Jam 8.00 WITA, matahari bersinar sudah sangat terik di atas sana. Sebagian besar orang telah memulai aktivitas mereka, kecuali seorang gadis yang masih betah di atas tempat tidurnya.
“Oke, tidur lagi,” gumam Puspa, lantas menyelipkan kembali ponselnya di balik bantal dan memejamkan matanya lagi. Sampai hari kemarin, Puspa pasti akan kalang kabut jika terbangun di jam ini lantaran shift pagi di Gunamat dimulai pukul delapan tepat, kendati toko buka masih pukul sembilan.
Pagi hari adalah jam tidur paling nikmat, apalagi jika malam sebelumnya Puspa tidak bisa tidur. Namun anehnya, hari ini Puspa sulit memejamkan mata meski semalaman ia juga sama susah tidurnya. Bagaimana Puspa bisa tidur ketika di sebuah grup chat rahasia yang dibuat dadakan oleh Pak Dodi makin malam makin ribut. Hanya manager dan level team leader yang diundang masuk ke grup tersebut. Pak Dodi mengumpulkan semua orang untuk diajak bersatu melawan store manager baru dengan cara mogok kerja besok.
Ide tersebut belum mencapai kata sepakat. Beberapa manager menyarankan agar mereka menunggu tanggapan dari pusat terkait keluhan yang telah mereka ajukan tadi, agar jangan sampai masalah internal menganggu operasional toko. Terlebih hari-hari ini telah memasuki awal bulan, tanggal biasanya pelanggan setia belanja bulanan.
Ada bagian di sudut hatinya yang mengharapkan mereka benar-benar mogok kerja agar Gahar tahu betapa pentingnya karyawan bagi perusahaan. Di atas kertas, perusahaan tersebut mungkin milik keluarganya, tapi penglolaannya tetap bergantung pada pekerja yang bagi Gahar mungkin tak lebih dari orang-orang yang bergantung hidup pada perusahannya sehingga wajar jika diperlakukan tanpa hormat.
Puspa galau sejak semalam karena ia belum yakin apakah mogok kerja adalah langkah yang bijak, ditambah lagi dengan permintaan khusus Prisil padanya untuk mempercayai Gahar dan memberinya kesempatan.
Ah, persetan dengan Prisil dan permaklumaan bahwa Gahar masih nol pengalaman. Mereka pasti pikir Gunamart dan posisi store manager itu main-main, karena kalau mereka menganggap posisi tersebut penting dan membangkitkan Gunamart adalah tujuan utama mereka, maka mereka tidak akan menempatkan Gahar pada posisi tersebut. Setahu Puspa, yang namanya belajar itu ya di sekolah. Dan yang namanya mencari pengalaman itu dimulai dari posisi terbawah.
Dengan mata masih terpejam dan kedua tangan mencengkeram selimut, memastikannya tetap menyelubungi tubuhnya, Puspa menganggukkan kepala yakin. Ya, hari ini ia tidak akan kemana-mana. Kemarin adalah hari terakhirnya kerja.
***
Di saat yang sama, tapi di kamar tepat di sebelah kamar Puspa, Gahar baru bangun dari tidurnya. Lelaki itu menguap lebar dan merenggangkan badannya yang kaku. Dua malam tidur di kasur ini, Gahar masih serasa tidur di hamparan paku. Ditambah tubuh Gahar belum terbisa dengan diterpa angin dari kipas angin, tapi kalau dimatikan tubuhnya kegerahan. Tapi kalau dinyalakan, ia menggigil kedinginan. Sungguh Gahar ingin tiga bulan ini cepatberlalu, sekaligus ragu apakah dalam kurun waktu itu target peningkatan sales dapat tercapai sehingga Gunamat dapat lepas dari ancaman penutupan.
Berambisi tapi tak punya misi. Jujur saja, ucapan Prisil tersebut tak bisa enyah dari pikirannya sejak semalam. Misi yang seperti apa? Ia rasa, ia sudah cukup tegas dan lugas memaparkan masalah dan memberi target. Itulah tugasnya sebagai seorang pimpinan, memastikan sebuah karyawan di bawahnya melakukan pekerjaan sesuai dengan jobdesk mereka.
Setelah Gahar instrospeksi diri semalaman, ia akui mungkin cara berkomunikasinya sedikit terlalu tegas sehingga memberi kesan galak. Hari ini, Gahar akan mengumpulkan. Siapa tahu mereka memiliki informasi atau solusi yang layak dipertimbangkan.
Entah keributan apa lagi yang akan Gahar hadapi hari ini, yang jelas Gahar siap dengan segala keributan itu.
***
“Aku sebenarnya lagi ngapain?” itu yang ditanyakan Puspa pada dirinya sendiri saat mendapati dirinya bangun dari tempat tidur dengan tergesa-gesa, mandi kilat, lalu ganti baju cepat. Ia tak sempat untuk sekadar menaruh handuk dengan benar berakhir menggeletakkan begitu saja handuk setengah basah tersebut di pinggir ranjang.
Setelah berpikir keras sambil nungging, miring, tengkurap, hingga balik terlentang, Puspa akhirnya putuskan untuk tetap masuk kerja. Untungnya ia tidak pernah ikut sepakat apa-apa terkait rencana mogok kerja. Selain karena tak enak hati usai permintaan tolong Prisilsecara pribadi, jauh di lubuk hati Puspa juga masih mengharapkan Gahar bisa memberi angin segar jika diberi kesempatan membuktikan.
Kepastian sikap Puspa juga tergantung bagaimana sikap Gahar hari ini. Jika nanti dia mengusirnya atau tetap tidak menunjukkan hormat terhadap karyawannya, maka Puspa putuskan bahwa hari ini akan jadi hari terakhirnya bekerja.
Dengan buru-buru Puspa membuka pintu, secara kebetulan di saat yang sama Gahar juga baru keluar dari kamarnya. Mereka saling menoleh, melihat satu sama lain.
Sesaat Puspa terpaku, lebih tepatnya menunggu karena Gahar seperti memiliki komentar. Namun ternyata lelaki itu lebih dulu mengalihkan pandangan tanpa berhata apa-apa. Hah? Begitu saja? Pikir Puspa.
“Pak, saya tetap kerja hari ini,” ujar Puspa dari depan pintu kamar kostnya. Ia tidak yakin sebenarnya perlu atau tidak bilang itu, Puspa hanya ingin dengar bagaimana tanggapan Gahar. Jika bos barunya itu kembali menyinggung soal pemecatan, maka Puspa bisa langsung ganti baju dan lanjut tiduran di kamar.
“Ngapain lapor ke saya? Saya bukan mesin absensi,” jawab Gahar, masih seketus kemarin.
Puspa mengerejapkan mata, berusaha tak terpengaruh nada bicara Gahar dan fokus ke maksud dari kalimatnya. “Tapi kan … Bapak kemarin ingin memecat saya.” Puspa mengingatkan, tentu saja telah siap dengan risikonya barangkali tadi Gahar lupa.
“Memangnya kamu nurut keputusan saya?” Gahar membalikkan pertanyaan. “Kamu bahkan memanfaatkan kedekatan kamu sama kakak saya biar saya nggak jadi pecat kamu.”
“Hah?”
Gahar berdecak malas menanggapi Puspa yang dimatanya sok lugu, sok tak tahu bahwa Gahar tidak bisa memecatnya karena Prisil melarang dan bahkan menjanjikan akan mengirim kendaraan utuk Gahar jika Gahar tetap membiarkan Puspa bekerja. Gahar langsung setuju, ia ingin lihat sebenarnya sebaik apa Puspa dalam bekerja hingga Bu Ayu dan Prisil begitu membelanya.
“Tunggu, Pak. Bapak kayaknya salah paham, saya nggak pernah memanfaatkan kedekatan sama sama Bu Prisil buat—“ Usaha pembelaan diri Puspa sontak terhenti saat Gahar mengangkat tangan, isyarat agar dia diam karena dia harus mengangkat telepon. Sungguh sopan sekali.
“Halo?” jawab Gahar pada telepon masuk dari nomor tak dikenali tersebut.
“Halo, Pak Gahar. Saya Ayu Arini, HRD Gunamart.”
“Oh iya, ada apa, Bu?” tanya Gahar langsung mengenali Bu Ayu.
“Gawat, Pak,” seru Bu Ayu dengan nada panik