Bab 4 ♡Kediaman Richard♡

1102 Kata
Sejauh apapun kamu pergi, aku akan tetap menunggumu dan menemukanmu hingga kau berada di pelukanku ♡♡♡ Lelaki itu duduk di sofa dengan kepala yang tertunduk. Menahan air mata yang seakan ingin turun. Kaila, kakak dari Kania yang baru turun pun menatap keluarganya penuh tanda tanya. Apalagi saat matanya menangkap lelaki yang berstatus suami adiknya itu tampak sedih. Apa yang terjadi? Kaila duduk di sebelah sang mama. Ia menatap sang mama meminta kejelasan. Ia tak melihat ada Kania disini. Dimana adiknya itu? Belum bangun tidurkah? Ia menatap sang papa meminta penjelasan, namun apa yang didapatkannya hanya gelengan dan wajah sedih. Sang papa akhirnya berdehem. Ia menatap lelaki yang yang menjadi menantunya itu dengan rasa kasihan. "Maafkan atas kelakuan putriku. Dia memang masih kuliah di luar negeri. Apa kamu ikhlas jika Kania melanjutkan pendidikannya terlebih dahulu, sebelum benar-benar tinggal berdua bersamamu." Lelaki itu mendongak. Kedua matanya sudah berkaca-kaca. Kaila terkejut ketika mendapati hal ini. Bukan hanya soal adiknya yang pergi begitu saja, tetapi soal lelaki yang berstatus menjadi suami adiknya itu tampak seperti wanita. Kedua bibirnya mencebik, kedua matanya berkaca-kaca. Ah, ia saja merasa geli. Apalagi adiknya? Ternyata suami adiknya aslinya begini. Ia tahu bagaimana kriteria jodoh idaman Kania. Ia jadi yakin jika Kania tak menyukai pernikahannya ini. "Tidak apa-apa, pa," jawab lelaki itu dengan suara serak. "Kamu boleh tinggal disini," ujar sang papa dengan tak tega. Lelaki itu menolak. Ia menggelengkan kepala pelan. "Tidak, pa. Aku kembali saja ke rumah mama papaku," jawabnya lalu berdiri menyalimi tangan mama dan papa. Kaila semakin tak percara dibuatnya. Ia ingin pingsan saja. Lebih baik ia menuju kamar dan menelfon adik kesayangannya itu, menanyakan kebenarannya. Walau ia yakin tebakannya kali ini benar. Sepasang suami istri saling menatap dan berbicara lewat tatapan mata. Tak lama, suara langkah kaki terdengar. Lelaki yang menjadi menantunya telah turun dengan membawa koper berisi pakaiannya. Lelaki itu berpamitan lagi kepadanya. Hatinya hampa, ia kembali ke rumahnya dengan diantar supir keluarga Richard tanpa pujaan hatinya. Selama perjalanan lelaki itu melamun. Sang supir sesekali menatap lewat kaca mobil dengan pandangan heran. Tampak sekali jika menantu Richard itu pandangannya kosong. Sang supir ingin mengajak bicara, tetapi lelaki itu seakan ingin menangis juga. Hidungnya bahkan sudah memerah dengan kedua mata yang berkaca-kaca. Ia sempat berfikir ulang mengenai hal ini, benarkah jika lelaki ini adalah menantu dari Richard? Suami dari Kania Putri Abigail Richard? Jelas sekali jika dipandang tak cocok. Lelaki ini bersifat kekanakan, dan terlalu lebay menurutnya. *** Setelah mengucapkan terima kasih kepada supir Richard, lelaki itu memasuki kediaman orang tuanya dengan langkah pelan. Ia membiarkan kopernya di ruang tamu. Melangkahkan kakinya menuju dapur dan melihat sang mama sedang memasak. Ia memeluk sang mama dari belakang lalu menumpahkan segalanya lewat air mata yang akhirnya turun juga setelah ia tahan tadi. Sang mama menoleh kaget. "Ada apa, Bian?" Namanya memang sangat keren, tetapi dirinya tak sekeren namanya. Selama ia hidup pun tak ada cewek yang mau dekat dengannya. Baru kali ini ada yang mau bersamanya walau karena kesalahpahaman yang terjadi. Tetapi, akhirnya ia juga ditinggalkan. Bian menangis sesenggukan. Tak menghiraukan pertanyaan sang mama. Sang papa yang baru turun dengan pakaian yang sudah rapi. Jas hitam dan kemeja putih yang menempel ditubuhnya membuat pria paruh baya itu begitu tampan walau umurnya sudah tua. "Ada apa kamu, Bian?" tanya sang papa ketika melihat putranya menangis di pundak istrinya. "Mama tanyain gak jawab, pa. Dimana Kania juga?" "Kania gak ikut kesini?" tanya sang papa. Bian mengangguk. Ia semakin keras menangisnya. Sang mama sampai kualahan untuk menenangkannya. "Sudah sayang, memang Kania kemana? Gak mungkin karena Kania gak ikut kesini kamu nangis begini?" Bian melepaskan pelukannya. Ia mengusap air mata lalau menatap sang mama dengan wajah sendu. Sisa-sisa air mata masih menempel di pipinya. "Kania ke luar negeri, Ma," ujar Bian dan kembali memeluk sang mama dengan menangis. Sang papa yang melihat tingkah putrnya hanya mengedikkan bahu acuh. Entah kenapa putranya yang satu ini seperti ini. Punya anak satu, tapi kelaukan macam cewek, pikir sang papa. "Ke luar negeri? Dimana?" "Kania kuliah disana, Ma. Bian gak tahu dimana tempatnya. Bian mau ikut saja, Ma," rengek Bian. Sang mama mengusap punggung Bian. "Sayang, kamu kan sudah lulus kuliah juga. Seharusnya kamu mulai bekerja." Bian menggelengkan kepala pelan. "Ma, Bian mau kesana," rengeknya. Sang papa menggebrak meja dengan keras. Sudah cukup kesabarannya. Membiarkan semuanya begini. "Kamu harus mulai bekerja, Bian. Nantinya kamu yang meneruskan usaha, papa." "Bian gak mau!" Sang papa mengepalkan kedua tangan marah. Rahangnya mengeras. Sang mama menatap suaminya itu dengan menggelengkan kepala. Berharap suaminya tak memukul putranya itu. "Lihat kelakuanmu itu!" tegas sang papa. "PA!" Sang mama berteriak tak terima. Jangan sampai karena hal ini  jiwa Bian berguncang. Karena bagaimanapun, anak tidak boleh mendapatkan kemarahan dari kedua orang tuanya. Ia takut jika seperti ini akan berdampak pada Bian kecil di masa depan. Ketika cucunya sudah lahir di dunia ini. "Sudah cuku mama membela, Bian. Jadi lelaki itu harus tegas, berani, tidak cengeng seperti kamu!" "PA!" Bian masih menangis di pelukan sang mama. Sang mama untungnya sudah mematikan kompor. Hanya ada tempe goreng dan sayur sop yang sudah matang. "Biarin, Ma. Biar dia tahu. Sudah besar masih seperti anak kecil saja kelakuanmu. Wajar saja jika Kania meninggalkan kamu, Bian. Papa saja malu memiliki putra sepertimu!" "PA!" Sang mama meneteskan air mata ketika suaminya mengucapkan kata yang tak pantas di dengar oleh Bian. Walau Bian sudah besar, tidak seharusnya suaminya itu mengatakan hal ini. "Biarin, Ma. Kamu urus anakmu itu!" Sang papa melangkahkan kakinya keluar dapur. "Mau kemana, pa? Papa belum sarapan!" "Tidak selera, Ma. Nanti saja kalau sudah pulang," sahut sang papa. Bian memeluk mamanya dengan erat. Kepalanya semakin ia telungkupkan di lekukan leher sang mama. Ia sudah biasa ketika mendapati sang papa yang seperti ini. Membentaknya dan memarahinya setiap hari. Apalagi kemarahannya waktu kejadian sebelum pernikahan itu membuatnya dipukul habis-habisan oleh papanya. Tubuhnya sakit, dan hatinya hancur. "Anggap saja perkataan papamu tadi adalah mimpi ya, Bian. Mimpi yang tak akan jadi nyata," ujar sang mama. Bian hanya diam. Lalu memutuskan untuk ke ruang tamu mengambil kopernya dan masuk ke dalam kamarnya. Mengistirahatkan tubuh sejenak. Berharap masalahnya ini segera selesai. Sang mama menatap Bian dengan pandangan sendu. Ia sedih melihat keluarganya yang begini sejak umur Bian mencapai 7 tahun. Dulu ia sempat menginginkan bercerai dengan suaminya itu di umur Bian yang ke 13 tahun. Tak kuat menghadapi dan takut akan psikis Bian. Namun, karena berbagai pertimbangan dan ia masih menyukai suaminya itu ia memilih bertahan. Bagi orang lain mungkin keluarganya tampak bahagia. Tetapi jika mereka merasakannya pasti akan terkejut dan merasa kasihan padanya. Ia menatap nanar makanan yang sudah jadi itu. Sarapan pagi yang benar-benar buruk. Selera makannya jadi hilang juga.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN