Bab 5 - Baby step

1549 Kata
"Apa yang kau lakukan?" Teguran ini membuat Rosy berhenti dan badannya kaku. Ia baru menyadari kalau Damian dapat melakukan sesuatu yang mengerikan jika sampai tahu apa yang barusan dipikirkannya. Tubuhnya sedikit gemetar, ketika membayangkan apa yang akan menimpa adiknya jika dia sampai menjalankan niatannya tadi. Apa yang kupikirkan tadi? Bagaimana Rein nanti? Kau benar-benar t*lol, Rose! Sadarlah! "Tidak ada. Saya hanya ingin melihat pemandangan." Suaranya serak dan pelan. Ia tidak mau menatap orang yang sedang berdiri di belakangnya. Ia sangat membenci pria itu. Pria yang telah menghancurkan kehidupan keluarganya. Rosy merasakan kehadiran lelaki itu di belakangnya, yang semakin lama mendekatinya. Tubuhnya kaku ketika merasakan hawa panas dari tubuh pria itu menerpanya. "Berbalik." Rosy membenci cara lelaki itu yang memerintahnya seperti b***k. Tapi menyadari dokumen yang ditandatangani dengan persetujuannya, ia hanya memejamkan mata dan menarik nafas. Perlahan ia berbalik untuk menghadap suaminya. Lelaki itu ternyata telah mandi. Ia mengenakan jubah mandi, sama seperti dirinya. Rambut hitamnya masih sedikit basah dan menutupi keningnya. Ia mungkin terlihat sangat tampan bagi orang lain tapi untuk Rosy, pria itu berwujud seperti jelmaan s*tan. Dengan berani, Rosy membalas tatapan lelaki itu. Kedua alis suaminya berkerut dan menatap intens padanya. Matanya perlahan turun menelusuri tubuhnya yang berbalut jubah mandi. "Buka." Kembali intonasi yang dibencinya terdengar. Ia memalingkan muka dan membuka jubah mandinya lebar. Tanpa malu, Rosy memperlihatkan tubuh polosnya di hadapan suaminya sambil menutup rapat kedua matanya. Sama sekali tidak mau melihat pria itu. Sejenak, tidak ada reaksi apapun dari pria di depannya. Tapi perlahan, ia merasakan sentuhan pria itu pada salah satu d*danya yang terbuka dan mulai mer*masnya. Meski tidak kencang tapi gelombang rasa nyeri, membuat Rosy refleks mencengkeram erat pergelangan tangan suaminya. Tangan lelaki itu besar dan kokoh. Tangan yang telah menyakitinya. "Sakit... Ian..." Tanpa sadar, Rosy menyebutkan nama kecil pria itu dari mulutnya. Matanya yang tertutup erat dan mulai basah karena rasa sakit, membuatnya tidak bisa melihat ekspresi pria di depannya. Tapi, ia dapat merasakan cengkeramannya mengendur. Usapannya pun terasa pelan dan lembut, membuat Rosy menurunkan tangannya kembali. Wanita itu menelan ludahnya dan berdoa. Pelan-pelan... Please, pelan-pelan... Tangan besar itu menelusuri tubuhnya dan terasa mengelus hati-hati area bagian bawahnya. Entah karena perkataannya tadi atau karena sesuatu yang lain, tapi sentuhan lelaki itu terasa jauh lebih lembut dibanding sebelumnya. Hal ini membuat Rosy merasakan sesuatu yang berbeda, dan tubuhnya pun mulai memberikan respon karena sentuhan suaminya. "Hem..." Tanpa bisa ditahannya, Rosy mengeluarkan gumaman kenikmatan meski ia masih menutup kedua matanya dengan erat. Nafasnya mulai terasa berat dan terengah. Rona merah muncul di kedua pipinya yang merah jambu. Ia telah ter*ngsang. Sentuhan dari suaminya menghilang, tapi tidak lama tergantikan dengan sesuatu yang panas dan berdenyut. Benda itu memasuki tubuhnya dengan lembut. Meski masih merasakan nyeri, tapi r*ngsangan sebelumnya membuat Rosy lebih siap untuk menerima tubuh lelaki itu. Sensasi baru ini, membuat Rosy mencengkeram bahu suaminya erat. Kepala pria itu terbenam di lehernya dan mereka terdiam sejenak. Dalam satu tarikan, pria itu mengangkat tubuh isterinya dan menggendongnya mantap. Kedua tangannya menopang b*kong isterinya, membuat Rosy otomatis melingkarkan kedua kakinya ke pinggang suaminya. Damian membawa mereka kembali ke kamar tidur dan membaringkan tubuhnya hati-hati. Wanita itu merasakan suaminya mulai bergerak pelan di dalam tubuhnya. Mulut lelaki itu menc*umi seluruh tubuh isterinya dengan lembut. Sangat jauh berbeda dengan yang telah dilakukannya beberapa jam sebelumnya. Malam itu, Rosy merasakan perlakukan Damian yang penuh kelembutan. Berkali-kali lelaki itu menembakkan benihnya, berkali-kali pula ia merasakan kepuasan yang amat sangat. Akhirnya Rosy dapat mengalami nikmatnya berhubungan int*m, membuatnya menjerit nyaring sebelum menyerah pada kelelahan yang melandanya. Sebelum larut dalam tidurnya, Rosy merasakan kehangatan tubuh suaminya di punggungnya. Pria itu menempelkan tubuhnya ke tubuh isterinya yang berbaring membelakanginya. Damian tidak memeluknya, tapi kehangatannya terasa sepanjang malam. Hal ini membuat Rosy merasa tenang, dan ia pun akhirnya tertidur lelap tanpa pikiran apapun. Keesokannya, Rosy terbangun sendirian. Ia merasakan tubuhnya lelah, tapi jauh lebih rileks dibanding kemarin. Benaknya mengingat kejadian tadi malam, membuat wajahnya memerah. Meski awalnya menyakitkan, tapi lelaki itu berhasil menghilangkan rasa takutnya terhadap hubungan int*m dengan cepat. Hanya dengan usapan tangannya, Rosy benar-benar dapat melupakan kejadian kemarin siang yang cukup mengerikan. Ia mengusap tubuhnya sendiri. Ternyata orang itu bisa juga bersikap lembut. Mengenakan jubah mandinya, ia menuju kamar mandi sambil mengambil tas tangannya. Kakinya hampir memasuki kamar mandi, saat matanya melihat sebuah gaun santai teronggok di sofa. Di atasnya ada sepasang pakaian dalam wanita yang terlihat baru. Bahannya terbuat dari katun sedikit tipis, dan berwarna abu muda. Rosy hampir tidak mempedulikannya ketika menyadari, kalau pakaian yang dipakainya kemarin ternyata sudah tidak ada. Ragu-ragu, ia akhirnya membawa pakaian baru itu ke kamar mandi dan memutuskan untuk mengenakannya. Selesai mandi, Rosy mematut penampilannya di kaca dinding. Gaun santai itu sangat sopan. Lengannya pendek dan panjangnya selutut. Sangat sesuai dengan seleranya, tapi sepertinya tidak seperti selera suaminya yang mungkin lebih menyukai sesuatu yang seksi dan terbuka. Menarik nafasnya, Rosy menyadari kalau ia sama sekali tidak mengenal suaminya. Ia bahkan masih mengingat gosip kedua wanita beberapa hari sebelumnya di toilet, yang mengatakan kemungkinan kalau pria itu adalah seorang g*y. Tapi hal yang mampu dilakukan oleh suaminya tadi malam, menghapus kemungkinan itu sama sekali. Entah dari mana gosip itu. Terkecuali kalau suaminya adalah seorang bis*ks. Tapi Rosy pun kurang mempercayainya, mengingat dia adalah orang yang sangat kasar dan juga dominan. Dia juga sangat maskulin. Sama sekali tidak ada tanda-tanda kalau akan menyukai sesamanya. Hal ini persis seperti cerita wanita dalam toilet kemarin dulu. Kedua mata Rosy kembali mengarah ke cermin di depannya. Karena lengan gaunnya pendek, Rosy dapat melihat pergelangannya yang sedikit membiru. Untungnya hal ini tidak terlalu jelas terlihat. Mengusap tangannya, ia mulai berfikir kalau suaminya sedikit aneh. Awalnya pria itu kasar. Tapi malamnya ia bersikap sangat lembut padanya, seperti takut menyakitinya. Pikiran ini membuat kedua alis Rosy berkerut dalam. Sebetulnya yang mana sifat asli orang itu? Kasar? Atau lembut? Ia membuka tas tangannya, mengeluarkan sepasang pil berwarna putih dan menelan salah satunya. Rosy berniat untuk mengunjungi dokter kandungan. Dia sama sekali tidak mau mengandung benih dari pria yang dibencinya dan terburuk, yang mungkin juga membencinya. Menyiapkan hatinya, Rosy akhirnya keluar dari kamar mandi. Di ruang depan, Damian sedang membelakangi dirinya. Ia melihat sarapan yang telah tersaji di meja makan. Sepertinya pria itu telah memesan makanan saat ia masih tidur. Menelan ludahnya, Rosy mengampiri lelaki yang telah menghabiskan malam dengan dirinya ini. "Se- Selamat pagi." Rosy berusaha menjaga sopan santunnya, mengingat orang ini menggenggam nasibnya dan juga adiknya di tangannya. Jantungnya berdegup lebih cepat, mengantisipasi hal yang akan dilakukan oleh suaminya. Pria itu berbalik, di tangannya terlihat sebuah cangkir mengepul. Ia menyesap isinya pelan. Kedua mata biru tuanya mengamati pemandangan wanita yang sedang berdiri di depannya. Tatapannya turun dari atas ke bawah. Meletakkan cangkirnya, ia mendekati isterinya. Tinggi Damian menjulang di depan isterinya, membuat Rosy hanya bisa memandangi leher pria itu yang jenjang dan tampak kuat. Entah berapa tinggi suaminya, yang jelas ia merasa kecil padahal dirinya cukup tinggi untuk ukurannya. Kepala lelaki itu menunduk, ke leher isterinya. Wanita itu dapat merasakan lagi bulu-bulu halus suaminya saat lelaki itu menggesekkan wajah ke lehernya. Terdengar deruan nafasnya di lehernya. Salah satu tangan besarnya menggenggam asetnya dan sedikit mer*masnya. Tangan lain pria itu mengusap pinggul isterinya dan mencengkeram b*kongnya, menariknya untuk menempel pada tubuhnya sendiri. Rosy dapat merasakan h*srat pria itu yang naik, saat menyadari benda yang menekan perutnya mulai terasa panas dan mengeras. Ia menelan ludahnya kasar, menyadari kalau pria ini memiliki n*fsu yang cukup besar. Ia takut suaminya akan meminta jatahnya lagi, mengingat biasanya lelaki itu tidak puas hanya melakukannya sekali. Jantungnya semakin berdebar keras, karena Rosy sebenarnya masih merasa nyeri di inti tubuhnya karena perilaku pria itu yang cukup kasar sebelumnya. Beberapa saat, Damian hanya memeluknya erat dan mengelus-elus tubuh isterinya. Ia sama sekali tidak mengatakan apapun. Kedua tangan besarnya mer*mas p*ntat isterinya dan menekannya semakin dalam ke tubuhnya sendiri. Ia menggeram dan meletakkan dagunya di ubun-ubun wanita itu yang masih terdiam di pelukannya. Rosy dapat merasakan nafas suaminya yang memburu dan bagaimana pria itu berusaha mengontrol n*fsunya. Tubuh lelaki itu bergetar ketika memeluknya, sebelum melepaskannya. Saat mundur, Rosy dapat melihat d*da pria itu naik-turun di depannya. Damian melangkah ke dalam kamar tidur dan tanpa menoleh, berbicara pada isterinya. "Makanlah. Setelah itu, baru kita bicara." Setelah pintu kamar tidur yang tertutup pelan, barulah Rosy menghembuskan nafas yang dari tadi ditahannya. Berada di pelukan Damian cukup menyesakkan baginya, karena ia tidak bisa memprediksi apa yang akan dilakukan oleh suaminya. Ia pun akhirnya duduk di salah satu kursi dan mulai menikmati sarapannya. Hari ini, Rosy berencana meminta izin pada suaminya mengenai hal-hal yang ingin dilakukannya. Meski telah menikah, namun dia tetap menginginkan kebebasannya. Rosy tidak mau melepaskan Cafe-nya hanya karena telah bersuami. Saat ini, benaknya berfikir keras bagaimana cara meyakinkan Damian agar memberikan izin padanya. Dan bila pun tidak, berarti dia harus memikirkan strategi lain agar dapat lepas dari pria itu dengan tanpa membahayakan posisi adiknya. Belum lagi, ia juga akan meminta satu hal penting dari pria itu. Dengan masa depannya yang tidak pasti, Rosy belum ingin memiliki anak dari pria mana pun. Apalagi dari suaminya yang jelas-jelas tidak mencintainya. Tapi masalahnya, dia tidak bisa membayangkan reaksinya. Apakah orang itu akan setuju atau justru marah dengan permintaannya? Hal penting seperti ini, menurutnya sangat perlu untuk dibicarakan di awal. Sebelum terjadi hal-hal yang tidak diinginkan ke depannya. Rosy tidak mau mengambil resiko, terutama saat menyangkut masalah nyawa baru.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN