Gahar tidak berlebihan saat menyamakan Puspa dengan bebek yang berisik kalau belum diberi makan. Lihat saja, setelah diberi makan, Puspa langsung diam.
"Ah ... kenyangnya," desah gadis itu dengan punggung di sandarkan di sandaran kursi kayu, di outlet restoran di dalam mall ini.
"Lo cewek tapi makan nggak ada jaim-jaimnya," cibir Gahar atas cara makan Puspa yang terbilang cepat, sebab mereka menyelesaikan makan nyari bersamaan.
"Ngapain aku jaim di depan kamu?" balas Puspa enteng.
Gahar menipiskan bibir, menahan perkataannya agar tidak tercetus. Ia akan dianggap terlalu percaya diri jika bilang biasanya wanita-wanita akan berusaha memberi kesan khusus saat di depannya, apalagi saat ini mereka tengah makan semeja dalam posisi saling berhadap-hadapan. Ayolah, biarpun saat ini Gahar miskin dan diremehkan banyak orang. Namanya masih tercantum dalam kartu keluarga Gunawan, serta di daftar calon pewaris Guna Grup. Bahkan tanpa semua embel-embel itu pun, kebanyakan wanita akan salah tingkah jika berhadapan dengan laki-laki berparas seperti Gahar.
Sebetulnya tidak ada masalah dengan cara makan Puspa. Gahar malah suka karena Puspa tipe orang yang makan tanpa banyak bicara atau seperti kebanyakan perempuan yang sengaja berlama-lama. Atau yang sebentar-sebentar minum dan ujung-ujungnya makanan tidak habis karena sudah telanjur kekenyangan tapi berlagak porsinya kebanyakan. Entah karena kebiasaan dia memang begitu atau hanya kebetulan karena dia sedang sangat kelaparan.
"Kita akan pergi sekarang?" tanya Puspa, melihat wadah Gahar sendiri sudah tidak tersisa makanan.
"Sebentar," jawah Gahar, masih sibuk dengan dirinya sendiri. Ia tengah merapilan catatan-catatan yang dibuatnya selama kunjungan di tiga tempat tadi. "Pus, selama ini kita nggak pernah ngadain event atau promosi, ya?" tanyanya, tanpa melepas fokus pada deretan huruf di layar.
"Dulu waktu masih ada Bu Dina, sih, program-program kayak gitu masih jalan," Puspa menyebut nama managernya terdahulu. "Event kayak mewarnai buat anak-anak TK, dan nyebarin katalog promo ke perumahan-perumahan kayak Alfamart dan yang lain gitu. Tapi sejak Bu Dina nggak ada, mulai jarang. Terus makin ke sini, promosi cuma mengandalkan sosmed karena nggak ada staf buat tugas keluar."
"Maksudmu sosmed Istagram yang payah itu?"
"Kok payah?"
Gahar menghela napas, keluar dari aplikasi catatan dan membuka akun sosmed yang dimaksud Puspa. Melihat feed yang hampir semuanya adalah foto katalog digital nasional yang biasa dikirim oleh kantor pusat. "Ini, kalian cuma asal posting. Nggak ada konten menarik satu pun. Tiap foto yang nge-like nggak sampai 10 orang. Akunnya siapa sih, yang pegang?"
"Bu Shinta, Pak," gumam Puspa, tak bisa menampik kritikan Gahar. Jangankan orang lain, ia saja tidak tertarik untuk mengikuti akun resmi Gunamart.
"Bu Shinta?" ulang Gahar tedengar terkejut dan tak menyangka. "Kok bisa Bu Shinta? Kenapa nggak managermu yg sekarang?"
"Tadinya memang begitu—"
"Cukup jawab saja yang terjadi sekarang," sela Gahar. Mendadak atmosfer santai di antara mereka tergantikan oleh sedikit ketegangan lantaran topik yang mereka bicarakan adalah pekerjaan.
"Bu Ika nggak bisa pegang akun, pekerjaannya banyak sekali sejak rangkap mengurus kami. Makanya Bu Shinta yang pegang nggak ngerti dipilih atau menawarkan diri. Pokoknya, setahuku Bu Shinta yang pegang akunnya."
"Nggak masuk akal," decak Gahar, merasa itu tidak benar.
"Ya, gimana lagi?"
"Harusnya itu jadi tugas lo," pikir Gahar.
Puspa mengerejap. "Aku?
Gahar mengangguk sekali. "Iya, lo," tendasnya. "Akun sosmed kan sama dengen corong kita ke customer, jembatan penghubung antara kita dengan publik. Harusnya yang pegang adalah departemen yang mengurusi public relationship dan promosi. Dan di Gunamart, tugas public relationship dan promosi itu milik customer service."
"Saya tahu itu, Pak," ucap Puspa, tak sadar kata panggilannya begitu saja berganti. "Maksudnya kenapa saya? Saya ini hitungannya cuma staff biasa. Kayak yang Bapak bilang tadi, akun sosmed itu jembatan penghubung kita dengan publik, saya nggak mungkin lah mengelola akun itu."
"Lo itu bukan staff biasa, lo itu team—"
"Itu c*m—
"—leader, plus lo punya pengalaman 5 tahun kerja." Gahar sama sekali tak memberi Puspa kesempatan bicara. "Pantas aja kerjaan lo kelihatan santai sekali. Ternyata fungsi-fungsi utama nggak kalian jalankan. Kalian cuma kayak nunggu complain-an datang atau ngurus penukaran hadiah dan ngurus penitipan barang."
"Fungsi departemen kami nggak efektif karen kekurangan orang." Puspa berusaha membela diri. "Gimana bisa kami mengurus semua itu kalau tiap shift yang kerja cuma satu orang? Kerjaan kami yang Bapak bilang 'kelihatan santai sekali' itu nggak pasti, Pak. Kalau orang complain, tukar hadiah, atau nitip barang itu datangnya barengan, kami bisa sangat kewalahan. Makanya itu kami harus selalu berjaga-jaga. Dan sayangnya, selama ini yang orang lain lihat cuma bagian kami nggak ngapa-ngapainnya aja.
"Dimarahin, dimaki-maki sama customer nggak sabaran itu udah biasa. Tapi pernah nggak ada yang menyinggung waktu kami lari-lari keliling area ngecek barang, padahal aturanmya di counter nggak boleh sampai nggak ada orang. Pernah nggak ada ada yang menyinggung waktu kami harus patungan ganti barang customer yang dititipkan hilang pas kami tinggal, kebetulan waktu itu CCTV di atas rusak dan kami mohon-mohon buat segera dibenerin setelah itu. Nggak ada, Pak, nggak ada yang menyinggung semua itu. Semua orang cuma melihat enaknya aja. Oh customer service kerjaannya nyantai, bisa duduk-duduk, nggak kayak kita mesti berdiri terus." Tanpa sadar Puspa begitu emosional menceritakan sedikit pengalaman, sekaligus mengeluarkan unek-uneknya. Gadis itu lantas menghela napas, berusaha meredam emosinya sendiri. Ia lalu kembali menatap Gahar yang tengah menatapnya dengan serius. "Pada intinya, Pak, nggak ada yang santai-santai di Gunamart. Kalau Bapak mau mengkritik atau memberi tugas tambahan, tolong pikirkan situasi kami. Bukannya kami nggak mau menjalankan tugas itu, tapi perkirakan apa kami sanggup menjalankannya tanpa meninggalkan tugas utama kami yaitu pelayanan di counter."
"Oke, oke ... maaf. Nih, minum dulu." Gahar mendorong gelas minuman Puspa lebih dekat ke arah gadis itu.
Puspa membuang muka sebal, tapi ujung-ujungnya tetap meneggak minumannya sampai yang sisa sedikit itu sampai habis. "Udah, ayo lanjut. Biar bisa cepat pulang karena besok saya masih harus santai-santaian kerja," sindir Puspa, berdiri dari duduknya sambil menyangklong tas selempangnya di pundak.
"Marah?" tanya Gahar dengan posisi belum bergerak dari duduknya.
"Enggak lah. Mana berani saya marahin bos, di mana-mana bos selalu benar," dengus Puspa, sebelum melangkah duluan meninggalkan Gahar.
Gahar hanya geleng-geleng kepala pelan. Kembali ia menyadari satu hal, untuk mengenal dan mempelajari Gunamart ternyata tidak cukup hanya lewat laporan pembukuan, laporan kinerja tahunan, atau membandingkan apa realita sudah sama dengan SOP yang ada. Enam hari rupayanya belum cukup baginya untuk mengenal seperti apa Gunamart yang sesungguhnya. Rupanya masih banyak yang belum Gahar tahu.