Bab 4. Penjelasan

1107 Kata
Tak ada kata menyerah bagi Bara untuk membujuk Raya. Terlebih dia juga tidak pernah mengakhiri hubungan mereka. Hanya saat itu dia membatalkan pernikahan untuk sementara waktu saja. Bara kembali menemui Raya. Bahkan dia juga mencari ke kampus di mana Raya berkuliah. Saat itu, dia tidak langsung menemukan keberadaan sang kekasih. Malah beberapa teman dekat yang juga menghadiri pernikahannya kemarin. “Bar, Lo ngapain ke sini?” tanya Aldo, salah satu temannya bersama Raya. “Cari Raya,” jawab Bara cuek, kepalanya memindai semua penjuru untuk mencari keberadaan sang kekasih. “Ngapain cari Raya? Lo kan udah ada bini.” “Bukan urusan lo,” ucapnya. “Minggir!” Bara mendorong kasar tubuh temannya agar menyingkir dari hadapannya ketika dia berhasil menemukan posisi Raya. “Dih! Udah jadi suami orang masih begitu aja kelakuannya. Bucin! Gue heran, dia masih bucin begitu sama Raya, tapi, kok, bisa nikahin Icha?” tanya Aldo pada Rozi, temannya yang lain. Rozi hanya mengedikkan bahunya acuh. Lagi pula, dia sama sekali tidak tertarik dengan urusan orang lain. “Nggak asik, lo!” umpat Aldo, dia bergegas meninggalkan Rozi yang tidak sefrekuensi dengan dirinya. Di sisi lain, Bara masih mengejar Raya yang kabur ketika melihatnya. Raya sampai sedikit berlari untuk melarikan diri. Namun, Bara terlalu sigap dalam mengejarnya. “Tunggu, Ray! Plis.” Bara menggapai tangan sang kekasih. Tatapannya juga penuh harap agar Raya mau mendengarkan penjelasannya lagi. Raya malah semakin kesal saat Bara masih saja mengejar-ngejarnya. Padahal, semalam dia sudah dengan tegas menyuruh pria itu untuk tidak mengganggu hidupnya lagi. “Gue nggak punya waktu.” Raya melepaskan genggaman tangan Bara, lalu berniat pergi dari sana. Tiga langkah Raya berhasil meninggalkan Bara yang diam berdiri di tempat. Namun, kata-kata Bara berhasil menghentikan langkahnya. “Icha hamil tanpa suami.” Raya diam tanpa pergerakan. Kabar itu tentu saja seperti sebuah bom yang tiba-tiba meledak di tengah-tengah gedung. Tak ada satupun orang yang menyangka kejadian itu. Wanita cantik nan seksi itu membalik tubuhnya, menghadap pada kekasihnya yang sudah resmi mempersunting wanita lain. Tatapannya datar, tetapi ada raut tak percaya di sana. “Aku tidak bohong. Kalau kamu mau, ayo kita temui Icha!” ajak Bara tanpa ragu. Raya belum menjawab. Dia masih sangat terkejut dengan berita yang diungkapkan oleh Bara. Namun, tangan Raya langsung ditarik pelan oleh Bara hingga membuatnya terpaksa mengikuti langkah pria yang masih memperjuangkannya itu. Cafe Marlina adalah tempat di mana Bara membawa Raya. Mereka duduk berhadapan masih dengan tatapan datar sang wanita. Sudah 30 menit lamanya mereka di sana, menunggu kedatangan seseorang yang sudah dihubungi oleh Bara untuk menemui mereka di sana. “Waktu gue terbuang sia-sia,” ucap Raya ketika orang yang ditunggu tak jua datang. “Sabar, Ray. Sebentar lagi pasti dia datang,” balas Bara. Dia mengedarkan pandangannya ke pintu masuk cafe, hingga netra tajamnya berhasil menangkap seseorang yang baru saja masuk ke tempat tersebut. “Itu dia,” ucap Bara lega. Dua kali Bara menepuk tangannya untuk memanggil wanita dengan gaun pendek selutut berwarna putih. “Icha, sini!” Wanita yang dipanggil pun akhirnya menoleh. Awalnya dia begitu bahagia karena sang suami mengajaknya ke cafe. Dia mengira suaminya akan berusaha memperbaiki hubungan mereka. Sayangnya, ketika dia berhasil mendeteksi keberadaan seorang wanita lain di balik punggung suaminya, Icha kembali diluluh lantahkan oleh keadaan. Dibalik rasa sakit hatinya Icha, wanita itu tetap berjalan menghampiri sang suami. Begitu dia tepat berada di depan suaminya, tatapan Icha tertuju pada Raya. “Cha, jelasin sama Raya. Masalah apa yang membuatku harus menikahimu!” Belum juga Icha mendudukkan dirinya. Tetapi, Bara sudah lebih dulu menyerang. Icha tertawa dalam hati. Menertawakan nasibnya yang begitu menyedihkan. Dia sempat terlalu percaya diri bahwa Bara sudah bisa menerima pernikahan mereka. Namun, itu ternyata salah. Dia diminta datang untuk memberikan penjelasan pada wanita lain di hidup suaminya. “Cha!” hardik Bara ketika sang istri hanya diam saja. Dibentak di tempat umum seperti itu membuat Icha memaksa bibirnya untuk tersenyum. Meski hatinya merasakan sakit yang teramat sangat. “Iya, Bar. Hal apa yang harus aku jelaskan?” tanya Icha seraya menahan sesak yang menyeruak dalam d**a. “Tentang kehamilan kamu,” ucap Bara tanpa beban. Seolah apa yang dia katakan bukanlah hal besar. Belum ada satupun kata yang terucap. Icha masih berusaha menguatkan hati. Dia paham betul kenapa dia harus memberikan penjelasan. Apa lagi tujuannya jika bukan untuk memperbaiki hubungan sepasang kekasih di hadapannya ini. “Cepetan, Cha!” titah Bara yang mulai kehabisan kesabaran. Namun, tampaknya Icha masih bingung bagaimana memulai penjelasannya. Bara yang sudah benar-benar kesal pun sampai menggebrak meja. Reflek Icha memegang dadanya karena kaget. Jantungnya berdegup kencang karena kembali harus menyaksikan kemarahan Bara. “Icha! Jelasin sama Raya! Jangan buat aku kehilangan kesabaran.” Rasanya kedua mata Icha sudah memanas karena menahan air mata yang memaksa ingin keluar. “Tenang aja, Ray. Aku dan Bara tidak ada hubungan apapun selain pernikahan sandiwara ini,” ucapnya seraya menekan kuat perasaannya sendiri. Icha tidak mau terlihat lemah sekarang. Kini Bara bisa bernapas lega. Setidaknya meski hubungan mereka tidak berubah, tetapi Icha sedikit membantunya untuk memperbaiki hubungannya dengan Raya. “Kamu dengar sendiri, Ray? Aku tidak ada hubungan apapun dengannya selain pernikahan paksa ini,” ujar Bara berusaha meyakinkan Raya. “Siapa ayah dari janin itu, Ca?” tanya Raya yang seakan tak mempedulikan Bara. “Heh, Beby. Come on! Yang jelas anak itu bukan benihku,” sahut Bara yakin. Raya sampai menatap tajam kekasihnya. Dia berusaha mencari kebohongan di sana. Namun, dia tak menemukan apapun. Ketika mengatakan itu pun wajah Bara terlihat tenang tanpa beban. Berbeda dengan Icha yang kembali didera sakit hati. Terlebih Bara mengatakan itu dengan suara cukup lantang. Beberapa pengunjung lain bahkan kini menatapnya dengan remeh. “Benar, Icha?” Raya kembali memberikan pertanyaan pada Icha. “Apa lagi yang perlu kamu dengar, Raya? Kekasihmu sudah memberikan jawaban, bukan?” Usai mengatakan itu, Icha membalik tubuhnya kemudian pergi dari sana. Kepergian Icha nyatanya tak digubris oleh Bara. Dia justru masih berusaha meyakinkan Raya bahwa penjelasannya itu memang benar. Tidak ada sedikitpun yang dikarang olehnya. “Beb, jangan marah lagi, ya! Aku pastikan tidak akan ada rasa apapun antara aku dan Icha. Lagian, aku sudah sangat membencinya,” ungkap Bara jujur. Ya, sejak pernikahan itu, Bara benar-benar tidak lagi menaruh rasa sayang yang dulu dia miliki pada Icha. Baginya, Icha adalah penghalang kebahagiaannya dengan sang kekasih. “Kamu yakin?” tanya Raya sedikit ragu. “Aku yakin, Beb. Hanya kamu yang aku cintai,” ucapnya penuh keyakinan. Begitu mendengar penjelasan itu, Raya langsung memeluk Bara. Meski sekarang Bara adalah suami Icha, tetapi Bara lebih dulu menjadi kekasihnya. Jadi, dia bukanlah seorang pelakor. “Kamu akan ceraikan Icha setelah bayi itu lahir, ‘kan?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN