14 | Demi Adik Kesayangan

1215 Kata
“Pelan-pelan aja makannya, Puspa,” tegur Prisil, melihat Puspa memfungsikan engan baik kedua tangannya untuk bergantian menyap makanan ke mulut. Tangan kanan memegang sumpit, tangan kiri memegang sendok untuk menyeruput kuah ramen yang nikmat tiap tetesnya. Puspa menyengir, antara malu dan tak enak hati. “Saya rakus banget ya, Bu?” Prisil tertawa kecil. “Kalau aku bilang kamu rakus, berati aku juga mengakui kalau Gahar juga rakus.” “Eh?” Puspa berdengung tak mengerti, kenapa tiba-tiba ada nama Gahar. Apalagi tiba-tiba pula disamakan dengan Gahar. Dih, amit-amit! “Gahar, adikku, store manager kamu yang baru itu, dia kalau makan juga kayak kalau dalam semenit makanan itu nggak habis, piringnya akan ditarik.” “Iya, kah?” Puspa meringis aneh, tak harus harus merespon seperti apa. “Iya, dia nggak bisa elegan di mana pun tempatnya. Tahu, kan, fine dinning biasanya makanan disajikan porsi kecil-kecil, Gahar bisa mengosongkan piringnya dua atau tiga suapan aja.” Sekali lagi Puspa menyengir. “Saya nggak tahu, Bu. Belum pernah ada yang ngajakin fine dinning,” aku Puspa polos, membuat Prisil menertawainya. Puspa tak tahu apa sebetulnya yang Prisil tertawakan, nasibnya yang tidak bisa makan di restoran bagus kapanpun dia mau, atau pengakuannya yang tanpa malu-malu. Yang jelas, Puspa tidak merasa terejek oleh tawa itu sebab sedikit banyak ia telah mengenal Prisil. Prisil adalah satu-satunya orang super kaya yang ia kenal yang tidak sombong. Lantaran hampir setiap kunjungannya ke Bali, Prisil selalu mampir ke Gunamart untuk sekadar makan siang di foodcourd atau pun untuk belanja bahan-bahan masakan, otomatis mereka sering bertemu. Prisil kerap meminta Puspa mendampinginya berkeliling. Dari obrolan-obrolan ringan itu lah mereka akrab. Namun hanya akrab sebatas perjumpaan di Gunamart saja. Makanya Puspa sangat kaget saat tadi Prisil tiba-tiba meneleponnya dan bilang ingin mentraktirnya makan di luar Gunarmart. “Mau tambah lagi?” tawar Prisil ketika mangkok Puspa isinya telah tandas. Buru-buru Puspa menggelengkan kepala. “Enggak, nggak usah, Bu. Udah kenyang sekali ini,” jawab Puspa sebaru mengelus perutnya. “Ehm … Bu, ngomong-ngomong kenapa tiba-tiba ngajak saya ketemu?” tanya Puspa, ia telah menyimpan pertanyaan itu sejak Prisil menghubunginya. Namun ia tahan-tahan, menunggu Prisil lah yang cerita lebih dulu. Sayangnya, Puspa terlalu tidak sabaran untuk itu. “Ada beberapa hal yang mau aku tanyain.” “Tentang Pak Gahar ya, Bu?” tebak Puspa. “Udah kebaca banget, ya?” Prisil tersenyum kecil. “Jujur aja, aku datang ke sini memang karena khawatir sama dia. Kamu mungkin udah tahu, Pus, kalau adikku itu belum punya pengalaman terjun lansung ke dunia bisnis. Aku akui, dia belum siap menjadi store manager, terlebih di toko yang sedang sakit. Ini sedikit memalukan sebenarnya. “Orangtua kami, butuh 6 tahun sebelum akhirnya punya anak pertama. Mereka sangat ingin punya anak laki-laki. Setelah menunggu selama itu, ternyata yang keluar adalah dua bayi perempuan. Mereka harus nunggu 6 tahun lagi sebelum mendapatkan Gahar. Papa benar-benar merawat dan membesarkan dia seperti raja kecil, Gahar nyaris nggak pernah berjuang untuk mendapatkan sesuatu yang dia inginkan. Sampai akhirnya Papa sadar kalau Gahar udah nggak kecil lagi. Walau bisa saja selamanya dia hidup sebagai raja, tapi kami nggak mau dia jadi raja yang nggak bisa apa-apa.” Meski tidak tahu kenapa Prisil merasa perlu menceritakan itu pada Puspa, tapi Puspa tetap menyimak dengan serius. “Kebangkitan Gunamart Bali sangat penting buat dia karena masa depan dan harga dirinya dipertaruhkan. Cuma sayangnya, Gahar nggak memulainya dengan benar dan kedatangan dia malah bikin konflik baru. Tapi Gahar bukan orang bodoh, Pus. Aku bilang itu bukan karena Gahar adik aku. Dia cuma butuh waktu buat beradaptasi, dia pasti bisa belajar dan menemukan jalan keluar.” “Ah …,” gumam Puspa aneh, merasa apa yang disampaikan Prisil itu tidak semestinya diketahui sembarang orang. “Jadi begini, Pus. Aku sebenarnya ingin minta tolong sama kamu.” Puspa menelan ludah dan menegakkan badan, mendadak gugup. “Minta … tolong apa, Bu? Ibu bikin saya merasa penting aja sampai bisa dimintai tolong.” “Bukan sesuatu yang besar, kok, Pus. Aku ingin minta tolong, supaya kamu juga bisa percaya sama Gahar.” “Saya nggak ngerti maksud Bu Prisil apa,” ringis Puspa. Sebenarnya di kepalanya ada beberapa intreprtasi, tapi Puspa ingin mendengar jawaban lebih pasti. “Gahar di sini kan di Gunamart nggak punya teman, Pus. Aku juga udah dengar masalah keluhan para manager buat pencopotan dia, dan aku juga udah bisa tebak pasti karyawan yang lain makin nggak nyaman buat bertahan. Aku berharap kamu bisa percaya dan membantu Gahar memulai perjuangannya.” Butuh beberapa saat bagi Puspa untuk bisa benar-benar mencerna semuanya. “Kenapa saya, Bu?” tanyanya lagi. “Saya akan cuma team leader biasa, memangnya saya bisa bantu apa? Ibu sepertinya salah orang, Ibu harusnya minta tolong ini ke karyawan level manager.” “Enggak, aku nggak salah orang.” Prisil menggeleng menegaskan. “Kenapa aku pilih kamu, karena kamu dan Gahar sama-sama punya keinginan besar biar Gunamart nggak ditutup. Lagipula, kamu adalah Puspa Dewinta, si tupai Gunamart yang dalam lima tahun udah pernah ditugaskan di semua departemen. Aku yakin kamu pasti bisa membantu Gahar." Puspa menghela napas panjang. Tentu saja ia punya alasan mengapa Gunamart jangan sampai ditutup, tapi untuk bekerjasama dengan Gahar, hanya membayangkannya saja Puspa sudah lelah dan emosi. “Kayaknya ggak bisa, Bu …,” cicit Puspa penuh penyesalan. “Hari ini Pak Gahar nyuruh saya tanda tangan surat pemecatan.” “Saya tahu,” sahut Prisil kalem. “Semua yang terjadi hari ini, kami semua sudah tahu.” “Ibu tahu?” tanya Puspa dengan kerutan berantakan di kening. “Kalau Ibu udah tahu, kenapa tetap menemui saya?” “Karena aku juga tahu kamu menolak menandatangani surat itu.” “Memangnya aka nada bedanya, Bu, saya menandatanganinya atau enggak? Perusahaan sudah membuat keputusan, surat itu Cuma formalitas saja.” “Aneh banget kamu langsung menyerah begini.” “Mau gimana lagi, Bu? Pak Gahar sendiri yang bilang nggak mau melihat saya lagi, beliau bilang saya yang terburuk di Gunamat.” Puspa menundukkan kepala dalam. Sedih dianggap sebagai yang terburuk, sekaligus sedih harus meninggalkan Gunamart. “Puspa,” panggil Prisil lembut agar Puspa kembali mengangkat kepala, menatapnya. “Kamu yakin mau nyerah semudah ini? Ingat-ingat lagi apa yang pernah kamu ceritakan ke aku kenapa kamu sangat mencintai Gunamart? Aku juga masih ingat sekali saat aku tanya kenapa kamu nggak mau resign kayak yang lain, kamu bilang selama belum ditutup, artinya masih ada harapan Gunamart bisa terus hidup.” Iya, Puspa sangat ingat kalimat itu. Ia selalu mengatakannya tiap kali ada yang mencoba menghasutnya cari kerja di tempat lain. Hanya saja, kehadiran Gahar membuat optimisme dan semangat itu seolah menguap menyatu dengan udara. Hilang begitu saja. Puspa menatap Prisil dengan wajah ingin menangis. “Tapi, Bu …, Pak Gahar benci sama saya.” “Dia hanya belum mengenal kamu, Puspa. Aslinya Gahar juga nggak segalak itu. Kalau kalian punya kesempatan ngobrol santai, aku yakin persepsi masing-masing kalian saat ini akan berubah.” Bahu Puspa melemas seiring dengan kedua lubang hidungnya mengeluarkan embusan napas berat. “Saya nggak bisa janji ya, Bu. Sekuat apapun keinginan saya buat bertahan, tapi kalau tempat itu udah nggak menginginkan saya, berarti tempat itu bukan tempat yang cocok untuk saya.” Prisil pun menganggukkan kepala mengerti. “Iya, keputusan tetap kembali ke kamu. Pikirkan baik-baik.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN