Gadis Sok Akrab

1596 Kata
Setelah mengantarkan Sella di sekolahnya, pagi ini, Reyhan memarkirkan mobilnya tepat di depan gerbang kediaman keluarga Damanik. Alan sedang menjalani hukuman, makanya tidak diperbolehkan membawa mobil untuk sementara waktu. Setelah tiba di mulut rumah, ia malah dibuat istigfar dengan pemandangan konyol yang langsung menyambut. Alan masih tampak sibuk mengejar Gabbie ke sana kemari, hanya dengan celana pendek setengah paha yang membalut tubuh bagian bawahnya. Astaga, Pria i- “YA, ALLAH?! YA, GABBIE?! YA, RAMBUT INDOMIEEEE?! KEMBALIKAN CELANA ABANG, GABBIE!” Alan berteriak sembari terus berusaha menggapai Gabbie. “Tidak akan! Siapa suruh menggunduli kepala Naena?! Siapa suruh mencorat-coreti pantatnya?! Abang Alan harus dihukum!” Gabbie terus berlari dengan celana abu-abu Alan yang ia kalungkan di leher. “ASTAGA, MIE KERITING INI! KEMBALIKAN CELANA ABANG, GABBIE! ABANG HARUS KE SEKOLAH, NIH!” teriak Alan lagi. Kali ini, emosinya sudah tampak hendak meledak. Ia bahkan sudah berniat dalam hati untuk membuat gundul kepala Gabbie seperti boneka Naena-nya kemarin malam. “GABBIE TIDAK PEDULI! POKOKNYA GABBIE MAU BONEKA NAENA BARU! HIKS, HIKS!” Reyhan yang masih terpaku di pintu rumah hanya bisa membuang napas berat tatkala menyaksikan Gabbie berguling-guling kesal di lantai. Dua manusia itu benar-benar tidak pernah bisa akur, ya? “GABBIE MAU BONEKA BARU! POKOKNYA GABBIE MAU NAENA LAG-" “MBWAHAHAHAHAHHAHAH!” Alan ikut menjatuhkan diri ke lantai, kemudian melanjutkan tawanya hingga sudah hampir terdengar memenuhi ruangan. “Abang Sinting! GABBIE BENCI ABANG ALAN! ABANG ALAN SINTING, HIKS! MAMIIIII?! PAPIIII?! GABBIE MAU ABANG ALAN DIBUNUH SAJ-" Sebelum mami dan papinya datang, Alan buru-buru menarik Gabbie dalam gendongannya. “Uuuuucup, cup, cup! Adik Abang yang rambutnya keriting seperti mie Indomie, jangan menangis lagi, ya?” bujuknya berusaha lembut, sembari Gabbie yang terus ia ayun di antara lengan besarnya. “Tapi Abang Alan menyebalkan! Gabbie tidak suka, hiks, hiks,” balas Gabbie semakin terisak-isak. “Iya, Sayang, iya. Abang Alan memang menyebalkan, kok. Tapi ... Gabbie memang tidak boleh naena dulu, ya? Gabbie masih kecil. Nanti, setelah Gabbie sudah besar dan punya pac-" “Otakmu di mana, sih, Bodoh?! Kita sudah hampir terlambat!” potong Reyhan dari belakang. Kini, Pria itu sudah tampak terduduk di sofa tanpa pernah mengucapkan salam sedikit pun. Sementara itu, Alan juga menoleh. “Bodoh dari mananya, Bodoh?! Kau lihat, kan? Rambut Keriting in-" “Alan ..., Alan. Bagaimana Adikmu tidak mengamuk jika kau terus saja menjahilinya?” Terdengar suara berat khas Pria paruh baya. Setelah saling menoleh, ketiganya mendapati sosok Freddy. Pria itu semakin tampak berwibawa dengan jas khusus yang membalut tubuhnya. “Gabbie-nya Papi? Ayo, sini. Gabbie mau ikut ke kantor saja, tidak?” Alan mengerucutkan bibir tatkala Freddy menarik Gabbie dari pelukannya. “I-iya, Papi, hiks! G-Gabbie mau ...!” “Tapi Gabbie mandi dulu, ya?” Freddy melirik Reyhan sekilas. “Rey? Om tinggal dulu, ya. Semoga kau tidak bosan menunggu,” lanjutnya. Sementara Reyhan membalas ucapan Freddy, Alan sendiri malah meloncat-loncat kesal tak karuan. Demi apa pun, ia sungguh tidak tahu sudah berbuat dosa sebesar apa di masa lalu sampai-sampai harus punya adik semenyebalkan Gabbie. Bukan hanya pagi ini, tapi terkahir kali saja, bocah itu juga memperlihatkan majalah dewasa kesukaannya pada Freddy, hingga jadilah dirinya dihukum tidak boleh membawa mobil selama beberapa hari ke depan. “Dasar Gabbie Indomie!” teriaknya kesal, sembari celananya yang langsung ia kenakan secara asal. Selanjutnya, ia dan Reyhan segera bergegas ke sekolah. “Di mana Johan?” Alan membuka percakapan. “Mungkin sudah tiba duluan,” balas Reyhan tanpa menoleh. Tak ada lagi percakapan yang terjadi antara mereka, bahkan hingga Reyhan mulai memarkirkan mobilnya di pelataran sekolah. Setelah saling bergegas turun, kedua Pria itu lalu berjalan beriringan menuju rooftop sekolah, seperti biasa. Tidak selalunya juga, tapi tempat itu memang tempat pelarian mereka saat pelajaran-pelajaran membosankan akan mengisi jam di kelas. Johan sudah tampak terduduk di tepi rooftop dengan posisi membelakangi. Pria itu sibuk menghisap gelungan tembakau di jemarinya, kemudian menghembuskan dan melakukan hal yang sama lagi secara berulang-ulang. “Apa Hale marah padamu?” tanya Reyhan sembari ikut duduk dan menjuntaikan kaki. Johan mengangguk tanpa menoleh. “Hm. Dia bahkan tak mau memberiku kesempatan untuk menjelaskan,” balasnya tak bersemangat. “Yang sabar, ya, Johan. Aku turut bersedih padamu,” timbrung Alan mengejek seraya tangannya mengusap pelan kepala Johan berkali-kali. Tak seperti biasa, kini Johan tampak betah terdiam dan tak menanggapi Alan. Reyhan sendiri tak niat mengejek dulu. Kondisi kegalauan hati Johan tampaknya memang sedang serius, jadi sudah jelas jika ia menimbrungi ejekan, itu hanya akan memperparah keadaan. “Hidupku benar-benar berubah rumit semenjak merasakan jatuh cinta ...,” lirih Johan dengan tatapannya yang lurus sendu. “Mbwuaha-"  Plak!  Alan meringis seraya mengusap dahinya pelan. “Kau kenapa, sih, b******k?!” tanyanya menatap Reyhan kesal. “Kau yang kenapa tertawa? Itu sama sekali tidak lucu!” balas Reyhan berbalik menatap kesal kemudian berpindah melirik Johan lagi. “Bagaimana jika kita masuk belajar dulu hari ini? Kurasa mood-mu sedang sangat buruk,” lanjutnya lagi. Johan menoleh kemudian mengangguk. Selanjutnya, ketiga Pria itu lalu mulai saling beranjak berdiri kemudian berlalu meninggalkan lantai rooftop. ▪▪▪ “Tidak. Kalian duluan saja. Aku akan menemui Hale dulu.” Setelah mendengar penuturan Johan, Alan dan Reyhan mengangguk bersamaan kemudian berlalu hingga tiba di parkiran. “Kita jemput Sella dulu, ya?” ujar Reyhan sembari mulai melajukan mobilnya. Alan menoleh. “Iya, Sayangku.” “Ngomong-ngomong ... haruskah aku mengatakan pada Johan agar ia berhenti mengejar Hale saja? Menurutku ... dia tidak terlalu pantas dikejar,” lanjutnya. “Apa?” Reyhan menoleh dengan kening berkerut. “Johan tidak pantas bersedih gara-gara perempuan. Hale terlalu bersikap seenaknya,” jelas Alan lagi dengan raut tak suka. Reyhan mendengus. “Kurasa tidak perlu. Kita sebaiknya mendukung saja,” balasnya. Tapi kalau harus jujur ..., Reyhan sebenarnya juga risih melihat Johan bersikap begitu pada Halsey. Terlalu mengemis, dan itu sungguh terasa buruk dan tidak pantas di matanya. Memang, berjuang sudah merupakan tugas pria, tapi tidak untuk gadis-gadis yang tidak tahu bagaimana caranya menghargai sebuah usaha. Setelah beberapa lama, Reyhan mulai menepikan mobilnya tepat di depan gerbang sekolah Sella. Belum ada tanda-tanda akan kehadiran gadis itu, makanya, mereka memutuskan untuk menunggu dulu. “Aku akan merokok di luar,” ujar Alan sembari bergegas turun dari mobil. Reyhan mengangguk saja. Setelah kembali mengedarkan pandangannya ke sekitar, ia memutuskan untuk menelepon Sella. Setidaknya untuk memastikan jika gadis itu memang belum pulang. “Halo, Kak?” “Kau di mana? Kakak sudah di depan.” “Eum ... Kakak pulang saja. Aku masih harus belajar di rumah Julian dulu setelah ini.” “Apa? Julian siapa?” “Temanku.” “Tidak. Kakak tidak izinkan. Cepat, kemari saja.” “Ish, Kak Rey? Ini untuk persiapan olimpiade besok, tahu! Lagi pula aku sudah izin dengan bunda, kok.” “Pokoknya tid-" “Kak Rey? Jangan berlebihan, dong ...!” Reyhan berdecak beberapa saat sebelum akhirnya, “Hm. Tapi jangan pulang terlalu sore, atau Kakak akan tidak akan memberi izin untuk lain kali.” “Iya, Kak Reyhan-ku. Sudah dulu, ya. Aku menyayangimu.” Setelah memutuskan sambungan telepon, Reyhan kembali mengedarkan pandangannya ke sekitar. Matanya memicing lama. Bahkan, beberapa detik setelah itu, ia langsung bergegas keluar dari mobil dan menyusul Alan yang tampak asik berbicara dengan seorang Gadis berseragam SMP. “Iya, Kak. Tidak terlalu jauh dari sini, kok. Mungkin sekitar-" “Alan? Ayo, kita pulang sekarang.” Reyhan menginterupsi. Alan menoleh. “Apa? Memangnya Gisel-" “KAK REREEYYYYY?! Ya, ampun! Kita bertemu lagi!” Atha langsung berteriak antusias sembari menarik dan mencium punggung tangan Reyhan tanpa permisi. Brugh! “Jangan lancang. Aku tidak suka manusia sok akrab,” ujar Reyhan datar, sembari langsung berbalik tanpa rasa bersalah. Sementara itu, Alan hanya bisa melongo menyaksikan Atha sudah terduduk di aspal jalan. Gadis itu tampak meringis kesakitan meski belum sampai memecahkan tangis. “DASAR REYHAN b******k! Apa sebenarnya maksudmu?!” teriaknya penuh amarah, sembari langsung berjongkok dan membantu Atha bangkit. “Kau baik-baik saja, kan? Apa perlu Kakak membawamu ke rumah sak-“ “Itu terlalu berlebihan, Kak. Aku baik-baik saja, kok. Ini hanya luka kecil,” potong Atha cepat, sembari deretan giginya yang langsung tampak. Raut wajah Alan sudah didominasi rasa bersalah. Meski belum sampai sesejati Johan, tetap saja, ia merasa perbuatan Reyhan barusan itu berlebihan. Bagaimana bisa s****n itu langsung mendorong saja tanpa sebuah alasan yang jelas? Sok akrab?! Dasar kunyuk! “Tidak! Jangan menyalahkan kak Rerey. Ini ... ini memang salahku, kok. Aku hanya terlalu senang bisa bertemu dengannya lagi, makanya ....” “Jadi ... jadi kaulah Gadis yang dimaksud Rey s****n itu? Gadis yang bisa membaca pikiran?!” Alan memotong dengan nada tak percaya. Atha terkekeh. “Hm. Kami bertemu di pertamina hari-" “KAU MAU PULANG, TIDAK, SIH, ALAN s****n?! HUH?! MAU KUTINGGAL SAJA, YA?!” Dengan perasaan geram yang semakin membuncah, Alan menoleh ke arah Reyhan, kemudian berpindah pada Atha lagi. “Eum ... kau serius tidak apa-apa, kan?” tanyanya lagi. “Iya, Kak. Pergilah,” balas Atha juga. Setelah beberapa saat saling berbagi senyum, Alan lalu berjalan menjauh. “Kak Alan?!” Alan berbalik cepat. “Jika kita bertemu lagi, tolong jangan sombong, ya! Aku sangat senang bisa bertemu denganmu! Kau orang yang baik!” Dengan senyum senang sekaligus geli, Alan mengangkat kedua ibu jarinya. Gadis itu bersikap sangat baik. Ia bahkan langsung tersentuh meski pertemuan mereka masih yang pertama kali. “Kau kenapa, sih?! Huh?! Bagaimana jika gadis tadi itu terjatuh lebih keras?!” Alan langsung meluapkan amarahnya setelah mendaratkan b****g di jok. Sedangkan Reyhan, Pria itu tak memberi tanggapan, dan lebih memilih melajukan mobilnya saja. Eum ... jangankan tanggapan. Menoleh saja tidak sama sekali. ❀❀❀
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN