Bab 5. Pindah Rumah

1126 Kata
Ekspresi wajah Bara langsung berubah datar. Dia pun tak yakin akan bisa menceraikan Icha. “Kenapa, Bar? Kamu keberatan menceraikan Icha?” tanya Raya curiga. Bara menggeleng cepat. “Bukan itu, Beb. Tapi, kamu tahu sendiri Mama dan Papa lebih sayang pada Icha dari pada aku,” jawab Bara frustasi. Sejak dulu memang orang tua Bara lebih perhatian dan selalu membela Icha. Tugas menjaga Icha pun adalah bentuk perintah dari mereka pada Bara. Sehingga awalnya membuat Bara tak suka. Namun, ketika dipikirkan ulang, Icha memang kasihan, sebab dia hidup sebatang kara. Mendengar jawaban Bara, Raya malah kembali emosi. Dia melepas pelukannya dan tak segan menjauh dari kekasihnya. “Itu cuma alasan kamu aja, Bar. Udahlah. Capek!” Raya pergi meninggalkan Bara yang tak bisa mencegah sang kekasih. Di lain tempat, Icha sedang menangis tersedu di dalam kamar. Ucapan Bara sudah benar-benar mengoyak harga dirinya. Padahal, dia pun tak pernah meminta Bara untuk menikahinya. Semua ini adalah perintah Panji dan Sukma. “Kamu benar-benar tega, Bara. Kamu memperlakukan aku seburuk ini,” ucapnya lirih. Sesal karena menyetujui pernikahan ini membuat Icha semakin rapuh. Jika tahu akan seperti ini, dia pun tak mau dinikahkan dengan sahabat yang sekarang membencinya. Penderitaan Icha tak berhenti pada ngidamnya yang ekstrim. Akan tetapi, juga ada pada Bara yang bersikap seolah mereka adalah musuh bebuyutan. Ketika Icha sedang meratapi nasibnya, pintu kamar terbuka. Buru-buru Icha hapus lelehan air mata yang membasahi pipi. Dia tidak ingin ketahuan menangis. Ketika Icha menatap ke arah pintu, rupanya Bara yang masuk. Pria itu sangat acuh padanya. Jangankan untuk bertanya tentang perasaan, Bara bahkan seperti tak mau melihat keberadaan Icha di kamar itu. Pria itu terlihat mengambil koper, kemudian menyusun baju-bajunya di sana. Icha memilih diam. Meski sebenarnya sangat ingin bertanya. Selesai mengemasi pakaiannya, barulah Bara menatap Icha sekilas. “Lo mau ikut gue atau tetap tinggal di sini?” tanyanya dengan nada tak bersahabat. “Memangnya kamu mau ke mana?” tanya balik Icha dengan suara serak. “Ya ke rumah pribadiku, lah! Aku tidak mau semua urusanku dicampuri oleh Mama dan Papa,” jawabnya kesal. Icha belum menjawab. Hanya netranya yang terus menatap suami yang sudah selesai berkemas. “Kalau Lo mau ikut, kemasi bajumu!” titahnya tanpa menatap sang istri. “Bajuku kan masih ada di koper, Bar. Aku belum sempat masukin pakaianku ke lemari,” jawab Icha polos. “Ya udah. Kalau gitu bawa kopermu turun! Gue tunggu di mobil.” Pria itu berlalu begitu saja. Icha hanya bisa mengelus d**a. Melihat tingkah Bara sekarang benar-benar amat menjengkelkan. Tidak ingin terkena amukan pria garang itu lagi, Icha pun turun dari ranjang. Segera dia ambil tas selempang miliknya, lalu berjalan ke samping lemari, tempat di mana dia menaruh koper miliknya. “Kalau tinggal berdua aja sama Bara, fiks. Hidup gue bakal kayak ¼nya neraka dunia,” ucap Icha lesu. Meski begitu, Icha menyeret koper miliknya keluar dari kamar. Segera dia menyusul Bara yang sudah lebih dulu turun. “Icha, mau ke mana?” Perempuan itu menoleh dan mendapati sang mertua yang berada tak jauh darinya. “Mama–” Sukma bergegas menghampiri sang menantu. Raut wajahnya tampak bingung karena melihat menantunya membawa koper. “Kamu mau ke mana?” tanya Sukma lagi. “Icha mau–” “Dia ikut Bara, Mah.” Belum selesai Icha menjawab, tiba-tiba saja Bara datang menyela. “Ikut kamu ke mana?” tanya Sukma pada putranya. “Ya ke rumah Bara, lah!” jawabnya santai. “Bukannya sudah seharusnya seorang istri itu ikut sama suami, Ma?” “Kamu udah ada rumah, Bara?” Sukma tampak syok mendengar jawaban sang putra. “Punya, lah! Ya, meskipun itu rumah seharusnya Bara tinggali bersama Raya,” jawabnya seraya menyindir Icha yang langsung menundukkan kepala. “Stop, Bara! Niat kamu untuk memboyong Icha sudah bagus. Tapi, kenapa kamu malah nyerempet ke nama mantan kamu itu?” Sukma sangat geram dengan tingkah anaknya. “Ya-ya-ya. Terserah mama,” balasnya seolah malas mendengar nasihat sang ibu. “Kamu serius mau ajak Icha tinggal di sana? Icha ini masih mengalami morning sickness, Bar,” tegur Sukma yang tentu saja mengkhawatirkan keadaan sang menantu. “Ma, nggak apa-apa, kok. Icha baik-baik aja. Mama jangan cemaskan Icha, ya,” ucap Icha dengan nada lembut, berusaha meyakinkan sang mertua bahwa tidak akan ada sesuatu yang buruk terjadi padanya. “Kamu yakin, Icha. Mama ….” “Cukup, Ma. Tolong jangan terlalu ikut campur sama rumah tangga Bara! Bara ini sudah dewasa,” seru Bara tegas. Gara-gara susah membujuk Raya, Bara tanpa sadar meninggikan suara saat bicara dengan ibunya. Sukma yang selama ini tidak pernah mendengar nada tinggi dari Bara pun sampai syok. “Kamu membentak mama, Bara,” ucap Sukma kecewa. “Maaf, Ma. Maafin Bara,” pinta Bara penuh sesal. “Ada apa ini?” Suara tegas seorang pria membuat ketiga orang itu menatap pada sumber suara. “Papa ….” “Pa, lihat anakmu ini. Dia sudah berani membentak mama,” kata Sukma mengadu. Netra elang panji langsung menatap tajam sang anak. “Sejak kapan Papa pernah mengajarimu untuk meninggikan suara, Bara? Sejak kapan Papa memberikan contoh padamu untuk bersikap kurang ajar pada wanita?” Wajar jika Panji sangat kecewa pada Bara. Selama ini dia selalu berusaha agar menjadi contoh baik untuk anaknya. Namun, Bara malah melakukan apa yang selama ini tidak pernah dilakukan oleh Panji. “Maaf, Ma, Pa. Bara tidak sengaja,” pinta Bara memohon. “Sengaja atau tidak, kamu sudah menyakiti hati wanita, Bara. Terlebih yang kamu sakiti adalah ibumu sendiri,” balas Panji masih tak mengerti mengapa sang anak bisa bersikap seperti itu. Panji benar-benar tak terima dengan sikap kasar sang anak. Apa lagi saat melihat netra indah sang istri sudah mengembun. Sadar akan kesalahannya, Bara sampai berlutut di depan sang ibu. Dia juga tidak berniat membentak ibunya. Dia hanya sedang lepas kendali dan tak mampu berpikir jernih. “Pa, maafin Bara, ya. Mungkin Bara sedang banyak pikiran makanya khilaf.” Icha malah membela suaminya. Ketika sang menantu ikut menyela, Panji baru sadar bahwa Icha memegang koper. “Kamu mau ke mana, Icha?” tanya Panji curiga. “Bara mengusir kamu?” tanyanya lagi. Icha buru-buru menggeleng. “Nggak, Pa. Bara mau bawa Icha tinggal berdua,” jawabnya dengan mata berbinar seolah dia benar-benar bahagia. “Benar, Bara?” tanya Panji pada anaknya. “Iya, Pa. Bara mau ajak Icha tinggal berdua. Siapa tahu dengan begitu kita bisa lebih dekat,” jawab Bara berkelit. Panji mengangguk-angguk mengerti. “Bagus kalau begitu. Tapi, kamu harus janji akan menjaga Icha dengan baik!” titah sang ayah. “Iya, Pah. Bara usahakan,” jawab Bara dengan senyum. Meski hatinya sangat dongkol. “Awas kalau sampai menantu dan calon cucu Papa kenapa-kenapa. Papa akan buat perhitungan sama kamu, Bara!” ancam Panji tak main-main.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN