Bab 5 ♡Pusat Kantor Richard♡

1120 Kata
Memang untuk menuju ke puncak banyak tantangannya. Letih, lelah itu biasa. Tetapi yang tidak biasa itu jika tetap maju tanpa takut untuk jatuh. ♡♡♡ Satpam bertubuh gempal itu membungkukkan sedikit badannya ketika melihat bossnya menghampirinya. Richard, bossnya itu memang sosok yang ramah dan bergaul tak pilih-pilih teman. Tak memandang kasta. "Tolong kamu tutup gerbang kantor hari ini jam 9 tepat. Jika ada yang masuk kantor lebih dari jam itu, kamu larang!" titah Richard. Ia melakukan hal ini supaya wartawan tak mencoba memasuki kantornya dan mencari tahu akan kabar pernikahan putrinya itu. Kebetulan, kantor dan hotel pusat letaknya bersebelahan. Sedangkan hotel lainnya dan kantor cabang ada di beberapa kota. Satpam itu mengangguk. Richard memberikannya uang sebesar dua ratus ribu padanya. Satpam bertubuh kurus dengan berlari mendatangi temannya itu. "Ono opo?" (Ada apa?) Satpam bertubuh gempal itu memasukkan uangnya ke dalam saku celananya. "Awakmu kat mau nyang di?" (Dirimu dari tadi dimana?) "Aku ko njeding. Yo eruh to? Lak isuk-isuk aku mesti kebelet," jawabnya dengan kekehan pelan. (Aku dari kamar mandi. Kamu tau kan? Kalau pagi-pagi aku selalu kebelet) "Yo opo aku eruh? Emange aku sopomu?" (Ya apa aku tahu? Memangnya aku siapamu?) Satpam bertubuh kurus itu memukul pelan tangan temannya itu. Ia merasa jengkel. Namun ingatannya kembali. Ia melihat temannya tadi sepertinya membawa uang merah. "Ndi bagianku?" (Mana bagianku?) Satpam bertubuh gempal itu mengeryit heran. Ia meninggalkan temannya menuju gerbang. Menutup gerbangnya ketika waktu sudah menunjukkan pukul 09:00. "Loh-loh, nyapo kok mok tutup?" (Loh-loh, kenapa kamu tutup?) "Boss sing ngongkon. Wes meneng ae awakmu. Resikono kamare satpam ae. Kok aku mlebu mau reget eram." (Boss yang nyuruh. Sudah diam saja dirimu. Bersihkan saja kamar satpam. Tadi aku masuk masih kotor banget) Kedua satpam itu memang sering begitu. Namun, mereka solid dalam bekerja. Bagi mereka, hal itu hanyalah candaan juga agar mereka tak mengantuk saja saat bertugas. Sudah satu jam gerbang ditutup. Para satpam asyik menonton tv sambil mengawasi gerbang. Benar saja apa yang dikatakan bossnya, tak lama ada dua wartawan di depan gerbang. Kedua satpam itu hanya berdiam diri di posnya. Televisi sudah dimatikan. Salah satu wartawan lelaki meminta satpam untuk menemuinya. Satpam bertubuh gempal meminta satpam lainnya untuk menemui lelaki itu. "Ono opo?" tanyanya pakai bahasa Jawa yang tentu tak dimengerti oleh wartawan itu. (Ada apa?) Satpam bertubuh kurus itu berdehem. "Ada apa?" tanyanya dengan logat bahasa Jawa yang begitu kental. "Bukakan pintu gerbangnya, saya mau menemui atasan kamu!" "Ohh, tidak bisa! Boss lagi sibuk!" Lelaki itu meminta teman sesama wartawan untuk mendekatinya. Mereka saling berbisik membuat satpam bertubuh kurus itu mengeryitkan dahi bingung tak mengerti apa yang dibicarakan mereka. Wartawan wanita menatap satpam tersebut dengan senyuman kecil. Satpam itu terpanah dengan senyumannya. Cantik, pikirnya. "Jika boss kamu sibuk, kalau begitu boleh kita berbincang-bincang saja?" "Maaf, tidak bisa," jawabnya dengan mantap. Wartawan lelaki mengeluarkan uang merah sebanyak 3 lembar. "Mau ini gak?" bujuknya. Karena ia butuh berita itu untuk menaikkan jabatannya di kalangan wartawan. Selama 10 tahun menjabat di kantornya sebagai wartawan tetap, ia tak pernah naik jabatan. Sedangkan yang masih bekerja 4 tahun, 2 tahun, sudah naik jabatan dan pamornya dikenal oleh kalangan artis. Itulah alasannya dari kemarin begitu gencar mencari tahu akan kabar dari keluarga Richard. Wartawan wanita memegang leangan wartawan lelaki. Ia menggelengkan kepala dan membisikkan sesuatu ke telinganya. Wartawan lelaki mengangguk dan langsung pergi meninggalkan kantor milik Richard. Satpam bertubuh kurus itu mengedikkan bahu. Sempat bahagia juga jika ia mendapatkan uang merah tadi. Pikirnya lumayan buat makan selama dua minggu. "Nyapo, bro?" tanya satpam bertubuh gempal dengan penasaran. (Kenapa, bro?) Satpam bertubuh kurus itu mengangkat bahunya acuh. Ia kembali menyalakan televisi dan menyeduh kopinya dengan santai. *** Sebuah kamar mewah dengan cat bewarna abu-abu dan biru tua yang kental dengan nuansa kamar lelaki. Benar saja, pemilik kamar, Bian Dewangga sedang menatap langit dari balkon kamarnya. Sejak tadi ia tidak mau turun untuk sarapan pagi dan memilih berdiam diri di kamar. Tak peduli dengan ketukan pintu. Mau kabur ke luar negeri mencari cinta sejatinya pun percuma. Ia tak memiliki uang. "Kamu dimana, Kania?" tanyanya pada angin. Dengan kondisinya yang berjongkok, menyenderkan kepala di tiang balkon. Benar-benar seperti lelaki patah hati. Seketika ia teringat perkataan papanya akan masalah tadi pagi. Ia memalukan? Benarkah seperti itu? Bahkan papanya malu mengatakan jika telah memiliki anak seperti dirinya. Ah, sungguh mimpi buruk. Dalam keheningan ini ia berfikir. Kedua matanya mengerjap pelan. Ia merapikan pakaiannya dan memutuskan menemui kakak kandung dari Kania. Mungkin ia bisa bertanya akan keberadaan Kania. "Mau kemana, Bian?" tanya sang mama ketika melihat anaknya turun dari tangga dengan sedikit berlari. "Mau keluar sebentar, Ma," jawab Bian singkat. Ia menuju bagasi, mengeluarkan mobilnya dan mengendarainya dengan kecepatan penuh. Sang mama yang melihat itu begitu khawatir. Ia meminta supir keluarga untuk mengikuti keberadaan Bian. *** "Hai, kak Kaila," panggil Bian dengan menghampiri Kaila yang sedang menghitung uang di kasir. Kaila menatap Bian penuh penasaran. Bagaimana lelaki itu tahu akan tempat kerjanya? Dan apa juga tujuannya menemui dirinya? Ia menoleh kanan-kiri dengan malu. Berharap tidak ada yang melihatnya berbincang dengan Bian. Karena wartawan bisa saja memotretnya. Keadaan belum reda. Kaila menitipkan kasir kepada temannya. Ia meminta Bian mengikutinya ke belakang toko. "Ada apa?" tanya Kaila. Bian tersenyum lebar. "Kak Kaila, Bian mau tahu dimana Kania kuliah?" Kaila melototkan matanya ketika mendapati wanita sedang membawa kamera dan dilihat gerak-geriknya seperti ingin mencari seseorang. Kaila menarik tangan Bian kearah samping toko. Ia meminta Bian untuk diam. Hanya mereka berdua disini. Bian tampak bingung dan gugup sekaligus. Apalagi jarak mereka sangat dekat. "Ada apa, kak?" tanyanya dengan suara kecil. "Ada wartawan. Mereka masih mencoba mengintai keluarga Richard." "Untuk apa?" "Mencari tahu kabar pernikahanmu dengan Kania juga kabar anggota keluarga Richard," jawab Kaila sambil menoleh sedikit ke belakang tubuh Bian. Ia bernafas lega ketika tak lagi mendapati wartawab tersebut. "Tadi kamu tanya apa?" tanya Kaila. Ia memundurkan langkah kakinya. Memberi jarak antara dirinya dengan Bian. "Dimana Kania kuliah, kak?" Kaila berfikir sejenak. Haruskah ia mengatakannya? Semoga Kania tak akan marah karena dirinya sudah membocorkan tempat tinggalnya disana. "London," jawab Kaila pada akhirnya. Ia berharap semoga Kania tak marah. Bian tersenyum. "Terima kasih, kak. Lanjutkan kerjamu, kak!" Lalu Bian pergi begitu saja meninggalkan Kaila. Wanita itu melangkahkan kakinya pelan menuju dalam toko. Kembali melaksanakan tugasnya. Disisi lain, Bian yang tampak senang itu mengendarai mobilnya dengan pelan. Selama di perjalanan menuju rumah, ia tak henti tersenyum. Bian jadi ingat juga ketika tadi dalam jarak dekat ia melihat Kaila, kakak kandung dari Kania tampak cantik juga. Walaupun lebih cantik Kania menurutnya. Kania tetap dihatinya. Tinggal nanti ia harus pandai membujuk kedua orang tuanya agar memberikan izin ke London, menemui Kania. Sesampainya di rumah, Bian masih diam di dalam mobil. Ia tersenyum membayangkan dirinya akan bahagia disana bersama Kania. Ia akan terus berjuang mendapatkan hati Kania, istrinya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN