Bab 7 ♡Bian Dewangga♡

1861 Kata
Rasa kecewaku bukan berarti membuatku menyerah untuk menemukanmu, hanya saja rasanya sakit mengetahui jika kau telah menolakku ♡♡♡ Bian menghembuskan nafas lega. Akhirnya ia sampai di London. Ia semakin tak sabar untuk bertemu sang pujaan hatinya, istri tercinta. Untung saja sang papa mengizinkannya, walau ada syarat yang harus ia penuhi setelah kembali ke Indonesia. Flashback on Bian mendekati sang papa dengan langkah pelan. Ia ingin membicarakan sesuatu kepada sang papa. Dewangga, papa Bian, meminta puranya untuk berbicara di ruang kerjanya saja. Bian menerima. Sudah sejam ia menunggu sang papa yang sedang membersihkan tubuh setelah kerja. Ia mengetukkan jari, jenuh kelamaan menunggu. Suara pintu terbuka, ia menoleh dan papanya masuk dengan wajah yang tampak segar. "Ada apa?" tanya Dewangga saat duduk di kursinya. Benar-benar tak basa-basi. Mungkin masih marah padanya, pikirnya. "Bian mau ke London," ujar Bian dengan mantap. Namun, kepalanya ia tundukkan. Takut dengan tatapan sang papa yang begitu tajam. "Tidak bisa!" Papanya menolaknya? Tak mengizinkannya pergi? Bahunya merosot seketika. Padahal ia sudah merancang rencana apa yang akan ia lakukan selama disana bersama Kania. "Pa, Bian mau ketemu istri, Bian," desak Bian. "Papa tetap menolak!" ujar Dewangga dengan tegas. "Pa," bujuk Bian. Dewangga berdiri. Ia bersedekap menatap putranya. "Ada syarat yang harus kamu penuhi jika ingin kesana!" Kedua mata Bian berbinar terang. Ia tersenyum lebar. "Setelah kembali kesini, lakukan tugasmu sebagai anak dan sebagai lelaki," tegas Dewangga. Bian terdiam. Ia memikirkan syarat ini. Menurutnya selama ini ia sudah melakukan tugasnya sebagai anak dan lelaki. Lantas apa yang diharapkan papanya? Ia menatap penuh bingung ke papanya. "Rubah sikap, dan perilakumu. Belajar memimpin perusahaan!" Bian mengangguk mantap. "Apa?" tanya Dewangga memastikan. "Bian siap, pa." "Baiklah, besok papa akan meminta salah satu anak buah papa untuk menemanimu kesana! Sekarang keluarlah dari ruanganku!" Bian mengangguk. Ia tersenyum menatap sang papa. Kedua kakinya melangkah mendekati pintu. Sebelum sempat membuka pintu, perkataan papanya membuat dirinya terpaku. "Jika sampai kamu tidak melakukannya, maka kamu harus meninggalkan Kania detik itu!" Bian menoleh kebelakang. Ia mengangguk mantap menatap papanya. Flashback off Ia menatap sekeliling bandara yang begitu ramai. Satu koper sudah dipengangnya. Ia meminta anak buah papanya itu untuk mencarikan taksi. Ia memberikan uang kepada bodyguard itu untuk menyewa hotel yang dekat dengan apartemen Kania. Untung saja ia juga sudah meminta alamat tempat tinggal Kania, termasuk kampus tempat Kania belajar. Selama perjalanan tak hentinya ia tersenyum. Membayangkan raut wajah Kania yang tersenyum menatapnya. Tak peduli jika supir taksi dan bodyguard itu menatapnya dengan bingung. Bian kini sudah sampai di depan apartemen Kania. Ia merapikan pakaiannya. Mengambil kaca kecil dari saku bajunya. Mengaca apakah ia sudah rapi dan tampan. Tangannya kemudian memencet bel apartemen Kania, ia juga mengetuk pintu apartemen Kania. Sudah lima menit, namun tak ada jawaban dari pemilik apartemen. Mungkin Kania sedang pergi, pikirnya dengan tenang. Ia memutuskan menunggu Kania di depan pintu apartemen. Duduk di lantai bersama koper kesayangannya. Sudah sejam ia menunggu, namun masih belum ada jawaban dari pemilik apartemen. Ia ingin segera tidur dan mengistirahatkan tubuh. Kedua matanya mengerling ketika mendapati ada seorang wanita paruh baya keluar dari lift. Mungkin ia bisa bertanya kepadanya. Bian mengusap kedua matanya pelan. Ia menghampirinya. "Permisi, Bu." Wanita paruh baya itu menatap Bia dengan bingung." Bian menepuk keningnya pelan. Ini di London bukan Indonesia, ia harus menggunakan bahasa Inggris untuk berkomunikasi. "Saya Bian, apa ibu kenal dengan pemilik apartemen itu?" ujar Bian dengan bahasa Inggris sambil menunjuk apartemen milik Kania, istrinya. Wanita paruh baya itu mengangguk. "Pemiliknya seorang gadis yang manis." Bian tersenyum lebar. "Kalau boleh tahu, dia kemana ya Bu?" Wanita paruh baya itu menatap Bian dengan memicing. Mengintimidasi Bian. "Anda siapanya?" "Saya suaminya, Bu," jawab Bian dengan senyuman lebar. Wanita itu menggelengkan kepala tak percaya. "Ah, mana mungkin. Lelaki ini sepertinya mimpi," ujarnya lirih namun dapat didengar Bian. Hati Bian merasa sakit mendengar ucapan ibu ini. Kenapa semua orang seakan bilang bahwa dirinya tak pantas buat Kania? "Dia sudah pindah apartemen sementara," ujarnya galak. Bian melihat tatapan ibu itu berubah tak suka kepadanya. Ia tak lagi bertanya dan memilih pergi dari hadapan ibu itu setelah mengucapkan terima kasih. Ia mengambil kopernya dan menelfon bodguardnya untuk menjemputnya di depan apartemen. Mungkin ia akan menginap di hotel juga. Untuk apa Kania pindah apartemen? Padahal ia ingin memberikan surprise kepada Kania? Mungkin ia bisa mendatangi kampus tempat Kania belajar saja. *** Keesokan harinya, ia mendatangi kampus Kania. Dalam perjalanan tak henti ia mengaca memastikan penampilannya sudah baik. Namun, kampus itu tampak sepi seperti hari libur saja. Apa mungkin Kania belum masuk kuliah?, pikirnya. Ia bertanya pada satpam disana. Benar saja, lusa baru kuliah dilaksanakan. Hari ini dan kemarin ia gagal bertemu Kania. Ia menoleh kesamping, dimana bodyguardnya hanya duduk diam. "Kamu cari apartemen baru, Kania!" Bodyguard itu mengangguk. Taksi melaju meninggalkan kampus. Ia memilih kembali di apartemennya saja, biar bodyguardnya yang mencari. Ia akan stalker sosial media Kania, siapa tahu ada petunjuk disana. Pikiran cemerlang yang tepat. Dari mulai i********:, f*******:, line, tak ia temukan nama istrinya. Ada nama Kania, tetapi isinya kosong tak ada apapun. Bian menghela nafas lelah. Ia membanting ponselnya ke ranjang, dan ikut merebahkan tubuhnya. Menatap langit-langit hotel dengan pandangan sendu. Ia merasa sedih akan hal ini. Lama ia melamun, hingga tak sadar suara panggilan telfon terdengar nyaring. Ia langsung saja mengangkatnya tanpa melihat penelfon. "Ada apa?" tanyanya langsung. "Begini, tuan Bian." Mendengar suara bodyguardnya, ia langsung duduk menyender pada kepala ranjang. "Ada apa?" tanyanya senang. "Nona Kania sepertinya memang sengaja pindah apartemen saat tahu tuan akan ke London." Bian mendengus tak suka akan pernyataan dari bodyguarnya itu. "Kania justru senang melihat aku!" "I-iya, tuan. Tapi faktanya..." Bian langsung mematikan ponselnya. Ia tak suka akan kabar ini. Tidak mungkin gara-gara ia kesini Kania langsung pindah apartemen. Tidak, ia tak mamu memikirkan hal ini. Kania pasti senang akan kehadirannya. Kania pasti mencintainya juga. Raut wajah dan sikap Kania kemarin-kemarin mungkin karena butuh sedikit waktu dan menyesuiakan diri dengannya. Bodyguardnya itu berbicara ngawur. Bian kembali membaringkan tubuh dan memutuskan tidur. Berharap Kania datang pada mimpinya. Ia sudah sangat rindu pada istrinya itu. Disisi lain, seorang wanita muda sedang duduk di depan restoran bersama seorang lelaki. Lelaki itu memaksa untuk bertemu. Wanita itu tak dapat menolaknya. Wanita itu, Kania, mengaduk-aduk minumannya dengan bosan. Pasalnya sudah sejam ia duduk di kursi tetapi tak ada pembicaraan yang dibuka oleh lelaki yang ada dihadapannya itu, Zayn. "Please, deh. Gue mau pulang aja kalau begini," ujarnya dengan kesal. Ia lagi tak mood semenjak dapat kabar kemarin dari kakaknya. Apalagi ia juga capek, baru selesai bersih-bersih apartemen barunya. Zayn berdehem. "Kania, gue tadi ke apartemen lo, tapi lo gak ada?" Kania menatap Zayn dengan bingung. Untuk apa lelaki itu ke apartemennya? Ada urusan apa mencarinya? Zayn yang melihat sikap Kania pun berujar, "Gue cuman ingin main aja ke apartemen lo. Bukankah kita teman?" tanyanya dengan senyuman tipis. Kania mengangguk. "Naila tahu lo kesini sama gue?" Zayn menggelengkan kepala. Kania hanya diam. Ia jadi tak enak kepada Naila. Telah diam-diam bertemu dengan kekasihnya. Sepertinya ia harus menjauhi Zayn, walaupun Zayn itu termasuk lelaki yang sesuai dengan kriterianya. Namun, ia tak akan mengorbankan persahabatannya yang sudah lama terjalin. "Lain kali jangan temui gue kalau gak sama Naila," ujar Kania. "Kenapa?" "Lo tau kan? Kita baru kenal juga baru-baru ini," ujar Kania beralasan. Zayn tampak merenung. Ia menatap kedua mata Kania. "Lo curiga sama gue?" Kania dengan tegas menggelengkan kepala. Zayn salah paham akan maksudnya. "Bukan gitu, ya gue cuman gak suka aja kalau cuman berdua gini. Lebih enak ramai." Kania menyelipkan rambut kanannya ke telinga. Ia merasa risih juga ditatap instens oleh Zayn. Ada apa dengan lelaki ini? "Oke, lain kali gue akan ajak Naila juga. Oh, ya habisin makanannya," ujar Zayn dengan senyuman lebar. Sejenak Kania terpaku melihat senyuman itu. Zayn tampak lebih tampan jika tersenyum begini. Karena setahunya lelaki ini begitu dingin, senyum pun pelit. Andai saja ia memiliki jodoh seperti Zayn, sepertinya ia terlalu stress karena menerima kenyataan yang ada. Ia memasukkan sesendok pisang coklat keju ke mulutnya. Rasanya enak, pas dilidah. Pisang diolah apapun memang enak. Tetapi, ia tetap suka dengan buah kesukaannya. "Bagaimana rasanya?" tanya Zayn tersenyum menatap Kania. Kania berfikir hari ini Zayn lebih banyak senyum. Sedikit-sedikit senyum menatapnya. Mengingatkan dirinya akan lelaki yang telah menikahinya beberapa hari yang lalu. Ia meremas baju bawahnya pelan. Untuk apa ia membandingkan Zayn dengan lelaki itu? Zayn lebih unggul dibanding lelaki itu. Bahkan nama lengkapnya ia lupa. Nama panggilannya kadang-kadang juga lupa. Entah sampai kapan ini akan berlalu. "Lumayan," jawab Kania singkat. "Kalau kamu suka, boleh pesan lagi dan dibungkus buat lo makan nanti gitu," ujar Zayn. Kania mengangguk saja. "Restoran ini ramai juga ya." "Iya, karena disini jual makanan lengkap. Dari makanan ringan sampai berat ada disini semua. Pokoknya beda deh dari yang lain." "Lo kayak tahu banget soal restoran ini," ujar Kania sambil menatap Zayn. Zayn tersenyum lebar. "Jangan-jangan ini restoran punya lo?" tebak Kania dengan pandangan memicing kearah Zayn. Zayn mengangguk. "Bener!" Kania bertepuk pelan. Ia benar-benar kagum dengan Zayn. Apalagi disini pembelinya cukup banyak. Banyak yang kaum muda juga peminatnya. "Keren banget, sih," ujar Kania pelan. Zayn yang mendengarnya semakin tersenyum lebar. Ia senang dipuji oleh wanita dihadapannya ini. "Biasa aja." Kania menutup mulutnya. Zayn mendengar ucapannya. Ia menunduk malu. "Sejak kapan lo mulai usaha ini?" tanya Kania setelah lima menit hanya diam. Ia terlalu penasaran akan lelaki ini. Membangun restoran sebesar ini tak mudah, apalagi dalam waktu dekat. Kecuali jika memang Zayn dibantu oleh kedua orang tuanya. "Sejak gue masih kuliah," jawab Zayn. Dari pertengahan ia kuliah sudah mulai membuka bisnis kecil-kecilan dengan uang jajannya yang selalu ia tabung. Tiga tahun kemudian akhirnya ia bisa mendapatkan restoran sebesar ini. Tak mudah memang, tetapi ia punya tekad yang kuat hingga akhirnya bisa sukses seperti ini. Kini ia tinggal mencari calon istri yang akan menemaninya sampai tua nanti. Ia juga sudah menemukan kandidat itu. Zayn tersenyum di dalam hati, ia harus berjuang keras untuk mendapatkan kandidat calon istrinya itu. "Serius lo?" tanya Kanua memastikan. Zayn mengangguk. Lalu ia melambaikan tangan memanggil karyawannya. "Buatin pisang coklat keju lagi dan dibungkus, ya!" "Baik, pak," jawabnya dengan membungkuk sopan kepada Zayn. Kania tak percaya akan hal ini. Ia yang masih kuliah saja tak punya apa-apa. Untuk makan saja masih minta kedua orangtuanya, mau beli baju, beli peralatan lainnya juga minta. Semuanya minta. Zayn ini memang keren menurutnya. Masih muda tetapi punya pikiran yang luar biasa. Hingga akhirnya bisa sesukses ini. Ia jadi ingin mencoba bisnis, dari yang ringan-ringan dulu mungkin. "Gue juga ingin belajar bisnis gitu." Zayn tersenyum. "Mau bisnis apa?" Apa ya?, tanya Kania pada dirinya sendiri di dalam hati. Ia ingin berbisnis tetapi juga bingung mau bisnis apa. "Boleh gak kalau gue kerja di restoran lo ini?" ujar Kania pada akhirnya. "Boleh, memangnya mau jadi pelayan restoran?" "Iya, maulah. Kumpulin uang dulu nanti kalau udah ada modal buka deh usaha apa gitu kecil-kecilan dulu," jawab Kania mantap. "Bagus juga. Nanti gue bantuin," ujar Zayn mantap. Ia tentu senang membantu Kania. Kania dan Zayn saling menatap dengan tersenyum lebar. Jika orang-orang melihatnya pasti akan mengira bahwa mereka ialah sepasang kekasih. Tetapi, mereka berdua tak terlalu memikirkan pendapat orang lain. Karena yang ada dalam pikiran mereka yaitu kesenangan bersama. Menikmati waktu bersama, jika Zayn senang menghabiskan waktu bersama Kania. Sedangkan Kania lebih senang karena membahas bisnis.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN