sama Olivia pasti gak suka kalau aku ada dirumahnya,” batin Pandu.
“Kak Cinka, kak Cinka, coba lihat siapa yang dateng. Kak Cinka pasti seneng dia ada disini,” ucap Zoya keras.
Di Ruang Makan
Seperti yang sudah Pandu duga, Olivia dan Sarah pasti tidak suka dengan kehadirannya. Pandu ingin keluar tetapi Cinka dan Zoya mencegahnya bahkan memintanya untuk sarapan bersama. Jelas, Pandu menolak tawaran tersebut. Hal ini karena ia tak mau semakin dibenci dan dituduh oleh kedua adiknya yang tak suka padanya.
“Ngapain sih nih orang ke rumah pagi-pagi begini,” batin Sarah.
“Pandu emang gak ada kapok-kapoknya deketin kak Cinka,” batin Olivia.
“Kamu ada disini? Kok gak bilang-bilang,” ucap Cinka pada Pandu.
“Aku kesini mau jemput Zoya biar kita bisa bareng ke sekolah,” jawab Pandu.
“Ada perlu apa kamu ke sekolah Zoya?” tanya Cinka.
“Aku mau melamar pekerjaan jadi tukang kebun di sekolah Zoya,” ucap Pandu.
“Emangnya kamu udah gak jadi tukang kayu?” tanya Cinka.
Pandu menjawab, “Orderan lagi sepi, jadi aku cari kerjaan lain.”
“Ya ampun sayang. Kenapa kamu gak bilang aku sih? Aku kan bisa kasih kerjaan buat kamu,” ucap Cinka pada Pandu.
Pandu mengatakan, “Gak perlu dan aku juga gak mau kerja di tempat kamu. Aku mau cari pekerjaan lain sembari ngumpulin modal buat bangun bisnis. Sebagai laki-laki, aku punya harga diri dan aku bisa melakukannya sendiri tanpa bantuan kamu.”
“Kamu kenapa sih ngomongnya gitu amat sama aku,” ucap Cinka.
“Maaf, bukan maksud aku kayak gitu. Aku cuma gak mau dituduh memanfaatkan kamu dalam hal apapun. Karena jujur dari dalam lubuk hatiku, aku tulus mencintaimu. Sayangnya, aku masih miskin, sehingga kalau kamu membantu aku, aku bakal dituduh memanfaatkan kamu. Karena itu, aku gak mau bantuan apapun dari kamu. Jangankan minta, hutang sama kamu pun aku gak mau,” ucap Pandu.
“Kamu segitunya banget sih sama aku. Lagian walaupun aku membantu kamu itu kan atas keinginanku bukan atas permintaan kamu. Kamu tuh beda sama mantan-mantanku sebelumnya. Mereka gak sungkan minta sama aku, beda sama kamu. Kamu gak pernah minta apapun dari aku dan gak pernah mau terima apapun dari aku,” ucap Cinka.
“Itu udah jadi prinsipku. Sebutuh-butuhnya aku, aku gak bakalan minta sama pacarku. Aku laki-laki yang punya harga diri jadi pantang bagiku untuk meminta-minta apalagi sama wanita,” ucap Pandu.
“Nah ini baru pasangan yang tepat buat kak Cinka,” ucap Zoya.
“Kamu apa-apaan sih dek. Tepat dari mana coba? Mereka tuh gak cocok,” ucap Sarah.
“Sarah! Kamu gak usah mulai ya. Mendingan kamu lanjutkan sarapan kamu,” ucap Cinka.
“Iya kak,” ucap Sarah melanjutkan sarapan.
Cinka menawari Pandu sarapan, “Sayang, kamu ikut sarapan yuk.”
“Baru aja tadi kita bahas kok kamu udah nawarin aku sarapan,” ucap Pandu.
“Ini cuma sarapan doang,” ucap Cinka.
“Enggak deh. Lebih baik kamu sarapan sama adik-adik kamu dan aku nunggu Zoya di ruang tamu aja,” ucap Pandu.
Zoya mengatakan, “Bang Pandu, ayo sarapan dulu.”
“Abang udah sarapan tadi di rumah Zoy,” ucap Pandu meninggalkan ruang makan.
Di Sekolah
Sesampainya di sekolah, Zoya langsung mengajak Pandu untuk bertemu kepala sekolah. Kehadiran Pandu untuk pertama kalinya di sekolah Zoya menjadi pusat perhatian banyak orang. Mereka terpesona akan ketampanan yang dimiliki Pandu. Badan tinggi, tubuh kekar, kulit putih, dan wajahnya yang tampan membuat Pandu tampak bak artis.
“Widiw. Siapa nih yang kamu bawa Zoy?” tanya salah seorang temannya.
“Rahasia dong. Nanti kamu gebet gimana,” ucap Zoya.
“Kenalin dong Zoy,” ucap temannya yang lain.
“Gak boleh. Kalian ini genit banget sih kayak gak pernah liat cowok cakep aja. Lagian ya dia juga gak mau sama bocah ingusan kayak kalian,” ucap Zoya.
“Dih dia juga gak mau sama anak manja kayak kamu,” temannya meledeknya.
“Sorry ya aku juga gak tertarik tuh sama dia. Lagian dia juga udah punya pacar wleee,” ucap Zoya meledek dengan menjulurkan lidahnya.
“Gak boleh gitu sama temen Zoy. Gak baik ah,” ucap Pandu pada Zoya.
“Habisnya mereka ngeselin sih bang,” ucap Zoya.
“Kamu duluan yang ngeselin giliran dibales marah,” ucap teman Zoya.
“Enak aja ngatain aku ngeselin. Udah deh mendingan kalian pergi, jauh-jauh sana!” ucap Zoya mengusir temannya.
Setelah itu, Zoya melanjutkan jalannya untuk mengajak Pandu ke ruang kepala sekolah. Ketika sedang berjalan berdampingan, tiba-tiba ada seorang murid laki-laki berlari kencang dari belakang dan menyerempet Zoya hingga terjatuh. Bukannya minta maaf, laki-laki tersebut malah tetap pergi.
“Aduh!” Zoya terjatuh ke lantai dan merasa kesakitan.
“Kamu gak apa-apa?” tanya Pandu membantu Zoya berdiri.
“Linu dikit bang,” jawab Zoya sambil memegang lengannya.
Zoya kemudian berbicara pada murid yang menabraknya, “Woy! Kamu kalau jalan pakai mata dong!”
“Maaf aku buru-buru. Lagian dimana-dimana jalan pakai kaki bukan mata,” ucap laki-laki tersebut.
“Buru-buru sih buru-buru tapi jangan jadi buta dadakan dong. Jalan sampai nabrak orang!” ucap Zoya.
“Sekali lagi aku minta maaf,” ucapnya kemudian langsung pergi.
“Eh malah kabur lagi,” ucap Zoya ketika melihatnya pergi.
“Itu temen sekelas kamu Zoy?” tanya Pandu.
“Bukan bang, aku juga gak kenal sama tuh orang. Ini baru pertama kalinya aku ketemu dia. Jangan sampai deh aku sekelas sama cowok nyebelin kayak dia,” ucap Zoya.
“Hati-hati nanti naksir loh,” ucap Pandu tersenyum pada Zoya.
“Aku naksir sama cowok slengean kayak gitu? Ogah!” ucap Zoya.
Ketika lanjut jalan lagi, langkah mereka kembali terhadang oleh tiga guru wanita di sekolah tersebut. Tadi yang pertama diganggu siswi perempuan, yang kedua siswa laki-laki, dan ketiga guru wanita.
“Sekolah kamu besar juga ya,” ucap Pandu saat berjalan dengan Zoya.
“Iya bang. Disini juga ada beberapa lapangan olahraga,” ucap Zoya.
“Pagi Zoya,” ucap guru wanita yang menemuinya.
“Seharusnya saya yang menyapa Ibu, bukan sebaliknya. Pagi Bu Sahila, Bu Tamara, dan Bu Yuki,” ucap Zoya pada ketiga guru tersebut.
“By the way, dia siapa Zoy? Kakak kamu?” tanya Tamara.
“Tuh kan bener. Pasti mereka nanyain bang Pandu,” batin Zoya.
“Bukan bu tapi dia kakaknya almarhum Viko,” ucap Zoya.
“Kenalin dong Zoy,” bisik Yuki pada Zoya.
“Oh iya-iya. Bang Pandu kenalin mereka guru-guruku di sekolah,” ucap Zoya pada Pandu.
“Hai. Kenalin namaku Sahila. Aku guru Bahasa Indonesia,” ucap Sahila berjabat tangan dengan Pandu.
“Halo. Namaku Tamara. Aku guru Bahasa Inggris,” ucap Tamara berjabat tangan dengan Pandu.
“Hai. Aku Yuki. Aku guru Bahasa Jepang,” ucap Yuki berjabat tangan dengan Pandu.
“Halo semuanya. Perkenalkan nama saya Pandu. Saya kakak almarhum Viko,” ucap Pandu.
“Kamu kesini pasti mau melamar jadi guru ya?” tanya Yuki.
“Bukan. Aku kesini mau melamar pekerjaan jadi tukang kebun,” ucap Pandu.
“Hah? Kamu serius mau jadi tukang kebun?” tanya Tamara.
“Ya serius. Emang saya kelihatan bercanda? Sepertinya tidak,” ucap Pandu.
“Kenapa gak melamar jadi guru aja? Kebetulan sekolah kami sedang membuka lowongan untuk guru Olahraga,” ucap Tamara.
“Saya cuma lulusan SMA dan sepertinya saya gak masuk kualifikasi jadi guru. Jadi saya mau melamar jadi tukang kebun aja,” ucap Pandu.
“Tapi kamu gak cocok jadi tukang kebun. Kamu lebih cocok jadi guru olahraga,” ucap Sahila.
“Ibu ini bisa aja. Ya sudah saya tinggal ya soalnya saya mau bertemu kepala sekolah. Ayo Zoy,” ucap Pandu pada ketiga guru wanita tersebut lalu mengajak Zoya mengantarkannya ke ruang kepala sekolah.
“Sebentar lagi kan bel masuk kelas. Mendingan kamu ke kelas aja Zoy nanti telat loh,” ucap Sahila pada Zoya.
“Saya mau nganterin bang Pandu dulu bu,” ucap Zoya.
“Biar ibu yang nganterin eh maksudnya kita bertiga yang nganterin Mas Pandu ke ruang kepala sekolah,” ucap Tamara.
“Tapi bu,” ucap Zoya.
“Gak perlu tapi-tapian. Udah buruan kamu masuk kelas. Biar Mas Pandu ibu-ibu guru yang nganterin ke kepala sekolah,” ucap Yuki.
“Ya udah deh. Bang Pandu, aku ke kelas dulu ya. Semoga bang Pandu keterima,” ucap Zoya kemudian pergi ke kelas.
“Kenapa kamu malah pergi sih Zoy. Aku gak nyaman banget sama mereka,” batin Pandu.
Tamara, Sahila, dan Yuki kompak mengantarkan Pandu ke ruang kepala sekolah. Pandu merasa tidak nyaman karena sedari tadi mereka terus mengajak Pandu berbicara dan mempertanyakan banyak hal pada Pandu. Meski begitu, Pandu tetap berusaha santai dan menanggapi mereka dengan baik.
Di Ruang Kepala Sekolah
Sesampainya di ruang kepala sekolah, Pandu langsung mengajukan diri untuk menjadi tukang kebun. Sementara itu, Tamara, Sahila, dan Yuki malah meminta kepada sekolah untuk menjadikan Pandu sebagai guru olahraga. Karena Pandu tak memenuhi persyaratan, kepala sekolah tak bisa mengabulkan hal tersebut.
“Selamat pagi pak,” ucap Sahila pada Jaya selaku kepala sekolah.
“Pagi. Ada apa ya Bu Sahila, Bu Tamara, dan Bu Yuki ke ruangan saya?” tanya Jaya.
“Apa lowongan guru olahraga masih ada pak?” tanya Tamara.
“Masih. Sekolah kita masih butuh beberapa pengajar tambahan tepatnya guru Olahraga, guru Biologi, dan Kewirausahaan. Apa kalian punya kenalan guru yang mau mengisi posisi tersebut di sekolah kita?” tanya Jaya.
“Kami punya kandidat yang tepat pak. Mas Pandu silahkan,” ucap Yuki pada Pandu.
“Silahkan duduk mas,” ucap Jaya pada Pandu.
“Terima kasih pak,” ucap Pandu.
“Boleh saya lihat CV-nya?” tanya Jaya.
“Tentu saja pak. Silahkan,” ucap Pandu sambil memberikan CVnya.
Jaya melihat CV Pandu, “Maaf nih mas. Berdasarkan curriculum vitae mas yang saya baca, mas tidak memenuhi syarat untuk mengisi posisi guru di sekolah kami. Guru yang kami butuhkan pendidikan minimal harus S1 dan sesuai dengan bidangnya,” ucap Jaya.
“Sebenarnya saya tidak berniat melamar jadi guru pak, tapi saya berminat menjadi tukang kebun. Di surat lamaran saya juga tertulis saya ingin melamar jadi tukang kebun,” ucap Pandu.
“Loh tadi katanya mau jadi guru,” ucap Jaya.
“Bukan saya yang bilang pak tapi mereka,” ucap Pandu.
Jaya menggelengkan kepala, “Bu Sahila, Bu Tamara, dan Bu Yuki silahkan kembali bekerja.”
“Tapi pak,”
“Kembali bekerja atau gaji kalian saya potong,” ucap Jaya.
“Jangan dong pak. Iya-iya kami keluar dari ruangan bapak,” ucap Yuki, Tamara, dan Sahila.
Setelah Tamara, Sahila dan Yuki keluar dari ruangannya, Jaya melanjutkan wawancara kerja dengan Pandu. Tak berpikir panjang, Jaya menerima Pandu bekerja di sekolah sebagai tukang kebun. Mendengar itu, Pandu sangat senang apalagi besok dirinya sudah bisa mulai bekerja di sekolah.
“Kamu saya terima bekerja sebagai tukang kebun di sekolah ini dan besok kamu sudah bisa mulai bekerja,” ucap Jaya.
“Saya gak salah dengar kan pak?” tanya Pandu.
“Ya, kamu tidak salah dengar. Selamat bergabung di sekolah kami,” ucap Jaya.
“Terima kasih banyak pak,” ucap Pandu.
“Sama-sama,” ucap Jaya.