Bab 3. Sikap Kasar Bara

1089 Kata
Perasaan Panji sudah tak karuan karena mengira korban kecelakaan itu adalah Icha. Beruntungnya Sukma mengabarinya bahwa sang menantu sudah kembali ke rumah mereka. Tanpa buang-buang waktu, Panji segera kembali ke rumahnya. Begitu sampai, Panji langsung memeluk Icha setelah melihat keadaan sang menantu baik-baik saja. Beribu syukur diucapkan karena apa yang menguasai pikirannya tadi tidak terjadi. “Kamu kemana, Icha?” tanya Panji setelah mengurai pelukannya. “Icha dari rumah temen, Pah. Semalam teman Icha ngabarin kalau dia sakit, makanya Icha buru-buru ke rumahnya,” jawab Icha polos. “Astaga, Nak. Seharusnya kamu masih kabar ke kita. Jangan asal pergi saja!” Sukma menasehati menantunya itu. “Sudah, Mah. Yang terpenting sekarang Icha baik-baik saja,” ucap Panji. Sukma hanya mengangguk setuju. “Kamu masuk kamar, gih! Bersih-bersih terus istirahat! Mama dan Papa nggak mau kamu kecapean,” titah Sukma yang memang sangat khawatir jika menantunya itu terlalu lelah. Apa lagi acara kemarin cukup menguras tenaga. Icha mengangguk patuh. “Aku masuk kamar dulu, ya, Mah, Pah.” “Iya, Sayang. Hati-hati jalannya, ya,” ucap Sukma. Icha pun masuk ke kamarnya. Begitu dia ada di dalam kamar yang akan ditempati bersama Bara, perempuan mungil itu menarik napas dalam. Bara sendiri sedang tidur tengkurap di atas kasur. Dengan pakaian berantakan dan jangan lupakan sepatu cats yang masih dia pakai juga ikut naik ke atas. Icha menggeleng. Rupanya Bara yang sekarang bukanlah Bara yang dulu. Sejak kecil, Icha tahu betul karakter Bara yang tidak bisa melihat apapun yang berantakan. Pria itu selalu rapi dan menjaga kebersihan. Namun, apa yang dilihatnya sekarang? Bara telah berubah total. Pelan-pelan Icha melangkah mendekati suaminya, berlutut lalu menggapai kaki Bara. Dengan penuh kehati-hatian, Icha melepaskan sepatu suaminya. Namun, begitu dia berhasil melepaskan benda yang merekat di kaki sang suami, ternyata Bara terbangun. Pria itu menarik kasar kakinya yang masih dipegang oleh Icha. Dia merubah posisinya menjadi duduk bersila di kasur. Seolah-olah dia jiji karena disentuh oleh perempuan rendahan, Bara menatap Icha penuh amarah. “Jangan pernah sentuh apapun yang bukan milikmu, Icha!” teriak Bara emosi. “Aku cuma mau lepasin sepatu kamu, Bar. Biar kamu tidurnya nyaman,” jawab Icha. Namun, itu justru membuat Bara kini bangkit dan mendekatinya. Bara maju, tetapi tidak dengan tatapan lembut kepada sang istri. Melainkan tatapan benci yang dia berikan. Takut, tentu saja Icha takut akan kemarahan Bara sekarang. Perempuan itu mundur, berusaha menghindar dari kemarahan suaminya. Namun, pria itu mengunci kedua tangan Icha dengan cengkraman kuat. “Kau ingin membuatmu nyaman?” tanyanya dengan seringai. Icha berusaha menahan napas saat menghirup aroma alkohol dari mulut Bara. “Kamu mabuk, Bara,” ucap Icha dengan rasa takut. “Iya, aku mabuk. Ada masalah?” tanya Bara lagi. Dia menatap remeh Icha yang malah membuang muka ke samping. “Kamu sudah berubah, Bara. Kamu tidak lagi mau mengingat nasehatku,” ucap Icha kecewa. Ya, dulu Icha sering kali menasehati Bara agar tidak mengonsumsi alkohol. Dia tidak ingin Bara merusak diri dengan mengonsumsi minuman keras. Terlebih lagi, Icha tidak mau kalau sahabatnya sampai merusak orang lain tanpa sadar. Namun, sekarang berbeda cerita. Suara tawa lantang menggema di ruangan tertutup itu. Aroma alkohol semakin kuat ketika Bara mendekatkan wajahnya pada muka Icha. Mengira Bara akan menciumnya dengan paksa, Icha memejamkan matanya. Bayang-bayang kejadian lampau kembali memenuhi otak perempuan itu. Dia takut, takut kejadian yang pernah dia alami, akan terjadi lagi. Namun, dia tak kuasa untuk melawan. Beruntung apa yang disangkakan oleh Icha tidak terjadi. Bukan sebuah ciuman yang dia dapatkan. Tetapi bisikan yang membuat hatinya hancur yang diperoleh. “Kau tidak sadar, Icha. Kau sendiri yang membuatku berubah. Jika saja kau tak menghancurkan masa depanku, aku tidak mungkin membencimu.” Perasaan Icha luluh lantah setelah mendengar pengakuan Bara, sahabat yang sekarang membencinya. Bara tahu perasaan Icha sekarang. Namun, dia memang berniat menyakiti wanita yang dulu selalu dia jaga sepenuh jiwa. Berhasil menyakiti batin istrinya, Bara kini mulai menyakiti sang istri secara lahir dengan cara mendorong tubuh Icha hingga terbentur dinding. “Awh!” rintih Icha ketika merasakan sakit akibat benturan itu. “Jangan sok suci jika kau saja merusak diri dan mengorbankan orang lain, Icha. Kau sekarang memang istriku. Aku tidak bisa mengelak itu. Tapi, jangan harap aku akan memperlakukanmu selayaknya seorang istri. Kecuali ada mukjizat yang membuatku bisa mencintaimu.” Seolah tak puas menyakiti Icha, Bara kembali menyerang mental Icha dengan kata-kata jahatnya. Bara mendengus dingin, lalu mengayunkan langkahnya menuju kamar mandi. Pria itu menikmati guyuran air shower yang menyegarkan tubuh dan otaknya kembali. Meski masalah tidak hilang dengan itu, tetapi Bara memilih melampiaskan segala rasa yang ada dengan minuman keras. *** “Mau ke mana kamu?” tanya Sukma pada putranya saat melihat pria tampan itu hendak keluar rumah. “Nyegerin pikiran, Mah. Sumpek di rumah,” jawabnya santai tanpa menghentikan langkahnya. Sukma hanya bisa geleng kepala melihat kelakuan anaknya. Namun, dia juga tidak bisa mengekang Bara. Sebagai ibu, Sukma tentu tahu perasaan anaknya saat ini. Gagal menikah dengan perempuan yang dicintai dan berakhir menikahi wanita yang dulu adalah sahabatnya, itu bukanlah suatu yang sepele. Berbeda dengan Bara yang memilih pergi dari rumah, Icha justru sedang mual-mual di kamarnya. Sudah berkali-kali dia bolak-balik memuntahkan cairan yang terasa sangat pahit. Padahal, dia belum makan apapun sejak kemarin. Sukma masuk ke kamar, mengantarkan sarapan pagi untuk Icha. Namun, saat wanita itu masuk, dia melihat sang menantu sedang berjalan sempoyongan dengan wajah pucat. Nampan berisi makanan serta s**u ibu hamil langsung diletakkan di atas nakas oleh Sukma. Dia buru-buru menghampiri sang menantu dan memegangi wanita hamil itu. “Icha, kamu masih mengalami morning sick?” tanya Sukma khawatir. Sudah 2 bulan sejak kehamilan, Icha memang selalu muntah-muntah dari pagi hingga siang menjelang. Meski ketika malam gejala itu sudah tak lagi dirasa. Beruntung saat pernikahan kemarin tidak terjadi apa-apa. Seolah si jabang bayi mengetahui acara penting yang dilaksanakan oleh orang tuanya. “Iya, Mah,” jawab Icha dengan suara lemah. “Astaga, Sayang. Kenapa tidak bilang?” tanyanya semakin cemas. “Ini Bara malah minggat lagi. Dasar itu anak, udah mau jadi bapak masih aja sifatnya kaya anak-anak,” lanjut wanita itu. “Icha gak apa-apa, Mah. Mama jangan marahi Bara terus, ya. Kasihan dia, Mah. Dia juga pasti sedang berusaha menghibur diri,” pinta Icha pada sang mertua. “Kamu yang sabar, ya. Kelak, Bara pasti akan menyesal atas semua yang dia lakukan pada kamu, Icha. Mama mohon, jangan menyerah untuk mendapatkan hati Bara,” timpal Sukma penuh harap. “Selama Bara tidak menyakiti anak ini, Icha akan bertahan, Mah. Tapi, kelak, jika Bara berani menyakiti anak Icha, entahlah apa yang akan terjadi.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN