“Gawat, Pak,” seru Bu Ayu dengan nada panik
“Gawat kenapa?” tanya Gahar, sama sekali tak ada bayangan kegawatan apa yang bisa terjadi di pagi-pagi begini.
“Mending Bapak ke sini secepatnya. Saya nggak tahu ini toko bisa buka atau tidak hari ini karena hampir sebagian yang shift pagi kompakan nggak masuk kerja.”
“Apa?!”
Melihat kekagetan di wajah Gahar, Puspa bisa menabak pembicaraan di telepon tersebut tentang apa. Mendadak Puspa jadi ikut panik. Bagaimana jika yang mogok lebih banyak daripada yang masuk? Jika sampai Gunamat hari ini benar-benar tidak bisa beroperasi, maka pasti akan terjadi kekacauan besar.
“Baik, saya mengerti. Saya berangkat sekarang,” balas Gahar, sejurus kemudian menurunkan ponselnya dari telinga.
Puspa terkesiap saat tahu-tahu tatapan Gahar diarahkan padanya. “Apa kamu tahu tentang rencana mogok kerja itu?” tembaknya.
“Itu … saya ….” Sempat takut jujur, Puspa akhirnya putuskan untuk menganggukkan kepala. Puspa pikir, jika tujuannya adalah demi kebaikan Gunamart, maka ia harus kooperatif. Bagaimanapun juga, masalah mogok kerja ini adalah masalah serius.
“Lalu kenapa kamu nggak bilang sama saya!”
“Kenapa Bapak marah-marah sama saya?” balas Puspa, tak terima jadi pelampiasan emosi Gahar.
“Kalau kamu memang cinta sama Gunamart, harusnya hal-hal mengancam kayak begitu kamu laporkan ke saya.”
Puspa menipiskan bibir geram. “Asal Bapak tahu, ya! Sampai jam 8 tadi saya masih ragu mau balik kerja atau enggak.” Puspa melawab supaya Gahar sadar betapa tidak masuk akalnya dia. “Dan tanpa mengurangi rasa hormat saya, Pak, daripada Bapak marah-marah ke saya, bukannya lebih baik Bapak berangkat sekarang?”
Gahar membuang muka dan mengembuskan napas kasar. Sangat jelas kemarahan sekaligus kepanikan di wajahnya. “Mana motormu?”
“Di sana.” Meski tak tahu untuk apa Gahar bertanya, tangan Puspa terulur begitu saja menunjuk sebuah motor bebek warna putih yang masih terlihat baru karena baru dibelinya tahun lalu.
“Buka gerbangnya,” ujar Gahar sembari menyambar kunci motor berbandul kumpulan gantungan kunci khas kota-kota tertetu di Indonesia.
Puspa masih berdiri bodoh di tempatnya hingga Gahar berjalan menuju motornya terparkir. “Huft … apa susahnya sih bilang pinjam baik-baik,” gerutu Puspa lantas berlari-lari kecil membuka gerbang. Pintu gerbang berhasil digeserna, bersamaan dengan Gahar hampir menabrakkan motornya di gerbang yang sontak saja membuat Puspa memekik kaget. Untungnya Gahar berhasil mengerem teat waktu sehingga hal buruk dapat terhindarkan. “Hati-hati dong, Pak, cicilannya masih kurang 3 bulan itu!”
Seolah telah berkenalan motor Puspa, kali ini Gahar berhasil melewati celah pintu gerbang dengan mulus. Gahar berhenti sebentar menunggu Puspa, tapi Puspa malah bengong di depan gerbang. Gahar dengan terpaksa menoleh hanya untuk meneriakinya. “Masih mau kerja atau ikutan mogok?”
“Kerja lah.”
“Terus ngapain bengong di situ? Cepat naik!”
“Oh iya.” Seperti kerbau dicuuk hidungnya,Puspa segera berlari dan naik ke boncengan motor yang dikendarai Gahar. Tidak ada waktu untuk ogah-ogahan ataupun menimbang pantas atau tidak ia boncengan dengan sang atasan lantaran mereka sedang dalam situasi genting.
***
Jika Puspa disuruh menggambarkan bagaimana suasana office Gunamart saat ia dan Gahar tiba di sana adalah, tegang. Serta ternyata yang mogok kerja tak sebanyak yang Puspa kira. Dari seluruh departemen, hanya tiga departemen yang mangkir. Yaitu departemen textile, food and baverage, serta departemen yang dibawahi langsung oleh Pak Dodi yaitu departemen elektronik.
Pada ketiga departemen tersebut, baik manager maupun staff tidak ada satupun yang masuk dan tidak bisa dihubungi. Sementara departemen yang lain masih masuk seperti biasa. Bu Ayu tadi sempat panik lantaran dapur Gunamart yang biasanya sudah ada kesibukan sejak jam 7, tak kunjung ada staff yang datang hingga jam 8 lewat. Praktis, untuk hari ini foodcourt sementara tidak dapat beroperasi.
Puspa pikir, begitu tiba di office, Gahar akan marah-marah lantaran sepanjang jalan menuju Gunamat yang hanya hitungan menit itu, Gahar hampir menabrak kendaraan lain sebanyak dua kali. Benar-benar perjalanan pendek yang memacu adrenalin Puspa. Puspa merasa bersyukur mereka bisa tiba dengan selamat dan motornya masih mulus. Begitu tiba, Gahar langsung mengumpulkan semua orang dan memberi arahan singkat. Gahar menginstruksikan toko harus tetap buka, sementara untuk departemen yang ditinggalkan stafnya, Gahar meminta ada karyawan lain yang berjaga di sana selagi Gahar mencoba bernegosiasi dengan mereka.
"Oke, untuk tekstil nanti dibantu oleh tim groceries. Lalu untuk di elektronik siapa yang bisa bantu?"
"Pak, untuk di elektronik nggak bisa sembarangan orang karena mereka ada sistem pencatatan barang tersendiri, belum lagi kalau ada customer ingin delivery," jelas Bu Ayu setelah semua orang membisu tak ada yang berani angkat tangan.
Pandangan Gahar langsung terarah begitu saja pada Puspa. "Kalau nggak salah, katanya kamu pernah ditempatkan di semua departemen?"
"Saya, Pak?" Puspa menunjuk ujung hidungnya sendiri. Seketika semua perhatian tertuju padanya dan membuat Puspa malu lantaran penampilannya masih berantakan sendiri, rambut masih belum tersanggul dan masih memakai jaket dan menggendong tas ransel. "Iya, saya bisa, sih. Tapi masalahnya kalau saya in-charge di elektrinik, counter customer service kosong, Pak. Hari ini saya shift pagi sendirian."
"Kasir nggak bisa ke CS?"
"Pagi ini ada satu kasir izin sakit. Jadi hanya ada satu kasir yang bertugas dan tiga orang di petty cash termasuk saya yang harus ikut stand by kalau situasi ramai."
"Jadi selain Puspa nggak ada lagi yang bisa ke elektronik?" Kepala Gahar mulai pusing, tapi ia berusaha melwati ini dengan setenang mungkin.
"Ehm, Pak, kalau boleh beri saya waktu satu jam. Saya bisa hubungi teman saya yang hari ini libur buat masuk dan tukar libur ke hari lain. kalau dia sudah datang, saya bisa langsung ke elektronik," usul Puspa.
Gahar mengangguk mantap satu kali. "Boleh. Cepat hubungi dia."
"Sebaiknya kita jangan ganggu karyawan yang sedang libur," ujar Bu Shinta seolah menegur, padahal dari tadi dia hanya diam.
"Apa masalahnya? Kan tukar libur, dia bisa ambil liburnya di hari lain," balas Gahar.
"Kita nggak tahu mungkin saja dia udah punya rencana penting yang sudah ditunggu-tunggu dan direncanakan dari jauh-jauh hari."
Gahar memejam sesaat, menahan diri untuk tidak mendebat. Jika dilanjutkan, waktu akan terbuang sia-sia. Mengabaikan Bu Shinta, Gahar kembali beralih bicara pada Puspa. "Hubungi temanmu itu. Tanya kesediaan dia, kalau dia menolak, jangan paksa. Saya nggak mau merampas hak libur dia."
"Siap, Pak," jawab Puspa lantas mengeluarkan ponselnya.
Masalah opening toko teratasi, Gahar langsung membubarkan briefing setelah berpesan pada manager yang ada untuk satu jam setelah opening toko.