HIGH PRESSURE CONVERSATION

1756 Kata
"So sorry, Bee. I won't call out her name as long as we're both together." "Tapi kan kamu tetap menyebut namanya di luar sana bukan?" "Hmmm." Reiko membenarkan tebakan dari wanita yang kini ada dalam cangkumannya. "Menyebalkan sekali melihatmu harus menyebut namanya." "Don't think too much, Bee. Kalau aku ingin menyuruh dan memerintahnya di luar sana, ya tentu saja aku harus memanggilnya. Aku tidak tahu harus memanggilnya dengan sebutan apa lagi kalau bukan namanya." Lalu Reiko berpikir sejenak dengan senyum di bibirnya sedikit menggoda "Masa kamu ingin aku memberikannya nama panggilan seperti aku memanggilmu Bee?" "If you dare." Betul kan tidak ada salah yang dikatakan Reiko? Toh bagaimanapun itu hanya sebuah nama dan memang harus ditunjukkan pada si pemilik nama bukan? Tapi tidak dengan Brigita yang begitu emosi mendengarnya. "I am just kidding. Remember …," Reiko kembali bicara dengan menautkan matanya pada Brigita, "tapi aku kan sudah berjanji tidak akan ada yang pernah menggantikanmu di dalam hatiku apalagi wanita seperti dia. Aku sudah menjawabnya jelas di hadapannya juga." "Eh, yang tadi kau katakan. Apa benar dia tidak memiliki p******a?" Brigita jadi teringat ucapan Reiko yang membuat amarahnya mereda di hadapan Aida. Karena rasa penasarannya itulah pertanyaan tadi mencuat dari bibirnya dan sedikit melupakan emosinya dengan nama Aida yang tadi disebut oleh Reiko. "Hmmm." Anggukan kepala Reiko pun membenarkannya. "Dia punya penyakit kanker p******a. Ditemukan di stadium awal dan penyakit itu diangkat beberapa bulan yang lalu, dengan bantuan biaya dari kakekku. Dia sangat khawatir sekali anak itu mengalami masalah sama seperti kakaknya, Aisyah, yang terlambat mendapatkan pengobatan." Reiko mulai menceritakan sambil mengelus rambut Brigita "Jadi dia punya kakak yang sudah meninggal juga?" "Ya, kanker p******a juga. Sama seperti ayahnya yang juga meninggal karena kanker hati. Keluarga mereka memang memiliki gen yang terlalu buruk dan seingatku kakek juga cerita kalau neneknya meninggal dengan penyakit yang sama seperti kakaknya." "Wah, harusnya penyakit itu diketahui terlambat saja supaya dia tidak merebutmu dariku." Kekesalan di wajah Brigita kembali membuat Reiko tersenyum dan mencubit hidungnya. "Aku juga tadinya berharap begitu. Tapi kenyataannya memang sudah seperti ini. Mungkin belum takdirnya mati," Reiko lalu melanjutkan ceritanya, "dan sejak itulah kakekku mulai mengusikku untuk menikahinya dengan bumbu-bumbu rasa kasihannya juga melihat wanita itu sudah tidak lagi memiliki sesuatu yang mungkin baginya akan sulit mendapatkan pria." Ada senyum sinis dari wajah Brigita ketika mendengarnya sambil geleng-geleng kepala "Apakah kakekmu tidak berpikir kalau kamu juga pria normal dan menginginkan wanita dengan bentuk fisik yang sempurna?" "Aku juga sudah memikirkan hal itu dan aku juga menanyakan itu pada kakekku langsung." Reiko bicara sambil tangan yang tadi mengelus rambut Brigita bergerak turun hingga ke ujung rambut Brigita tepat menyentuh kancing kemeja wanita itu. "Tapi kata kakekku kesempurnaan fisik tidaklah selamanya bisa dinikmati. Hati dan sikaplah yang menjadi penentram dalam sebuah hubungan rumah tangga dan itulah yang akan membawa hubungan dua manusia bertahan sampai mereka terpisahkan oleh maut," lepas kata-kata itu terurai, kancing yang tadi disentuh oleh ujung jari Reiko itu pun kini sudah terbuka, membuat Brigita yang menyadarinya tentu saja tersenyum penuh dengan kemenangan sambil dia berbisik di telinga Reiko ... "Tapi hati tidak bisa dilihat oleh mata. Dan hati juga tidak ada yang bisa dibaca mata, siapa yang tulus dan tidak. Bukankah kenyamanan fisik seseorang saat mereka berduaan juga menjadi salah satu faktor kenapa pernikahan itu bisa tetap bertahan?" Brigita menggerakkan tangannya juga memainkan ujung jarinya, berjalan turun menelusuri kancing baju Reiko hingga akhirnya berhenti setelah sampai pada satu tujuan di mana jari itu bisa merasakan sesuatu yang menegang. Pria yang ditatapnya pun juga tersenyum sambil membuka satu buah kancing lagi di bawah kancing yang tadi sudah terbuka. "Dan tidak ada yang bisa memberikan kenyamanan kecuali menyentuhmu, Bee." Saling memuji dan saling ketergantungan antara satu sama lain menjadi pilihan yang baik kiranya saat ini bagi keduanya sebelum mereka memulai bergelut dalam buaian romansa yang memang sudah mereka jaga keberlangsungannya sejak bertahun silam. "Fuuh, ini selalu besar dan menggairahkan saat aku meremasnya, Bee. It's thrill me to be your slave." "I love how the way you will devotion me, ehmm ... There's nothing better than this." "Then are you ready for hooked up, Bee?" "Anytime you want, devour me bite by bite, makes me burn from your touch and fly me up above with the sparkling feeling, my slave. I need to be drunk of satisfaction tonight." "I am following your order, my beloved queen." LONG EVENING ACTIVITIES STARTED. Satu sama lain sudah mengerti bagaimana cara menjaga mood pasangannya. Mulai dari bathtub chat, hingga berbagai sentuhan dan pujian yang menghanyutkan saat mengapresiasi bentuk fisik pasangannya sebagai provokator seducing activities, menarik keduanya untuk meningkatkan mood mereka menyatukan diri. "Sssh, It's free me from the suck of this world." "And you'll feel more and more sparkling for another touch, Bee." Melupakan semua rasa lelah dan gelisah yang dari tadi menghantui keduanya. Semua pekerjaan Brigita yang cukup padat sebagai seorang desain interior yang cukup profesional membuatnya banyak sekali diminati jasanya. Pekerjaannya sudah sangat sibuk sekali membuat dirinya kadang tidak punya waktu untuk mengurus dirinya sendiri. Ditambah lagi dengan permasalahan percintaannya dengan Rieko yang banyak mendapatkan penolakan dari Adiwijaya sejak bertahun-tahun lalu hingga ujungnya seperti ini juga membuat stres tambahan untuknya. Tentu saja permainan seperti ini membuat dirinya lebih relax 'Dia milikku dan selamanya akan jadi milikku. Bagaimanapun kamu, kakek tua, akan mati sebentar lagi. Tidak ada yang bisa menghentikanku untuk mendapatkannya dan saat itulah semuanya akan berbeda nanti. Karena dia benar-benar akan menjadi budakku.' Entahlah kenapa Brigita berpikir begitu di dalam hatinya saat mereka sedang bergumul di bawah selimut setelah tadi menghabiskan banyak sekali permainan di dalam bathtub. Dan kini tubuh mereka yang basah juga tambah basah dengan peluh. "Uh, kamu benar-benar memuaskan, my slave!" seru Brigita ketika Reiko sudah melepaskan sesuatu juga dan masih terengah-engah. Sebuah kepuasan yang membuat pening kepalanya pun berkurang "Akan lebih puas lagi nanti di ronde kedua." "Hihi, harusnya kita tidak perlu pakai pengaman begini. Aku sudah lama ingin sekali anak darimu, sayang. Dan aku rasa seharusnya kita melakukan itu beberapa tahun lalu sehingga kakekmu tidak akan mungkin bisa memisahkan kita lagi dengan keberadaan cicitnya." "Tapi aku tipikal orang yang tidak suka dengan anak yang lahir di luar pernikahan Brigita." Ini satu hal yang membuat Brigita benar-benar sering sekali kesal pada Reiko. Sudah lama dia menginginkan anak. Bukankah itu adalah satu-satunya cara untuk memaksa orang tua melakukan apa yang diinginkan oleh anaknya kalau mereka sudah memiliki cucu? "Semua permasalahan ini tidak akan terjadi kalau kamu mau melakukan apa yang aku minta." Sehingga Brigita kembali sedikit emosi karena Reiko masih juga tidak menginginkan anak bahkan saat ini mereka melakukannya masih dengan pengaman. "Bee, anak di luar nikah itu akan sulit sekali untuk masalah administrasinya. Lagi pula aku tidak terlalu suka dengan yang ribet dan cacat begitu. Aku suka kesempurnaan dan bersih soal urusan anak." "Kamu ini." "Dengar dulu, Bee, aku benar-benar ingin sekali kamu melahirkan anak setelah kita sudah benar-benar menikah dan anak itu lahir di dalam pernikahan kita yang sah. Entahlah, mungkin aku sedikit old school soal ini." Jelas saja Brigita jadi cemberut dengan alasan tak berdasar menurutnya. "Dengar. Aku sudah mendengar kamu bicara seperti itu sejak bertahun-tahun lalu," cicit Brigita tak sabaran. "Usiaku sudah 27 tahun. Dan usiamu sudah 31 tahun. Seharusnya kalau perhitunganku benar dengan tanggal perpisahanmu dengannya, maka aku baru akan punya anak di usia 32 tahun, Reiko. Apa kamu pikir itu cukup muda bagiku untuk memiliki anak di usia kepala tiga?" Lagi-lagi high pressure conversation starting yang membuat kepala Reiko berdenyut "Bee kita sudah sama-sama lelah, ayolah. Jangan membuat satu tekanan baru." Reiko mengangkat tubuhnya yang menindih Brigita. Dia memilih untuk duduk di sampingnya dan menarik wanita itu dalam dekapannya "Lepaskan aku." Brigita menolak. Tapi Reiko adalah orang yang sulit ditolak. Lagi pula tubuhnya juga besar dengan dua tangannya sudah pasti dia berhasil mengangkat wanita itu menuju kamar mandi. "Biar aku bersihkan dulu dirimu." Reiko tak mau banyak menambah keributan, dia mencoba mengalihkan kesibukan. "Setelah ini mau makan apa? aku ambilkan makanan ya? Buah? atau mungkin sedikit makanan berat jika tidak mengganggu dietmu?" "Sudahlah, jangan mengalihkan pembicaraan seperti ini. Aku malas." "Bee, kita baru bertemu dan kita baru menikmati sesuatu dan tertawa bersama lalu merasa puas bersama, masa kita harus berantem lagi sih?" bujuk Reiko sambil dia memakaikan bathrobe di tubuh Brigita "Ya habis. Kalau bukan karena kamu mengulur-ngulur waktu sekarang juga kita sudah bersama dalam ikatan pernikahan." "Percayalah padaku, Bee. Lebih baik kita menunggu sampai kita benar-benar menjadi suami istri dan kita baru planning punya anak. Ini tidak akan menjadi momok buruk bagi buah hati kita dan dia tahu kalau dia dilahirkan setelah pernikahan." "Apa sih arti pentingnya pernikahan itu? Banyak orang menikah dan sudah punya anak duluan. Ini di tahun berapa Reiko? 2023." "Aku tahu, Bee." Rasanya Reiko mulai menyadari kalau perdebatan ini tidak akan selesai cepat. Makanya "Begini saja, Bee. Aku akan berusaha supaya tidak sampai lima tahun. Aku akan cari cara supaya semua ini selesai dalam waktu beberapa tahun atau mungkin hanya setahun kurang?" "Kamu yakin?" Brigita sedikit melunak ketika dia mendengar ucapan Reiko dan pria itu pun tersenyum dengan anggukan kepalanya yang terlihat jelas, sangat yakin. "Kasih aku waktu dan kasih aku cara untuk berpikir dan jangan tekan aku. Biar aku membuatnya menjadi nyata secepatnya. Kita akan segera melangsungkan pernikahan kita dan aku akan menggelar sebuah pesta pernikahan terbesar di negara ini, just for you my queen." Senyum pun muncul dari bibir Brigita dan dia pun mengangguk tak terlalu cepat dan cukup anggun, masih menunjukkan gayanya sebagai seorang wanita yang berkelas. 'Fuuh, aku belum tahu bagaimana bisa membuat perjanjian ini berakhir dalam waktu setahun kurang. Tapi aku sudah berjanji pada Bee dan lihatlah nanti bagaimana aku menemukan jalannya. Semoga saja ini bisa selesai secepatnya dan aku tidak mengecewakannya menunggu terlalu lama lagi,' bisik hati Reiko yang sebenarnya belum punya ide apapun untuk membuat semua yang dikatakannya terwujud. Yang penting Brigita sudah tenang dulu saja itu sudah bagus untuknya. "I'm waiting for you promise, keep it on your mind." "I cross my heart for you to make it soon." Baiklah dan saat ini sepertinya Brigita memang benar-benar melunak dan dia pun memberikan sebuah senyuman yang melegakan hati Reiko. "Aku ambilkan cemilan di bawah ya, Bee?" "Hmm, and it's my cheat day." "Then we'll have something to full your belly." Mmuuaah. Manis kembali. Sebuah kecupan pun diberikan oleh Brigita saat pria itu membawanya ke kamar dan membiarkannya beristirahat di tempat tidur. Masih dengan bathrobe yang digunakan oleh Reiko, pria itu menuruni tangga menuju ke lantai dasar tempat dapur berada. Namun Reiko tak langsung melangkah masuk. Dia diam sambil mengurutkan dahinya 'Apa yang dilakukan gadis desa itu? Mau membakar apartemenku, kah?'
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN