TERIMA KASIH, YA ROB

2241 Kata
'Aku memang sudah lapar. Tapi melihat pemandangan di hadapanku tadi, rasanya perutku malah jadi mual, hyaks.' Alih-alih merasa lapar justru rasa tak enak itulah yang membuat Aida memilih menutup pintu dan bersandar di belakang pintu sambil mengamati isi kamarnya, hilang sudah semua keinginanya untuk mengisi perut. 'Ya Rob, terima kasih Engkau melindungi mataku dari semua yang tidak ingin aku lihat itu.' Aida bergidik jijik, tapi di saat yang bersamaan juga ketika dia melihat isi ruangan itu. "Setidaknya kamar ini bisa mengembalikan sedikit moodku." Ada senyum di bibirnya karena memang kamar itu di luar ekspektasinya. "Ini pasti bukan kamar pembantu." Aida sangat yakin. Spreinya lembut dan bersih. Saat tangan Aida bergerak menyentuhnya. Ruangan itu juga dingin dan humiddengan sensor di mana saat panas tubuh manusia diterima oleh sensor maka pengatur udara di dalam kamar itu aktif otomatis dan menyesuaikan sendiri tingkat kelembapan termasuk suhu di kamar tersebut. Ion aktif UV pelindung pun membuat udaranya terfilter dari bakteri berbahaya. "Seindah inikah tinggal di tempat ketinggian begini?" Serasa seperti melayang saat mata Aida mengarah ke cakrawala ketika dirinya membuka gorden jendela besar. Aida berdiri tepat di hadapannya, bisa melihat pemandangan kota Jakarta dengan gedung-gedung yang menjulang tinggi, beda dengan pemandangan di kampung, atap genteng, motor berseliweran dan tukang jualan juga tetangga yang lalu lalang. Suasana baru ini bisa menjadi hiburan sendiri untuknya. "Waaah, semua tempat ini untuk menaruh barang-barangku, kah?" Seutas senyum lagi-lagi muncul ketika Aida membuka lemarinya. Besar dan banyak space yang membuatnya tak harus menaruh baju disesak-sesakkan. "Semuanya sempurna. Bahkan kamar mandi juga sudah seperti hotel berbintang lima yang sering aku lihat di televisi. Wah, berapa ya harganya kalau mau punya apartemen seperti ini?" Aida hanya bisa menerka-nerka sambil dia senyum-senyum sendiri merasa puas dengan kamar barunya. Maklum saja dulu di kampung Aida, meski keluarganya cukup berada dia tidak punya yang seperti ini. Rumahnya hanya rumah kampung biasa. Meski rumahnya yang dulu terlihat mewah untuk warga kampung dengan rumah dua lantai dan halaman pekarangan yang luas, tapi tidak seperti ini. Dua tingkat biasa saja dengan banyak barang perabot khas masyarakat yang masih berbudaya menyimpan barang tak digunakan dengan harapan barang itu bisa berguna suatu saat nanti tapi tanpa mereka sadari, seiring berjalannya waktu, barang-barang itu lapuk dan tak lagi dihiraukan. Namun benda-benda itu tetap menjadi penghuni di dalam rumah, pekarangan, kamar dan berbagai sisi sudut rumah sehingga lama-lama rumah penuh dan sumpek. Beda dengan barang di rumah Reiko yang sudah disusun sedemikian rupa penataannya. Tak bisa disamakan. Reiko adalah seorang bachelor yang memiliki taste terhadap barang-barang high end stuff jauh dari standar kebanyakan orang. Jadi tentu saja tempat tinggalnya bukan sebuah tempat tinggal yang biasa seperti rumah kebanyakan orang kaya zaman dulu yang ditempati oleh keluarga Endra. Semua yang dibeli untuk prestigetanpa memikirkan fungsi jangka panjang juga. Di apartemen ini, Reiko sangat berhati-hati sekali dalam pemilihan interior design. Apalagi kekasihnya juga seorang yang mengerti tentang ilmu design interior. Brigita banyak ikut andil dalam pemilihan furniture. Makanya wajar sekali jika setiap sudut rumah itu sangat menawan dan memanjakan netra siapapun yang berada di dalamnya. "Gila sih, semuanya di rumah ini, termasuk kamar ini kayaknya serba keren dan otomatis kebanyakan, wow." Aida tak salah menilai. Memang semua yang ada di apartemen itu adalah super premium stuff dengan teknologi terbaru seperti sebuah hunian smart home for better living yang biasanya hanya bisa dilihat oleh Aida di iklan televisi, tik tok, youtube, dan sumber video online lainnya termasuk film dan acara live show. "Hahaha, aku tidak peduli kalau kamu mau mengumpat dan menghinaku seperti apapun, yang penting saat aku masuk dalam kamar ini aku pun bisa mengumpat dirimu, keluargamu dan siapapun yang menyakiti hatiku termasuk ratu lebah itu. Kamar ini bisa menjadi hiburan sendiri untukku, hehe. Waaaaah, nyaman sekali." Aida memilih membuka kerudungnya dan merebahkan dirinya di tempat tidur setelah kondisi hatinya sedikit lebih baik. Aida juga sudah tidak memikirkan tentang tamparan yang tadi ditorehkan di pipinya. "Sakit sih, aku juga tadi hampir nangis. Ssssh, tega sekali dia menampar perempuan." Kejadian itu sempat menggores hatinya. Tapi dengan cepat Aida menggelengkan kepalanya dan berusaha fokus untuk tidak terhanyut dengan perasaan lukanya. "Sudah jam lima. Aku rasanya lebih baik memang cepat-cepat wudhu. Aku belum salat Dzuhur dan Ashar karena tadi kan dalam perjalanan jadi mesti digabung deh." Aida tadinya masih ingin malas-malasan di tempat tidur yang sangat empuk dan baru pertama kali ditidurinya pembaringan seempuk dan senyaman itu. Tapi Aida ingat dengan kewajiban yang memang tidak mungkin bisa dia tinggalkan. "Huuuh, ke mana arah kiblatnya ya?" Sesaat Aida celingak-celinguk. Tadinya dia ingin langsung mengambil handphone dan mengecek posisi kompas Tapi "Nah di situ mataharinya." Ini kan sudah sore hari dan matahari cenderung berada di tempat dia akan tenggelam. Aida tentu dengan mudah bisa menerka-nerka ke mana arah kiblat. "Allahu Akbar." Gadis itu memang dibesarkan di suasana pedesaan dengan nilai-nilai agama yang masih melekat kental di dalam kehidupan dan budaya yang diterapkan warga di kampungnya sehari-hari. Karena itu, meskipun Aida berada jauh dari kampung dan dari keluarganya, kesadaran memang sudah terbentuk dalam benaknya kalau memang setiap umat muslim diwajibkan untuk mendirikan solat. Itu sudah otomatis, seperti lapar dan haus, membuat manusia ingin makan dan minum. Tak perlu ditunggu, dirinya pun sudah khusyuk melakukan dua waktu yang dijamaknya. Ashar dulu, baru setelahnya Dzuhur. "Allah... hiksss." Aida baru menyelesaikan salam tapi memang dia sudah tidak tahan lagi untuk menumpahkan semua air matanya. Ya, rasa sakit itu masih ada. Tidak mungkin semua ucapan kasar yang didengarnya dan juga hinaan yang bertubi-tubi yang diberikan kepadanya oleh beberapa orang dalam beberapa jam terakhir ini bisa dilupakannya dengan sangat mudah. Boleh jadi tadi Aida bisa tersenyum, tertawa atau menunjukkan bagaimana dirinya bisa bertahan terlihat menawan. Tapi Aida tetaplah manusia biasa. Usianya bahkan masih delapan belas tahun. Bagaimana mungkin dia tidak menangis dan tidak merasa sakit dengan semua yang terjadi menimpa dirinya? "Pantaskah aku mengeluh sakit dan kecewa dengan takdirku, Ya Rob?" Pukulan yang begitu menyakitkan yang membuat wajah Aida sedikit bengkak bisa tak terasa lagi dalam beberapa detik, hingga sempat ada pikiran begini. "Astaghfirulloh." Tapi Aida segera menampik semua ucapannya sesaat kesadarannya kembali "Maafkan aku Tuhan. Tangisanku ini sama sekali bukan bermaksud aku ingin mengumpatmu yang telah menorehkan takdirku seperti ini bahkan sebelum dunia ini ada." Aida masih sesegukan saat dirinya mengutarakan permohonan maafnya. "Sungguh aku takut padamu Tuhan dan aku berlindung dari semua tipu daya syaitan di balik prasangka buruk terhadap-Mu. Aku yakin, Engkau sudah menentukan ini yang terbaik untukku." Aida tahu hatinya memang tidak menerima dengan keadaan seperti ini di mana dirinya berada bersama dengan orang-orang yang tidak sama sekali peduli dengannya dan bahkan terus-terusan menyakitinya Tapi Aida yakin sesuatu. "Tidak mungkin keimanan seseorang tidak akan diuji saat dia mengatakan dia beriman. Bahkan semua yang kurasakan tidak ada apa-apanya dari semua ujian yang Engkau berikan kepada para nabi dan rasul, juga termasuk orang-orang soleh pendahuluku," tegas Aida mengingatkan dirinya "Ya Rob, aku percaya pada-Mu dengan segala kelemahan dan ketakberdayaanku sebagai manusia, aku punya Tuhan yang hebat. Aku punya Engkau yang Maha Melindungi, Maha Tahu apa yang terbaik untukku." Butiran air mata itu pun kembali mengalir dari sudut mata Aida ketika bibirnya berbisik, membuat bulu kuduknya merinding dan hatinya sendiri bergetar. Terhanyut dalam kekhusyuan. "Ya Rob yang Maha Mendengar segala bisikan dan Maha Yahu harapan hamba-Nya ...." Suatu keyakinan terbesar dalam doanya, membuat dirinya memejamkan mata dan tersenyum, sambil bicara: "Aku tidak punya siapapun saat ini selain Engkau sebagai pelindungku ya Rob. Dan aku percaya keberadaan-Mu dan perlindungan-Mu untukku. Lihatlah semua kebaikan yang telah Engkau berikan padaku saat ini." Aida pun menggiring opininya pada segala sesuatu yang memungkinkan dirinya berpikir tentang segala hal kebaikan Tuhan untuknya "Seumur-umur aku belum pernah tidur di kamar sebagus ini. Bukankah ini adalah sebuah nikmat yang telah engkau berikan untukku yang harus aku syukuri? Wahai Rob yang berada di singgasana kebesaran-Mu di Arsy." Aida mulai menjabarkan segala hal yang menurutnya adalah keluasan nikmat Tuhannya, termasuk: "Dan bukankah dengan kejadian ini Engkau juga telah mengabulkan salah satu doaku, yaitu mencari jalan keluar untuk pendidikan adik-adikku? Lihatlah bagaimana sekarang ketiga adikku bisa kembali bersekolah di tempat yang mereka inginkan bukan di sekolah yang hanya sebatas memberikan pelajaran dengan hasil yang seadanya?" Hati Aida memang terluka karena segala hal yang menggoresnya hari ini. Tapi mengingat semua hal pencapaian yang sudah didapatkannya seakan-akan luka itu seperti lava yang mendingin dari letusan gunung. Membawa kesuburan dan menumbuhkan benih-benih bunga di dalam hati Aida yang merasakan kebahagiaannya saat duduk di hamparan sajadahnya. "Terima kasih telah mengabulkan permohonanku wahai Dzat yang Agung dan terima kasih tetap menjagaku, menguatkanku juga dalam kelemahanku. Aku bukan siapa-siapa ya Rob, hanya makhluk kecil tak ada artinya di alam semesta. Tapi aku mencintai-Mu dan punya harapan besar, Engkau rela memberikan sedikit senyummu padaku saat Engkau melihatku di sini memujiMu, mengingatMu dan menyatakan cintaku pada-Mu wahai dzat yang jiwaku ada dalam genggaman-Mu. Tak ada yang lebih membahagiakan bagiku daripada mendapatkan senyum dan keridhoan dari penciptaku, wahai Dzat yang penuh cinta kasih dan sangat menyayangi ciptaannya." Air mata Aida kembali mencuat menetes. Bedanya saat ini air mata itu tidak lagi menimbulkan perih dan luka dalam lubuk sanubarinya. Sebuah senyum pun muncul di bibirnya seakan-akan semua rasa sakit itu sudah melayang lenyap entah ke mana Aida juga tidak tahu. Hatinya tak lagi resah dan gelisah. Rasanya begitu tenang dan damai. "Sayangilah kakak Aisyah dan ayah yang kini sudah berada di pangkuan-Mu ya Rob. Berikanlah tempat terbaik untuk mereka di sisi-Mu di taman-taman surga. Jaga ibu, Lingga, Arum dan Lestari supaya mereka bisa mendapatkan ketentraman, keselamatan, kecukupan rezeki di tempat yang jauh dariku sekarang. Hanya Engkaulah tempatku menitipkan mereka karena hanya Engkaulah yang bisa menjaga mereka dengan penjagaan sebaik-baiknya." Begitu yakin Aida akan doa-doanya sebelum akhirnya dia yang sudah merasakan betapa tenang hatinya kembali menghempaskan napas dan mulai menutup doanya. "Dan aku mohon perlindungan dari-Mu dari semua hal yang terburuk yang mungkin saja bisa datang dari segala arah yang tidak terduga-duga. Hanya Engkaulah yang Maha Pemberi, Maha Penolong dan Maha Melindungi. Sampaikan sholawat dan salamku kepada Baginda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan juga para nabi dan Rosul lainnya. Demi kemuliaanmu yang mengabulkan permohonan hamba-Nya, berikanlah ke lapangan kubur bagi mereka yang telah meninggal dunia bagi kaum muslim dan muslimat. Bagi mereka yang mengalami kesulitan karena siksaan kubur akibat kelalaian mereka di dunia, ringankanlah walaupun itu hanya satu detik. Untuk mereka yang masih hidup, berikanlah kemudahan hidup mereka, hidayah dan ketenangan batin. Berikanlah rahmatmu yang luas pada semesta ini, Tuhan pemilik seluruh alam semesta yang Maha Melihat, Mengetahui, Penyayang dan Rahmatnya tanpa batas. Terima kasih sudah mendengarkan curhatku ya Rob, senang sekali aku masih diberikan waktu mengingat-Mu, Ya Rob" Aida pun mengucapkan Amin di saat yang bersamaan tangannya mengelus wajahnya dan menutup doanya dengan sujud syukur untuk segala kebahagiaan yang dirasakannya. "Alhamdulillah lebih tenang." Lega rasanya jiwa Aida. "Duuh, aku aus." Namun di saat yang bersamaan ketika Aida ingin bangun Allahu Akbar Allahu Akbar. Adzan terdengar di telinga Aida dari handphone yang berada di dalam tasnya. "Lama juga ya aku menghabiskan waktuku?" saat Aida berdoa tadi dia tak menyangka kalau memang dia sudah hampir se-jam duduk di hamparan sajadahnya. Karena sekarang sudah masuk waktu maghrib, tak ada keinginan Aida untuk menunda waktunya beribadah. Dia pun berdiri lagi untuk menegakkan pilar agamanya. "Alhamdulillah, selesai sudah." Senang rasa dalam hati Aida. Namun sebelum melepaskan mukenanya, pandangannya terarah pada koper-kopernya yang masih ada di dekat pintu dan terabaikan. Satu koper terbuka salah satunya karena tadi Aida mengambil mukena dari dalam sana. "Wah kerjaan baru. Aku harus merapikan baju-bajuku." Dirinya tak sama sekali memikirkan hal lain tentang apa yang sudah terjadi beberapa saat yang lalu. Aida memilih fokus melipat mukena dan sajadahnya, lalu menggeret koper-kopernya untuk memindahkan semua isi pakaiannya juga barang-barang lainnya ke berapa tempat di dalam comfort room miliknya untuk saat ini. "Wah, mataku terlihat bengkak karena menangis." Aida meringis ketika dia memang ada di depan cermin meja rias dan melihat matanya sembab karena tangisan Aida menumpahkan banyak air mata tadi saat dirinya bersimpuh di hadapan Tuhan "Hihi, inilah Kenapa manusia kadang-kadang bodoh. Kenapa aku harus menangis dan bersedih? Toh keadaan ini lebih bagus bukan? Aku mengetahui sikap aslinya lebih dulu dan aku tidak harus melanjutkan mimpi dan khayalanku terlalu jauh tentang dirinya. Tuhan memang sangat baik padaku." Aida bicara begitu tenang dan tidak lagi ada emosi berlebihan di wajahnya. Walaupun dia melihat wajahnya sedikit memar di bagian kiri pipinya, tapi sudah tidak ada lagi kemurkaan seperti tadi. Solat, curhat kepada Tuhan yang membuat dirinya merasa lebih baik. Dia bisa menarik hal-hal positif dalam dirinya bahkan saat ini ketika Aida merapikan pakaian itu, dirinya bisa bersenandung ria hingga tak terasa. "Allahu akbar Allahu akbar." Di saat Aida sudah merapikan semua barang-barangnya, saat itu tas yang masih ada handphone di dalamnya dan belum dijamah oleh Aida kembali terdengar panggilan solat itu "Ah, beresin kewajiban dulu ajalah biar tenang nggak ada utang malam ini." Kembali Aida berdiri di atas sajadahnya. Tak ada kegiatan lain yang harus dia lakukan. Jadi untuk apa dia menunda-nunda? "Tapi kenapa rasanya tenggorokanku jadi sakit ya?" Ada rasa haus di tenggorokannya karena memang Aida belum minum apapun. Sudah berjam-jam berlalu. Aida sendiri sadar kebutuhannya akan air sebagai manusia tidak bisa terabaikan. "Sampai sakit aku nelen gara-gara haus," keluh Aida di saat yang bersamaan Krukuuuuk. Dan selepas salat isya perutnya pun juga sudah berbunyi. Wajar saja karena dari pagi Aida tidak makan dan minum mulai dari saat dirias, di pesawat, di rumah Endra, bahkan di apartemen Reiko Aida belum ditawari minum atau makan. Jadi sekarang kebutuhan biologis itu seperti sudah tidak bisa ditanggulangi lagi. "Duh. Perutku laper banget juga. Tapi gimana kalau aku ketemu mereka di luar?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN