“Ini, sih, bukan jalan-jalan namanya. Tapi kerja,” keluh Puspa saat tahu-tahu Gahar membawa motor barunya belok ke sebuah supermarket, salah satu supermarket tertua yang ada di kawasan Denpasar yang telah berdiri sebelum Gunamart ada dan masih eksis hingga saat ini.
Gahar melirik Puspa sekilas. “Yang bilang ngajak lo jalan-jalan juga siapa? Gue cuma bilang ada yang mesti kita lakukan.” Balasnya, lalu mulai melangkah menuju pintu masuk supermarket tersebut.
Puspa mendesah dan mengikuti langkah lelaki itu. "Ini kan hari liburku. Tapi tujuan kita ke sini masih berhubungan dengan pekerjaan."
Gahar menoleh pada Puspa sekilas. "Kita teman, kan? Anggap aja lo sedang bantuin teman."
"Tahu gitu aku nggak mau jadi temanmu.”
“Siapa yang semalam bilang akan bantuin aku selama itu demi kemajuan Gunamart?” Gahar mengingatkan.
Puspa mengerucutkan bibir. “Emang kita di sini mau ngapain, sih?” Sebetulnya, ia tidak merasa dikerjai juga toh sejak awal ia memang tidak berpikir Gahar mengajak pergi dalam rangka bersenang-senang. Hanya saja, Puspa tidak menyangka jika itu masih berhubungan dengan pekerjaan.
“Survey,” jawab Gahar. “Sebelum perang, kita harus tahu siapa lawannya. Senjata apa yang mereka punya, apa yang membuat mereka unggul, dan cari tahu adakah celah yang bisa kita manfaatkan untuk menyerang mereka.”
“Pada intinya. Kita harus lihat apa kelebihan dan kekurangan mereka. Iya, kan?” Puspa merangkum dengan kalimat lebih singkat dan mudah dicerna.
“Pintar,” puji Gahar. “Lihat-lihat juga apa yang menjadi pembeda tempat ini dengan supermarket lain. Selain sebaai pelopor pasar modern, tempat ini pasti punya sesuatu yang bisa membuat mereka tetap eksis padahal sudah 35 tahun berdiri.”
Puspa mengangguk mengerti. “Jadi, pura-puranya kita ini customer gitu, kan?” tanya Puspa memastikan dan telah punya bayangan apa yang harus dilakukannya di dalam sana.
“Iya. Lakukan senatural mungkin.”
“Nggak sulit,” cetus Puspa, merogoh tasnya untuk mengeluarkan kaca mata hitam dan memakainya.
Aksinya itu sempat membuat Gahar menatapnya terheran-heran lantaran begitu kaca mata hitam itu terpasang, mimik wajah Puspa berubah angkuh. Seharusnya dia jadi aktris saja, bukan jadi customer service di Gunamart. “Lo ngapain?”
“Biasanya customer kayak gini, kan?” Dengan kaca mata yang bertengger di pangkal hidungnya, Puspa melenggangkan kaki memasuki salah satu supermarket terbesar di Bali. Ia benar-benar menghayati perannya sebagai customer sombong. Sebenarnya, sombong itu idenya sendiri, ia ingin tahu saja bagaimana rasanya menjadi raja cuma dengan pura-pura menjadi pembeli.
Suasana berbeda langsung menyapa mereka ketika memasuki pintu utama supermarket. Seorang petugas security yang berjaga di dekat pintu menyapa mereka dengan senyum ramah, tak sepeti kebanyakan petugas keamanan yang sengaja memasang wajah sangar sepanjang waktu agar ditakuti.
Saat Puspa hendak menarik satu troli, Gahar tiba-tiba menghentikannya dan mengarahkan untuk mengambil keranjang saja. Puspa sontak saja melotot protes. "Orang kaya belajanya pakai troli."
Gahar memutar bola mata malas. "Kita di sini nggak belanja."
"Ck, payah," decak Puspa sebal, dramanya dikacaukan. Ia melenggang masuk tanpa membawa apa-apa, sehingga Gahar lah yang mengambil keranjang belanja tersebut sebelum menyusul Puspa.
Mereka berkeliling semua area. Jika dilihat dari bangunan, interior, serta jenis rak pajang yang digunakan, apa yang ada di Gunamart lebih modern dan bagus secara estetik. Namun stok barang di sini sangat lengkap, mulai dari produk-produk groceries hingga produk bahan makanan segar. Ditambah lagi tersebar kartu penanda diskon yang membuat siapapun yang melihat pasti tergoda beli.
"Wah, ramai banget," decak Puspa kagum. "Padahal ini masih setengah siang dan hari kerja pula."
"Jangan norak kayak orang kampung baru lihat kota." Suara itu lewat begitu saja bersama dengan lewatnya Gahar di sebelahnya, membuat Puspa mencibikkan bibir sebal.
Kendati Gahar telah memperingatkan agar Puspa tidak bersikap norak, Puspa malah tertantang untuk melakukannya hanya untuk mengerjai Gahar, agar dia malu. Puspa mengeluarkan ponselnya dan minta seorang karyawan untuk mengambil fotonya dengan background jejeran buah-buahan.
Gahar yang melihat itu hanya mampu memajam menahan kesal, orang ampungan mana yang masuk supermarket saja sampai merasa perlu diabadikan. Gahar masih berdiri di tempatnya, sampai Puspa yang lari-lari kecil menghampirinya usai mengucapkan terima kasih dan tampak puas dengan foto yang baru diambil itu.
"Lemonnya segar-segar. Lihat, deh, kelihatan bagus banget di foto." Puspa mendekatkan layar ponselnya di sorot pandangan Gahar, seolah-olah lelaki itu tertarik dengan apa yang ditunjukannya.
"Bisa kita keliling dengan santai?" tanya Gahar bersabar. Salahnya karena mengajak Puspa dan bukannya pergi sendiri saja. "Aku nggak mau orang lain memperhatikan kita karena ulah norak kamu."
"Kenapa? Kita kan cuma mengamati, bukan survey kayak wawancara atau nyebar quesioner," balas Puspa polos, lalu sedikit berjinjit mendekatkan bibirnya ke telinga Gahar. "Nggak akan ada yang tahu kalau kita ini dari Gunamart."
"Bukan itu. Kalau kita diawasi, kan malu kalau keluar nggak beli apa-apa."
"Halah, biasa aja." Puspa mengibaskan tangan enteng. "Buat sebagian orang, ke supermarket memang hiburan, kok. Nggak serta merta cuma tempat belanja aja."
Seolah baru menyadari sesuatu, Puspa menepuk lengan Gahar denang heboh seakan ada bola lampu pijar menyala tepat di atas kepalanya. "Bisa, tuh. Itu jadi peluang. Kita bisa bikin sesuatu yang menarik biar banyak yang datang. Kayak bikin photo booth yang instagramable, mungkin?"
"Yang harus kita pikirkan itu, gimana cara mengundang orang buat belanja. Bukan cuma mampir aja. Cuma nambah-nambahin kerjaan cleaning service doang kalau banyak orang tapi nggak ada yang belanja."
"Kan tujuannya biar orang kenal Gunamart dulu."
"Kita harus menetapkan siapa target pasar kita, Puspa. Idemu nggak buruk, memang kita harus bikin sesuatu biar orang kenal dan datang. Sayangnya, target kita bukan ABG-ABG. Pikirkan sesuatu yang kiranya menarik buat kalangan ibu-ibu," jelas Gahar dengan sabar.
"Iya juga, sih ...," gumam Puspa, merasa ucapan Gahar ada benarnya.
Gahar mulai menggerakkan kakinya lagi. "Ayo keluar, masih ada lagi supermarket yang harus kita datangi."
***
Hingga jam tiga siang, total ada 3 supermarket yang telah merkeka putari. Apakah sudah semua? Tentu belum. Kata Gahar, masih ada satu tempat lagi yang akan mereka tuju. Supermarket yang terakhir ini berada di dalam bangunan mall yang baru selesai dibangun tahun lalu, dan kini mall itu sendiri tengah sangat diminati sebagai destiasi tempat jalan-jalan dalam kota. Sementara supermarketnya sendiri yang berada di lantai dasar mall juga salah satu saingan Gunamart lantaran sama-sama telah memiliki banyak cabang yang tersebar di kota-kota di Indonesia.
Jangankan ke satu tempat lagi, sebetulnya Puspa tidak masalah meski masih ada 10 tempat yang harus mereka datangi. Hanya saja, Gahar terlalu jahat dengan tidak menyinggung sama sekali soal makan siang. Dirinya mungkin memang belum lapar lantaran jam 9 tadi baru makan, tapi seharusnya dia juga memikirkan Puspa.
"Pak, apa nggak sebaiknya kita makan dulu?" Puspa mengajukan diri bertanya, putus asa mau menunggu kepekaan Gahar.
"Lo udah lapar lagi?"
"Udah lapar lagi?" Puspa memekik seolah ingin meyakinkan pendengarannya sekali lagi.
Tanpa merasa berdosa, Gahar melirik jam di pergelangan tangannya dan kembali berkata, "baru jam tiga."
"Baru jam tiga?" pekikan Puspa melengking satu tingkat. "Hei, sekarang tuh sudah jam tiga, kita udah keliling-keliling tiga supermarket dan panas-panasan di jalan, sementara terakhir aku makan itu jam tujuh pagi. Bantuin teman sih bantuin, tapi nggak gini juga dong. Aku tuh capek," protes Puspa, tak mau ditindas seenaknya. Gahar memang bosnya, tapi di luar tempat kerja, Gahar sendiri yang menyuruh Puspa menganggapnya teman.
“Kelarin ini dulu, deh. Setelah itu kita bisa langsung pulang.”
“Mending aku pulang sekarang,” degus Puspa, membalikkan badan.
Di balik tubuh Puspa, Gaharterkekeh tanpa suara lalu berlari kecil menyusul Puspa. Dengan santai, lelaki itu merangkul leher Puspa, mengajaknya kembali membalikkan badan ke arah pintu masuk mall. "Astaga, iya-iya. Lo berisik kalau lagi lapar. Persis kayak bebek."