Bab 6 - Negotiation

1900 Kata
Tidak lama setelah menyelesaikan sarapannya, Damian akhirnya keluar dari kamar tidur. Pria itu telah berpakaian rapih. Ia mengganti jubah mandi yang tadi dikenakan menjadi sweater lengan panjang dan celana jins. Dalam situasi normal, Rosy mungkin dapat melihat sosok suaminya sebagai model iklan di majalah fashion. Sayangnya dia tidak bisa. Saat ini, wanita itu hanya dapat melihat suaminya sebagai seorang ibl*s yang memanfaatkan kelemahan orang lain, untuk keuntungannya sendiri. Entah apa tujuan pria itu menikahinya, selain untuk memiliki tubuhnya. Kesadaran ini kembali membuat Rosy merasa sakit hati. Melihat isterinya masih duduk diam di tempatnya, Damian pun akhirnya mengambil tempat di seberangnya. Salah satu kakinya menopang dengan rapih ke kaki lainnya. Sejenak, tidak ada yang berbicara. Wanita itu bahkan menundukkan kepalanya, tidak mau memandang suaminya yang telah duduk di depannya. Suasana yang hening akhirnya dipecahkan Damian melalui suaranya yang sangat berat. "Jadi, apakah kau sudah memahami isi dokumen yang kau tandatangani kemarin?" Rosy memandang kepalan tangannya di meja dan mengangguk pelan. Pandangan matanya masih terarah ke bawah. Tidak melihat pria itu. "Ya. Saya tidak boleh mengungkapkan status pernikahan ini pada orang lain. Tapi, saya harus berperan menjadi seorang kekasih yang mesra saat di hadapan orang lain. Dan saya juga harus menjadi seorang isteri yang patuh pada suaminya saat di rumah. Saya harus dapat melayani dan memberikan kepuasan lahir-batin pada Anda, bagaimana pun caranya." Kepala pria itu mengangguk. Sama sekali tidak terlihat ekspresi apapun di wajahnya. "Benar. Jangan pernah mengungkapkan apapun tentang status pernikahan kita, kalau kau tidak ingin dianggap melanggar perjanjian itu. Apalagi yang kau pahami dari isinya?" "Saya juga harus dapat menjaga omongan saya dan rahasia Anda. Pembicaraan apapun yang saya dengar hanya merupakan konsumsi di dalam rumah tangga kita, dan tidak untuk dibicarakan dengan pihak lain, meskipun itu keluarga." Meski setuju dengan pernyataan ini, tapi mendengar kata keluarga membuat hatinya nyeri. Satu-satunya keluarganya sekarang di penjara, dengan nasib yang berada di ujung tanduk. Dan yang menghancurkan keutuhan keluarganya adalah orang yang telah menjadi suaminya. "Benar. Apalagi?" Untuk kali ini, Rosy mengepalkan kedua tangannya erat-erat di atas meja. "Saya tidak dapat menuntut cerai pada Anda dalam kurun waktu satu tahun pernikahan kita. Saya juga tidak dapat meminta kompensasi apapun selama kita menikah, jika suatu saat kita memang berpisah." "Ada yang mau kau tanyakan tentang kompensasi?" Mendongak, Rosy menatap suaminya. Rautnya tampak tidak mengerti. "Tidak. Apakah memang harus ada yang saya tanyakan?" Ekspresi orang di depannya sedikit tertegun. Pria itu terdiam sebelum berbicara lagi. "Kau tidak menginginkan apapun dariku? Harta gono-gini, misalnya?" Mendengus sinis, kepala Rosy berpaling ke samping. Kebenciannya pada lelaki itu semakin berkobar. Serendah itukah dirinya di mata orang ini? "Harta gono-gini hanya akan berani saya minta, bila status saya sejajar dengan Anda. Tapi saya sadar dengan posisi saya saat ini. Saya bukan orang miskin, tapi saya tahu kalau apa yang saya miliki tidak ada apa-apanya dibanding Anda. Kalau pun kita berpisah nanti, saya yakin masih dapat hidup dengan penghasilan saya di Cafe. Saya tidak butuh apapun dari Anda." Kembali orang di depannya diam sebentar. "Baguslah kalau kau berfikiran begitu. Jangan mengharapkan apapun dariku." Terasa sedikit ketegangan dari keduanya, membuat suasana di ruangan itu hening sejenak. Sekuat tenaga wanita itu berusaha menahan amarahnya. Aku tidak akan pernah mengharapkan apapun darimu, br*ngsek! Kau bawa saja semua hartamu itu sampai kau m*ti nanti! "Mengenai isi perjanjian yang telah kau sebutkan tadi. Kalau kau tidak menepatinya?" Kali ini, kedua mata Rosy memanas. Jika bisa, dia sangat ingin menghajar lelaki di depannya dan menyakitinya semaksimal mungkin. "Kalau saya melanggar satu dari beberapa hal itu, maka Anda tidak akan menjamin keselamatan adik saya di penjara." Lagi-lagi, pria itu diam sebelum berkata pelan. "Tidak ada pernyataan seperti itu tertulis, tapi bagus kalau kau sudah mengerti maksudnya." Kata-kata makian sudah ada di ujung lidah Rosy, namun ia menahan dirinya. Sebisa mungkin, dia mengontrol kemarahannya. Pembicaraan ini membuatnya semakin naik pitam. "Apakah ada yang ingin kau tanyakan?" Akhirnya orang ini memberikan kesempatan padanya untuk bertanya. "Sejujurnya ya. Ada beberapa hal yang ingin saya tanyakan dan perjelas, agar kedepannya saya pun tidak melakukan kesalahan yang tidak perlu." Sambil mengangguk, suaminya menyenderkan tubuhnya di kursi. Ia melipat kedua tangannya dengan rapih di pangkuannya. Perilaku pria itu terlihat sangat elegan, berbeda jauh dengan kesan sombong dan arogan yang sebelumnya ditampilkan. "Apa yang ingin kau tanyakan?" "Apakah Anda akan berselingkuh dari saya?" Sorot mata Rosy tajam dan menusuk pada suaminya. Perselingkuhan adalah sesuatu yang sangat dibencinya. Meski tidak mencintai pria ini, tapi dia adalah wanita yang kolot dan cukup posesif pada miliknya. Dia tidak akan pernah mau melayani pria itu lagi bila sampai tahu, kalau tubuh suaminya ternyata telah disentuh oleh wanita lain. Damian balas menatapnya dengan sorot yang sama. Ketika menjawab, suaranya terdengar lebih berat dan terselip nada tidak suka di baliknya. "Apakah kau melihat kalau suamimu ini memiliki potensi untuk selingkuh?" "Saya tidak tahu. Saya tidak mengenal Anda. Tapi saya yakin, kalau di sekeliling Anda akan banyak wanita-wanita yang jauh lebih cantik dari saya. Jadi, apakah Anda akan berselingkuh?" Raut suaminya entah mengapa tampak semakin marah. Sedikit rona merah muncul di kedua pipinya. Pria itu mengertakan giginya sebelum menjawab dengan sangat dingin. "Tidak akan pernah." "Baiklah. Karena saya juga tidak akan pernah melakukannya selama kita terikat." "Apalagi?" "Apakah saya masih boleh bekerja?" Cukup santai Rosy bertanya. Suaminya adalah orang yang dominan dan arogan. Bila orang ini melarangnya bekerja, maka ia berniat mencari pertengkaran. Dan hal ini akan digunakannya untuk menuntut cerai, bila pria itu sampai melakukan kekerasan dalam rumah tangga. Tahu resiko yang harus ditanggungnya, membuat jantungnya berdegup semakin kencang mengantisipasi jawaban suaminya. Kedua tangannya yang terkepal sedikit gemetar. "Kau boleh melanjutkan apa yang sudah kau lakukan sebelum menikah, asal kau tahu batasannya." Jawaban yang di luar ekspektasinya membuat lidah Rosy kelu. Padahal ia sudah menyiapkan amunisi kata-kata, yang siap disemburkan dari mulutnya. Sejenak benaknya kosong karena ia merasa bingung. Dia mengizinkan? Tunggu dulu, batasan apa tadi maksudnya? "Batasan seperti apa maksudnya?" "Kau harus sudah ada di rumah sebelum jam 19.00 setiap harinya. Aku tidak suka memiliki isteri yang tidak ada di rumah saat aku pulang dari kantor." Wanita itu mengerjapkan matanya. Sama sekali tidak pernah terlintas di benaknya kalau pria ini adalah orang rumahan. Tadinya dia berfikir, suaminya akan menghabiskan banyak waktu di luar rumah. Niatannya untuk pulang kantor tepat waktu, membuat Rosy tertegun. Ia juga menangkap pilihan kata-kata suaminya yang berbeda dari sebelumnya, entah pria itu sengaja atau justru tidak sadar ketika melakukannya. Tidak mau terlalu menanggapi dan berharap, Rosy fokus untuk melanjutkan pertanyaannya. "Saya mengerti. Berarti kita akan tinggal bersama selama menikah?" "Kau akan tinggal bersamaku, dan di dalam kamarku. Aku tidak akan mentolerir jika kau menginginkan tinggal di tempat dan kamar yang berbeda. Kau paham?" Menelan ludahnya, Rosy mengangguk. Ia sudah bisa menyimpulkan, kalau intensi suaminya untuk pulang cepat adalah hanya karena ingin berhubungan badan dengannya. "Saya paham. Apakah ada kriteria tertentu yang Anda inginkan dari seorang isteri?" Asal Rosy bertanya. Ia sama sekali tidak berniat untuk menjadi isteri yang ideal bagi suaminya, tapi juga cukup penasaran untuk mengetahui seperti apa standar pria itu mengenai sosok seorang isteri di matanya. Mungkin dia bisa melakukan hal yang bertentangan dan membuat suaminya jengkel padanya, sehingga menceraikannya dengan sukarela. Benaknya mulai berfikir keras, memikirkan berbagai cara licik untuk membuat pria itu bosan dan tidak menyukainya. Rosy memperhatikan kepala suaminya meneleng ke samping mendengar pertanyaannya, dan ia belum menjawab. Sorotnya tampak tidak paham dengan hal yang ditanyakan isterinya. Dia tidak mengerti? "Maksud saya, apakah Anda ingin saya menyiapkan sarapan untuk Anda, menyiapkan baju Anda atau hal-hal lainnya seperti pasangan normal lainnya?" Kau bisa gigit jari, suamiku. Karena aku tidak akan pernah melakukannya untukmu. Raut muka suaminya terlihat cukup aneh. Sepertinya pertanyaan ini sama sekali tidak pernah dipikirkan sebelumnya. Saat menjawab, Rosy dapat menangkap kesan ragu-ragu darinya. "Terserah kau saja. Aku tidak terlalu peduli mengenai hal-hal semacam itu." Meski masih bertanya-tanya tapi di lubuk hatinya, ia merasa lega mengetahui kalau Damian ternyata tidak menuntut apapun darinya sebagai seorang isteri. "Ada lagi yang ingin kau tanyakan?" Tahu kalau ini adalah pertanyaan terakhir yang akan diungkapkannya, membuat Rosy sedikit pucat. Memikirkan hal yang akan dimintainya nanti, membuatnya mulai merasa cemas. Dia akan setuju, kan? Dia pasti setuju. Model pria seperti ini tidak akan mau direpotkan dalam hidupnya. Pers*tan! Kalau pun dia tidak setuju, aku akan tetap melakukannya! "Saya punya satu permintaan." "Apa itu?" Suara Damian yang sangat berat, membuat degup jantung Rosy semakin liar karena merasa terintimidasi. Ia benar-benar khawatir dengan reaksi orang ini. Jika lelaki ini menginginkan anak darinya, akan sangat sulit untuk lepas darinya. Tapi kalau menolak secara frontal, ia juga takut lelaki itu akan menekannya melalui adiknya. Rosy menelan ludahnya dan berkata dengan mantap. "Saya tidak ingin memiliki anak dari Anda. Kalau Anda tidak bersedia memakai pengaman selama kita berhubungan, maka saya akan mengkonsultasikan mengenai hal ini pada seorang dokter kandungan." Sedikit gentar, Rosy memandang suaminya. Ia tidak bisa membaca ekspresi pria itu sama sekali. Rautnya datar dan dingin, dengan kedua mata tajam yang menusuk memandangnya. Bibir Rosy bergetar ketika melanjutkan. "Saya- Saya tidak mau melibatkan nyawa seorang anak yang tidak bersalah, dalam kehidupan perkawinan yang tidak normal seperti ini. Saya harap Anda mau mengerti." Suaminya memundurkan tubuhnya dan kali ini, pria itu melipat kedua lengannya di d*danya. Terlihat otot-otot wajahnya yang menegang mendengar perkataan isterinya. Pria itu masih belum menjawab keinginan isterinya, membuat tubuh Rosy semakin gemetar. Wanita itu tidak mau jika karena permintaannya ini, membuat suaminya murka padanya. Apa yang sedang dipikirkannya? Tidak mungkin dia mau punya anak dariku, kan? "Pak Damian, saya-" "Ian." "Eh?" "Aku ingin kau memanggilku Ian." Kedua mata Rosy mengerjap cepat, tapi wanita itu berusaha mengatasi kekagetannya. "I- Ian. Saya mengatakan ini bukan untuk menyinggung Anda, tapi-" "Terserah kau saja. Tapi yang jelas, aku tidak akan pernah memakai pengaman." Jawaban ketus itu membuat Rosy terdiam dan perlahan menghembuskan nafasnya dengan sedikit gemetar. Ia berusaha menghilangkan ketegangan yang dirasakannya tadi. "Saya mengerti. Saya akan segera mengkonsultasikan hal ini pada dokter kandungan. Terima kasih sudah mau mengerti." Rasa percaya diri Rosy bangkit. Ia mulai berfikir kalau akan dapat bertahan dalam kehidupan rumah tangganya nanti. Setidaknya, lelaki ini ternyata tipe yang cukup mau mendengar dan menerima pendapatnya. Tidak seegois yang dipikirkannya semula. Meski masih tetap ingin memancing pertengkaran dengan pria itu, tapi untuk hal-hal yang krusial setidaknya ia tidak merasa pusing. Ia tidak harus melakukan banyak penyesuaian di kehidupannya, walaupun telah menikah. Karena bagaimana pun, Rosy tetap memandang pernikahan sebagai sesuatu yang sakral dan bukan untuk main-main. Sejenak, pasangan itu terdiam dan hanya saling memandang tangan masing-masing yang tergeletak di atas meja. Pria itu akhirnya memundurkan kursinya dan mulai bangkit dari duduknya, ketika Rosy akhirnya ingat pertanyaan terakhir yang ingin diungkapkannya. "Saya punya satu pertanyaan terakhir untuk Anda." Perlahan, pria itu menegakkan tubuhnya dan menatap pada isterinya. Kedua tangannya ia masukkan dalam saku celana jins-nya. "Apa itu?" "Kenapa Anda menikahi saya?" Bukannya menjawab, Damian merogoh kantong jinsnya dan mengeluarkan rentengan kunci. Ia melemparkannya pada Rosy, yang secara refleks menangkapnya. Ketangkasannya dulu saat menjadi pemain softball, membuatnya sigap menangkap apapun yang dilemparkan padanya. Kunci apa ini? "Pembicaraan ini sudah berakhir. Sekarang, antarkan aku ke rumah. Aku sudah tidak nyaman tinggal di hotel ini lebih lama lagi." Jadi sekarang, aku menjadi sopirnya? Selesai mengucapkan kalimat itu, Damian berbalik menuju pintu keluar. Menyadari isterinya masih belum mengikutinya, suaminya kembali berkata tanpa menoleh. "Kuberi waktu 5 menit. Kalau kau tidak segera keluar, kau tahu apa akibatnya." Tidak mau mengambil resiko, dengan segera Rosy mengambil tas tangannya dan mengganti sepatunya. Ia juga segera mengikuti suaminya ke ruang basement parkiran di hotel itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN