Entah Puspa yang terlalu payah dalam menilai seseorang, atau memanh dia melihat sesuatu dalam diri Gahar yang membuatnya merasa Gahar bisa dipercaya. Jujur saja, Gahar sesaat terpaku mendengar kalimat dukungan itu. Sebelumnya, selain Prisil, tidak pernah ada orang yang mengatakan itu dengan sorot penuh keyakinan.
"Lo percaya gue bisa melakukan itu?" tanya Gahar setelah tersadar dari keterpakuannya.
"Enggak."
Kening Gahar mengernyit dalam, menuntut penjelasan lebih.
"Aku nggak percaya kamu bisa melakukannya sendiri," lanjut Puspa tenang. "Makanya, aku akan mendukung kamu. Dan aku yakin semua manager dan karyawan juga akan mendukung kalau tujuannya demi kebaikan Gunamart. Biar semua orang yang hidup di dalamnya beneran hidup, kayak yang kamu bilang barusan. Kita pasti bisa melakukannya bersama-sama."
Gahar mendecakkan lidah dan minum minumannya seteguk besar. "Kalimat yang menyentuh. Sayangnya, kenyataannya mereka nggak percaya sama gue."
"Belum," sahut Puspa. "Makanya jangan galak-galak jadi orang. Terlalu galak cuma akan bikin kamu terlihat sengaja melakukan itu demi menutupi ketidakbecusan kamu."
"Lo sangat pintar ngomong ternyata, ya."
Puspa tertawa. "Iya, banyak yang bilang begitu memang," aku Puspa seolah-olah hal itu adalah kelebihan yanh patut dibanggakan.
Gahar hanya geleng-geleng kepala tak habis pikir. Bicara selalu mudah, eksekusi dan realita tidak semanis itu. Gahar mencoba mengingat-ingat apa yang dipikirkannya saat menerima tantangan ini dengan nol pengalaman dan pengetahuan pas-pasan. Ia terbiasa menjadi 'tukang perintah' yang mana memberi perintah sendiri tidak bisa asal perintah. Tentu saja, Gahar melakukan itu demi melindungi harga dirinya di mata Priska.
Gahar mengangkat botol minumannya lagi dan baru sadar kalau isinya telah habis. Gahar mendesah panjang mentap langit, harusnya ia bisa melakukan lebih baik dari ini.
"Hoaaam." Puspa menguap sangat lebar. Tubuhnya sangat lelah, setelah melewati hari yang lumayan panjang ini.
"Masuk sana," tegur Gahar.
"Iya, emang mau masuk." Puspa menjawab sembari merenggangkan otot-otot leher. "Kamu juga sebaiknya istirahat, Teman." Puspa menepuk ringan bahu Gahar, seakan-akan lelaki itu betulan temannya. Gahar rupanya memang tidak seburuk kelihatannya atau mungkin Puspa hanya terkesan pada satu kalimat Gahar sebelumya yaitu 'biar semua yang hidup di dalamnya beneran hidup'.
Sebelumnya, Puspa telah cukup puas hanya dengan tahu Gahar punya alasan kuat mengapa harus berjuang untuk Gunamart. Lalu ditambah dengan kalimat tadi, Gahar seakan tak lagi melakukan itu demi dirinya sendiri. Ia memikirkan nasib karyawan dan mencemaskan kondisi kerja mereka sekarang. Sesuatu yang sama sekali tidak pernah Puspa bayangkan.
Puspa beranjak dari duduknya, membawa serta botol minuman yang isinya belum habis itu. Ia baru hendak membuka pintu kamar, tepat ketika tiba-tiba Gahar menyerukan namanya. Puspa pun menoleh, menunggu Gahar menyampaikan tujuanya memanggil.
"Besok kerja pagi?"
"Besok aku ambil libur."
"Bagus."
"Apanya yang bagus?" Puspa mengernyit tak mengerti ketika Gahar menganggukkan kepala sekali dengan pasti.
"Besok ikut gue. Ada yang harus kita lakukan. Selamat istrirahat," tambah Gahar dan malah dia yang masuk kamar duluan tanpa menjelaskan apa-apa lagi.
Puspa mengerejap tak percaya. "Lah, main pergi aja. Bilang dulu, besok kita mau ke mana, hei!"
***
Sejak Prisil menyanggupi akan memberinya kendaraan, Gahar msmang tidak berekspektasi ketinggian. Memangnya apa yang bisa diharapkan? Lokasi kost ini berada di dalam gang sempit yang meski bisa dilewati mobil, tapi pasti akan sangat merepotkan dan buang-buang waktu cuma untuk masuk dan keluar. Makanya saat pagi ini Surya datang membawakan satu unit sepeda motor matic yang bahkan tidak terlihat baru itu, Gahar sama sekali tak terkejut. Alasan mengapa Surya yang mengantarlan pun pasti tak terlepas dari Priska. Kedatangan kendaraan ini juga pasti masih dalam pengawasan Priska.
"Wah, motor baru," seru Puspa berlebihan saat keluar kamar dan mendapati Gahar tengah berdiri di samping motor asing.
Gahar menatal Puspa malas. "Udah siap, kan? Buruan. Kita akan sibuk hari ini."
Puspa mengerucutkan bibir sebal. "Mau ke mana, sih?" Puspa sendiri sudah siap pergi meski belum tahu ke mana Gahar akan membawanya pergi. Jam 9 tadi, Gahar mengatuk pintu kamarnya dan menyuruhnya bersiap-siap karena harus jalan pukul 10. Gahar hanya menyuruhnya memakai pakaian casual. Puspa bahkan sempat mencandai apa Gahar ingin mengajaknya jalan-jalan, yang kemudian dibalas ketus oleh lelaki itu bahwa dia tidak akan mengajak Puspa kalau mau jalan-jalan.
Puspa menghampiri Gahar sambil menenteng helmnya,nusai mengunci pintu kamar. "Langsung jalan sekarang?"
Gahar melirik jam tangan yang melingkari pergelangan tangannya, kemudian menjawab, "kita cari sarapan dulu."
"Aku udah makan."
"Gue belum."
"Ya kan bisa makan dulu sebelum jalan."
"Lo nggak ngerti efisiensi waktu, ya?"
Puspa mengembuskan napas, belum juga jalan tapi kesabarannya telah diuji.
***
Puspa melirik sekitar dengan aneh. Tepatnya, ia sedang berada di dalam sebuah kafe. Aroma kopi dan panggangan roti langsung tercium begitu mereka masuk tadi. Gahar langsung memesan kopi dan menu sarapannya yaitu Sandwich Croissant dengan isian salmon asap, dan semangkok salad sebagai pendamping. Sementara Puspa yang kebetulan sudah sarapan, hanya memesan minuman hanya agar tidak malu lantatan tidak pesan apa-apa.
Dengan lahap Gahar memakan makannya. Entah lapar atau kelaparan, Gahar hanya butuh kurang dari tiga menit untuk menghabiskan makanan itu dalam gigitan-gigitan besar.
"Hmm ... katanya uang ATM cuma dua jutaan, kok sarapannya di sini?"
Kunyahan Gahar seketika berhenti, mendengar pertanyaan menyebalkan Puspa. "Gue udah berhari-hari makan nasi bungkus 20 ribuan, apa salahnya di hari libur gue, gue makan makanan enak?"
"Tapi ... Nasi bungkus 20 ribu itu udah komplit, udah enak banget. Ada juga nasi jinggo lima ribuan."
Gahar mendecakkan lidah. "Jadi apa masalahnya? Gue bayar nggak minta duit lo juga lagian."
"Iya, iya, deh. Terserah." Puspa memilih diam dan tidak ikut campur lagi, memilih menyedot minumannya sendiri sambil memutar bola mata melihat-lihat interior kafe yang tentu saja bagus. Kafe-kafe semacam ini tersebar hampir di setiap sudut kota, sangat banyak sekali hingga Puspa tidak tahu apa menariknya tempat ini karena sepintas semuanya sama saja. Tadi pun Gahar belok ke sini secara asal. Bahkan saking menjamurnya bisnis serupa, kadang Puspa tidak sadar kafe yang biasa dilewatinya sudah tutup padahal ia belum sempat mampir ke sana. Barangkali itulah mengerikannya dunia bisnis. Jika tidak kuat modal, pandai mencari peluang, serta inovatif, pasti akan sulit bersaing. Hal yang kurang lebih yang dialami Gunamart sekarang di tengah makin banyaknya supermarket serta minimarket-minimarket yang istilahnya ada tiap jarak 10 meter. Perlahan Gunamart yang merupakan salah satu toko swalayan tertua di pulau ini pun ditinggalkan pelanggannya.
Gunamart benar-benar butuh gebrakan jika tidak ingin dilupakan.