Bab 8 ♡Ada Hati yang Terluka♡

2036 Kata
Kau mendatangiku hanya karena satu benda, lalu kau buang aku begitu saja seakan diriku tak berarti bagimu. Kenapa kamu melakukan hal ini padaku? Setidaknya, hargai diriku! ♡♡♡♡ Sebuah Restoran mewah dan terkenal di London, ada seorang lelaki sedang menikmati makan malamnya sendirian. Tak ada sosok yang menemani, hanya berjejer-jejer makanan lezat yang tampak dihadapannya. Bahkan, bodyguardnya ia suruh makan di lain tempat. Entah karena rasa kesal atau rindu yang membuatnya seperti lelaki galau. Sudah tigas haru semenjak ia menginjakkan kaki di London, belum juga menemukan Kania. Tiba-tiba dari sebelah tempat duduknya, seorang wanita berpakaian merah mencolok datang menghampirinya. Bukan karena warna pakaiannya, tetapi model pakaiannya yang terkesan terbuka. Lelaki itu acuh, dan memilih menyantap makanannya dengan lahap. Berusaha menikmati sesuap nasi dengan udang goreng pedas yang mangkir dilidahnya. Makanan khas Indonesia. Iya, restoran yang ia datangi ini restoran seafood yang menjual khas olahan makanan Indonesia. Namun cukup laris, sedari tadi ia datang, banyak suara lonceng berbunyi pertanda banyak orang yang masuk untuk menikmati berbagai olahan makanan di restoran ini. Hatinya berharap, siapa tahu ia bertemu sang pujaan hati, istrinya tercinta. Namun hatinya sedih ketika ia sudah sejam disini sendirian. Kini, justru ada wanita yang tak diinginkannya datang menghadapnya dengan senyuman lebar tetapi terkesan menggoda. Ia berdecih pelan. "Hai," sapa wanita itu. Bian hanya menatap tangan yang mengulur kearahnya. Tak menyambut dan kembali menyendok makanannya. Wanita itu menggembungkan pipinya. Mungkin jika tampilannya begitu sopan, pasti Bian akan tertaa melihatnya. Pasalnya wanita itu seperti anak kecil. Tetapi ketika melihat baju yang dikenakannya, ia langsung mendengus tak suka. Wanita dibanding dengan Kania, istrinya, tak ada apa-apanya. "Kok diam saja, sih," keluhnya. Dengan kesal, Bian mendongak menatap wanita itu. "Bisa gak sih gak usah ganggu orang makan?" Hatinya sudah bertalu-talu. Amarahnya seakan ingin dikeluarkan. Meronta-ronta sedari ia mendapatkan kekecewaan. "Sapa baik kek, jangan sombong jadi lelaki," ujar wanita itu dengan ketus. "Memangnya siapa yang mau kenalan sama kau? Aku gak minta pula," cetus Brian. Ia kembali menatap makanannya dan menikmatinya. Suara kursi digeser dengan hentakan kaki kesal membuat Bian mengedikkan bahu acuh. Tak peduli akan kekesalan wanita dihadapannya itu. Sudah mengganggu, memaksa kenalan, lalu pergi tanpa pamit? Ia menatap makanan dihadapannya dengan sendu. Siapa yang akan menghabiskannya semua? Ia tak lagi selera ketika waktu makannya diganggu seperti tadi. Biasanya ia bisa makan dua kali jika seenak ini, namun masih setengah piring saja ia sudah malas. Ah, efek Kania benar-benar kuat. Ia menatap sekeliling, mencoba peruntungan mencari partner yang mau diajak makan bersama. Tentu pilihannya seorang lelaki. Ah, ia menemukannya. Seorang lelaki yang baru memasuki restoran. Tampilannya begitu kacau, seperti baru diputuskan kekasihnya saja. Namun, binar kedua matanya menandakan bahwa lelaki itu sedang bahagia. Mungkin tampilannya yang kacau karena lelaki itu kelelahan saat bekerja. Bian menggeser kursinya, melangkahkan kaki menuju lelaki tersebut. Ia berdiri di hadapan lelaki itu dan berdehem pelan. Lelaki itu menaikkan sebelah alisnya. Tampak raut kebingungan di wajahnya. "Apakah kau mau makan?" tanya Bian dengan sopan. Lelaki itu mengangguk saja. "Bisakah kita makan bersama?" tanya Bian. Lelaki itu diam sejenak. Tampak ragu. Dalam pikirannya mengira bahwa Bian adalah seperti seorang lelaki yang mengajak wanita untuk berkencan. Ia terdiam sejenak. Tanpa kata ia balas mengangguk. Bian dengan senang hati mengajak lelaki itu duduk di kursinya. Lelaki itu menggeleng takjub melihat banyak makanan disana. Ah, perutnya sudah keroncongan. Lebih baik ia menerima saja. Lagipula mumpung gratis. "Makan saja, habiskan!" ujar Bian. Ia mulai memaksakan tangannya untuk menyendok makanan. Ia butuh tenaga untuk pencarian Kania. Hari ini ia harus menemukannya. "Terima kasih." Bian mengangguk. Seiris udang masuk ke tenggorokannya. Rasanya sedap. Lelaki dihadapannya itu mengulurkan tangan. "Zayn," ujarnya memperkenalkan diri. Bian menatap lelaki itu lalu mengangguk. "Bian." "Menurut Anda bagaimana menu restoran seafood ini?" tanya Zayn. "Enak," jawab Bian singkat. Zayn tersenyum tipis. Restorannya ini benar-benar bagus. Mungkin ia bisa menambahkan menu baru atau menambahkan olahan masakan dengan cita rasa yang lebih beda dari yang lain. Ia menatap sekeliling restoran. Satu kata, ramai. Melihat banyak pengunjung yang menikmati makanan restoran ini membuatnya yakin bahwa ia sudah berhasil. Namun, walau begitu ia tak boleh sombong. Ini masih awal, akan ada hal lain lagi yang harus ia lakukan. Seperti memperluas jangkauan restoran seafood di berbagai negara. Zayn mulai menyantap makanan di hadapannya ini. Jika dipikir ia sudah mapan, mungkin kini saatnya ia harus mencari pasangan hidup. Mungkin wanita itu bisa menjadi pasangannya sampai kakek nenek. Menghabiskan waktu bersama dengan cinta yang melekat. "Aku pesenin minum dulu, ya. Mau apa?" tanya Bian. Zayn mendongak. "Tidak usah." "Loh, kenapa? Disini hanya ada satu minuman." "Tidak masalah, nanti saya bisa pesan sendiri." "Anda sudah dengan baik hati mengajak saya makan saja saya sudah senang dan beruntung," lanjut Zayn. Bian menunduk malu. Zayn melihatnya. Ia mengernyitkan dahi. Kenapa dengan lelaki dihadapannya ini? "Tidak masalah," jawab Bian pada akhirnya. Ia malu sudah dipuji seperti itu. Bodyguard yang duduknya tak begitu jauh darinya mengangguk paham menatap Bian yang sedang menunduk malu karena ucapan Zayn. Bodyguard itu paham kenapa bossnya selalu marah dengan Bian. Karena sikap Bian benar-benar diluar batas. Bukan, melakukan tindakan penyelewengan. Hanya saja sikapnya bukan seperti lelaki. Sikap Bian cenderung seperti cewek. Tentu menggelikan sekali jika ia ada dihadapan Bian dan mendapati respon seperti itu. "Ngomong-ngomong, ada urusan apa Anda di negara ini? Tampaknya Anda bukan asli London?" "Iya, aku dari Jakarta." "Wah, jauh-jauh Anda kemari. Pasti ada suatu hal yang penting, ya?" tanya Zayn lagi. Pertemuan pertama seperti teman yang telah mengenal lama. Ia tak hentinya bertanya mengenai Bian. Bian mengangguk lesu. "Begitulah, aku mencari istri aku disini." Zayn tampak terkejut. Ternyata lelaki dihadapannya ini sudah menikah. Bahkan sepertinya umurnya tidak beda jauh darinya. Raut galau terpampang nyata dihadapan Zayn. Bian tampak sedih. "Lagi ada masalah, ya?" "Tidak juga," jawab Bian terkesan menyembunyikan kebenarannya. Lagipula ia merasa salah jika harus membicarakan masalah rumah tangganya kepada orang lain. Biarlah ia yang dan keluarganya saja yang tahu mengenai masalah ini. Walaupun seharusnya dirinya saja yang tahu. Tetapi, ia butuh bantuan papanya untuk menemukan Kania. Rasa rindu begitu membuncah. Namun, sang pujaan hati entah dimana sekarang. Zayn mengangguk. Tak lagi menanyakan pertanyaan yang membuat lelaki dihadapannya semakin sedih. Ia jadi ingin segera menikah. Namun, ia juga tak mau harus bernasib sama dengan lelaki dihadapannya ini. Ah, ia seorang lelaki. Ketika berumah tangga, ia tentu sudah memikirkan mana hal yang baik dilakukan, dan harus mampu menyelesaikan masalah keluarganya dengan baik. Jika ia kepala rumah tangga harus membimbing keluarganya dengan baik, ia harus jadi panutan yang baik untuk istri dan anak-anaknya kelak. Zayn mengalihkan pandangannya pada seorang pelayan di restorannya hendak menghampiri dirinya. Ia menggelengkan kepala. Ia tak mau statusnya sebagai pemilik restoran ini diketahui oleh lelaki dihadapannya. Pelayan itu mengangguk dan memutuskan lanjut bekerja saja. **** Kediaman Richard tampak beraura tak baik. Sangat buruk. Bagaimana tidak? Richard sebagai kepala keluarga harus menelan rasa malu atas tindakan Kania. Belum lagi, putrinya tak menjelaskan secara rinci dan tak mengabarinya. Hanya Kaila, putri pertamanya saja yang diberi tahu kabarnya disana. Ia tampak geram dengan hal ini. Ingin langsung menjemputnya ke London. Tetapi ia juga tak bisa begitu saja, kenapa? Kania pasti akan semakin marah dan memilih tak pulang ke rumah. Didepannya istri yang telah menemaninya disaat suka maupun duka menunduk sedih. Wartawan masih mengejar bahkan dengan berani mendatangi kediaman Richard. Kini mereka tak bisa kemana-mana. Richard sudah menyuruh para bodyguardnya untuk menjaga di depan pintu. Gerbang rumah sudah ditutup juga. "Pa, ini bagaimana?" Richard mendekati istrinya dan memeluknya pelan. "Sabar, Ma. Untuk beberapa hari kita di rumah dulu sampai wartawan tidak lagi mengejar-ngejar." "Tetapi sampai kapan, pa? Bagaimana dengan Kaila yang sedang bekerja?" tanya istri Richard dengan wjaah sendu. Kedua matanya tampak menghitam, jarang tidur karena memikirkan nasib putrinya maupun keluarganya. Entah apa yang dicari wartawan di depan sana. Hatinya tersentak. Apakah mereka sudah tahu mengenai kabar pernikahan Kania yang sedang bermasalah? Belum sempat Richard berbicara. Istri Richard, nyonya besar si rumah ini pun berkata, "Pa, bagaimana dengan Kania disana? Apakah ia akan dapat masalah seperti ini juga?" "Tenang, Ma. Mereka tak tahu mengenai masalah pernikahan putri kita. Mereka hanya ingin informasi mengenai pernikahan yang dilangsungkan waktu itu dan awal mula pertemuan Kania dengan Bian." "Pa, mama tak mau Kania mendapatkan masalah, Pa." "Iya, Ma. Papa juga khawatir dengannya disana. Nanti kita tanya Kaila ya, Ma? Entah kenapa anak itu tak mau mengangkat panggilan kita." "Iya, Pa," jawab istri Richard pelan. Mereka berdiam. Merenungi kejadian di akhir-akhir ini yang begitu mengejutkan. Bahkan, sangat mengejutkan hingga membuat mereka hampir terkena serangan jantung. Sebuah peristiwa yang membuat semuanya berubah dalam sekejap. Andai waktu dapat dikembalikan, Richard ingin menahan Kania agar tak pulang. Supaya kejadian ini tak terjadi. Jika sampai wartawan tahu mengenai masalah ini dan datang ke kantor polisi, ia tak yakin hidupnya akan aman lagi. Intensitas perusahaannya yang tinggi akan menurun. Mungkin juga akan berimbas pada usaha baru yang dirintisnya baru-baru ini. Richard memutuskan membuka restoran baru dan ingin Kaila yang mengurusnya. Supaya anak pertamanya itu tak bekerja di restoran milik orang lain. **** Kania tersenyum sedih menatap ponselnya yang habis ia banting. Kakaknya, Kaila meminta untuk menghubungi kedua orang tuanya. Namun, ia tak mau. Ia takut jika kena marah papanya atas perilakunya kemarin-kemarin. Memang kemarin ia ingin mengabari kedua orang tuanya. Tetapi apa buat, rasa takut lebih mendominasi. Sekarang ia harus merelakan ponselnya. Layar yang retak, dan sepertinya tak bisa digunakan lagi. Ah, terpaksa ia tak punya ponsel di Negara ini. Untuk membelinya pun tak sanggup. Uang bulanannya buat keperluan kuliah dan makan. Walau kedua orang tuanya kaya, ia pun juga diberi uang seadanya saja. Secukupnya untuk kebutuhan hidupnya. Bukan untuk beli baju-baju mewah, atau jalan-jalan ke sebuah tempat. Itu jauh dari ekspektasi teman-teman sekolahnya dulu ketika mengatakan padanya bahwa ia orang kaya bisa membeli apapun. Terlalu jauh itu berfikirnya. Nyatanya, uang yang ia gunakan juga masih uang dari kedua orang tuanya. Lalu bagaimana ini? Ia harus berfikir ulang supaya dapat ponsel lagi dalam waktu dekat. Ia panik jika nanti saat masuk kuliah ia harus ketinggalan kabar juga. "s**l," umpat Kania kesal. Ia merapatkan kedua kakinya. Menyelipkan kepala diantara kakinya. Seketika ia teringat bahwa ada Bian di London. Mungkin ia bisa meminta ponsel baru pada Bian. Ide cemerlang yang bagus. Ah, sama saja ia harus menemui Bian dulu. Kania mengepalkan kedua tangannya lalu memukul ranjang dengan kesal. Haruskah ia bertemu Bian? Kini pilihannya ada pada Bian. Tak mungkin harus pinjam uang pada Naila? Ia juga tak mungkin pinjam uang pada Zayn, lagipula ia baru kenal. Sepertinya pilihan kali ini hanya Bian. Besok ia harus mencari Bian. Ia bingung, dimana harus mencari Bian juga. Ah, lelaki itu pasti datang ke apartemen sebelumnya. Mungkin ia harus kesana. Menunggu Bian disana, siapa tahu Bian kesana lagi. Egonya harus ditiadakan dulu. Ini benar-benar penting buat masa depannya di London. Tanpa ponsel, ia akan kesepian disini. Keesokan harinya, Kania bangun pagi-pagi. Ia sudah rapi dengan pakaian yang panjang. Kali ini ia memakai dress motif bunga-bunga sepanjang kaki. Memakai heels, dan sedikit memoles wajahnya. Rambutnya ia tata kesamping. Ia memang selalu perfect. Jika bukan karena ponsel, ia tak akan mau tampil cantik dihadapan Bian. Ia harus membujuk lelaki itu pastinya. Mengingat wajah dan sikapnya, tiba-tiba ia merasa geli. Langkahnya menuju pintu terhenti. "Bagaimana ini? Pusing sekali hanya demi ponsel. Gue gak rela sebenarnya ketemu tuh lelaki." Kania berjalan modar-mandir sambil mengetukkan jari kelingkingnya di dagu. Ia berusaha memantapkan hatinya. "Harus bisa!" ujarnya mantap. Akhirnya, ia memutuskan menuju apartemen lamanya menunggu Bian disana. Untung saja jalanan juga tak terlalu macet karena masih pagi. Taksi tepat lewat dihadapannya. Keberuntungan yang bagus. "Kania?" Kania menoleh ketika melihat seorang wanita paruh baya menghampirinya. Ia kini sudah berada di lantai apartemen lamanya dulu. Hanya beberapa langkah ia akan sampi di kamarnya. "Ada apa, Bu?" "Waktu tuh ada yang cari kamu. Lelaki yang mengaku sebagai suamimu," jelas ibu itu. Kania menggertakkan gigu kesal. Kenapa pula Bian mengatakan kebenarannya. Bagaimana jika kebetulan ada teman-teman kuliahnya datang ke tempat ini mencarinya. Ia belum memberitahukan teman dekatnya di kampus akan tempat tinggal barunya. "Saya sih gak percaya. Ya mana mungkin kamu secantik ini mendapat lelaki itu?" lanjut ibu itu dengan kalimat terkesan mengejek Bian. Kania hanya diam, tak memberitahukan kebenarannya. "Terima kasih, Mrs," ujar Kania pada akhirnya. Ia membungkukkan sedikit kepalanya lalu berjalan menuju kamar apartemennya. Berdiri di depan pintu dengan mata menatap kanan-kiri. Berharap hari ini Bian kembali disini. Hanya hari ini saja ia berharap. Tidak dengan hari yang lain. Terkesan jahat memang, tetapi inilah Kania yang sesungguhnya. Ketika tidak sesuai dengan hatinya, ia akan acuh dan memberontak. Ia hanya ingin melakukan apapun sesuai keinginannya saja.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN