“Tuh, kan, Kak Pus, apa-apa tuh jangan nurutin perasaan. g****k, kan.”
Puspa yakin dirinya saat ini pasti sudah mirip itik tercebur got dan sedang dimarahi oleh induknya. Lebih menyedihkan lagi, yang berperan sebagai induk di sini adalah adiknya, Oliv. Dia mengomeli Puspa sambil berdiri sementara Puspa duduk meringkuk, membuka satu per satu notifikasi pesan yang masuk ke ponselnya selama tertinggal di kamar Oliv.
“Jam dua belas malam aku sama Ayah masih keliling Denpasar, Kuta, Seminyak, masuk ke satu per satu club nyariin Kak Pus tapi Kak Pus nggak ada di mana-mana. Kita juga ke tempatnya Nando, Ayah sampai hampir tonjok dia karena dia kayak orang beloon ditanyaian jawab nggak tahu-nggak tahu. Ayah sampai heran apa yang Kak Pus suka dari cowok kayak gitu. Jam dua kita udah nyerah dan akhirnya lapor polisi, tahu!”
“Lebay, deh,” gumam Puspa.
“Lebay-lebay!” semprot Oliv. “Kak Pus tuh bener-bener, ya. Untung yang nolongin orang baik, kalau enggak Kak Pus pasti sekarang lagi nangis-nangis karena udah nggak perawan atau parahnya dicekoki narkoba biar kecanduan.”
Puspa melirik Oliv takut-takut. “Masa, sih?”
Oliv mengembuskan napas kasar dan engerang. “Kak Pus … saking lebaynya aku sama Ayah sampai lapor polisi, tahu, nggak. Tapi kata polisi disuruh tunggu 1X24 jam, kalau masih nggak puang baru mau dicari!”
“Iya, iya, aku salah. Ya udah, nggak usah marah-marah lagi. Aku ini lebih tua dari kamu.” Puspa ingin dihormati dengan menyebut-nyebut umur.
Namun, itu sama sekali tidak berpengaruh bagi Oliv. Gadis itu mencibikkan bibir mencibir, “tua sih tua, tapi polosnya kebangetan.” Oliv lalu menghela napas panjang, seperti puas usai mengeluarkan semua unek-unuknya. “Terus sekarang Kak Pus mau gimana?”
“Ya cari kos baru lah.”
“Udah nemu?”
“Kayaknya Masih ada kamar kosong di kost belakang tempat kerja, kayaknya aku bakal di sana aja,” jawab Puspa mengerucutkan bibir. “Kamu nanti selesai kuliah jam berapa?”
“Jam dua paling cepat. Nanti aku langsung ke sana, deh, bantuin Kak Pus pindahan.”
Puspa mengangguk mengerti, biarpun cerewet, selama ini Oliv yang paling pengertian.
“Mending Kak Pus sekarang pergi cek tempat kosnya terus beres-beres, nanti ambil barangnya bareng sama aku. Pokoknya jangan ke sarang buaya itu sendirian.”
“Iya,” desah Puspa pasrah.
Efek patah hati, bingung bangun di tempat dan bersama orang asing, serta banyaknya hal yang harus ia akukan hari ini membuatnya sedikit kesulitan berpikir benar.
Puspa berjingkat kaet saat tiba-tiba Oliv menepuk pahanya dengan kencang. “Terus-terus, gimana tadi yang Kak Pus bilang, cogan yang nolongin Kak Pus itu. Beneran ganteng apa Cuma lumayan dibanding Nando.”
Ah, mengingat lelaki itu lagi Puspa jadi menyesal kenapa tidak tanya nama atau setidaknya mengucapkan terima kasih karena telah mengamankan Puspa dan bersikap terhormat dengan tidak menyentuhnya dengan dalih tak sama-sama mabuk.
Diam-diam, Puspa mengingat-ingat wajah itu kembali. “Nando dibandingkan sama dia ya nggak ada apa-apanya lah. Levelnya udah layak dibandingkan sama artis. Tinggi, biarpun cowok tapi kulit wajahnya glowing, kulit badannya putih kayak koko-koko China tapi mukanya Indo banget. Matanya teduh sebenarnya, Cuma karena bentuk alisnya hitam dan lebat makanya kelihatan tajam. Ngerti nggak maksudku? Terus badannya juga tegap kayak rajin olahraga itu, nggak kekar-kekar banget kayak Popeye tapi ada ada roti sokbeknya.”
“ROTI SOBEK—“
“Sttt ….” Spontan Puspa menutup mulut Oliv dengan tangannya, lalu mendesis, “bisa pelan-pelan aja, nggak, sih? Kalau didengar mamamu, dia bisa ngira aku udah nggak perawan.”
Oliv terkikik-kikik geli, gadis ini memang centil sekali. Tidak bisa tidak heboh kalau sudah bicara tentang cowok ganteng. “Maaf, maaf … lagian, katanya nggak buka-bukaan kok bisa tahu ada roti sobeknya coba. Harusnya Kak Pus minta nomor handphone-nya, kan bisa pakai alasan mau balikin uang kamar hotel.”
“Aku nggak kepikiran, Liv.”
“Ih, pasti yang dipikirin cuma masih perawan atau enggak.”
Puspa menyengir. “Tapi kalau diingat-ingat ya, Liv, aku tuh kayak pernah ketemu sama dia sebelumnya.”
“Di club maksudnya?”
“Bukan, di club malah aku nggak terlalu ingat apa-apa. Kayaknya sebelum itu aku pernah ketemu dia. Matanya tuh kayak nggak asing banget.”
“Ah, perasaan Kak Pus aja kali,” cibir Oliv yang Puspa pikir juga begitu. Setiap hari pekerjaannya membuatnya melihat wajah-wajah baru, makanya Puspa mudah familiar, berasa sudah pernah bertemu.
“Kalau ada keajaiban Kak Pus sama dia ketemu lagi, Kak Pus bakal gimana?”
“Hm … kalau ketemu lagi,” gumam Puspa berpikir. “Kayaknya mending kami nggak usah ketemu lagi, deh.”
“Kenapa? Kali aja kalau ketemu lagi tandanya kalian jodoh.”
“Hih, apa lagi itu. Nggak mau!” Puspa sampai mengetukkan tangan di kening dan meja kayu sebanyak masing-masing tiga kali hanya agar itu tidak terjadi.
“Dih, belagu banget. Katanya ganteng dan bukan penjahat kelamin.”
“Iya, sih, ganteng tapi emosian. Judes banget. Semoga eggak udah ketemu lagi, deh. Serem.”
***
Setengah jam berkendara, Gahar akhirnya tiba di hotel tempatnya menginap. Jika lalu lintas lancar, sepertinya perjalanan hanya akan memakan waktu separuhnya saja. Padahal Gahar butuh asupan kafein untuk memulai hari.
“Pak Gahar,” Seseorang mnyerukan nama Gahar saat lelaki itu melintasi lobby hotel hendak menuju kamarnya.
Gahar pun menghentikan langkah dan mencari sumber suara, sejurus kemudian seorang lelaki sekira umur 30-an menghampiri Gahar dengan sopan. “Yang biasanya sama Pak Dewa, kan?” Gahar mengenali orang tersebut tapi tidak tahu namanya. Mereka pernah bertemu beberapa kali karena Dewa Prayoga salah satu orang kepercayaan Priska dan papanya, dialah yang mengurus dan menjadi penjembatan jika ada masalah dengan warga local, ormas, atau pun pihak adat terkait kepentingan bisnis segala sector Guna Grup.
“Benar sekali, Pak. Nama saya Surya.”
Gahar menaikkan alis sambil menyelipkan kedua tangan ke kantong celana. “Ada apa pagi-pagi cari saja?”
“Begini, saya diutus Bu Priska untuk mengantar Bapak ke tempat tinggal baru.”
“Maksudnya?” Gahar mengernyit tak mengerti.
“Bu Priska belum memberi tahu Anda?”
“Priska udah nyiapin tempat tinggal buat saya selama di sini?”
“Benar, Pak.”
“Anda yakin Priska? Bukan Kak Prisil?”
“Benar, Pak. Bu Priska, bukan Bu Prisil.”
Tidak disangka Priska cukup perhatian juga, sekaligus sesuatu yang mencurigakan sebenarnya. Mengingat Gahar akan menetap di sini, mungkin Priska pikir akan lebih nyaman jika Gahar tinggal di rumah. Meski sebenarnya Gahar tidak masalah tinggal di hotel, toh hotel ini masih milik Guna Grup.
Gahar manggut-manggut. “Oke, saya mengerti. Tunggu sebentar saya mau sarapan sama beres-bersin barang di kamar.”
“Ehm, petugas hotel sudah membantu membereskan barang-barang Anda atas perintah langsung Bu Priska karena Anda harus check out sebelum jam 10 pagi.” Surya lalu menunjuk satu arah, di sana sudah ada tiga buah koper besar yang tentu saja sangat Gahar kenali karena itu miliknya.
“Kenapa buru-buru sekali?”
“Karena semuanya sudah siap. Jadi Bu Priska ingin Anda pindah secepat mungkin.”
Entah apa, namun yang jelas ada yang mengganjal di benak Gahar. Seperti ada sesuatu yang tidak pas di sini. Namun, pada akhirnya Gahar tetap mengangguk dan mengikuti Pak Surya yang menyupirinya langsung menuju tempat tinggal baru Gahar.
“Tempatnya dekat sama Gunamart, ya?’ tanya Gahar, setelah belasan menit berlalu dan ia cukup mengenali rute yang mereka lewati. Ini jalan menuju Gunamart.
“Benar, dekat sekali,” jawa Surya.
Gahar kembali menatap jalanan, sembari mencoba mengingat-ingat apakah ia pernah melihat ada kompleks perumahan elit di sekitar sana karena setahunya bagian belakang Gunamart adalah pemukiman padat biasa. Dan benar saja, Pak Surya membawa mobil ke arah pemikiman di belakang Gunamart yang jalannya sempit dan padat karena merupakan jalan tikus menuju jalan-jalan besar. Ah, mungkin di ada terselip di sana kompleks elit atau apartemen. Padahal Gahar semula kira dirinya akan tinggal di vila dekat pantai. Tapi baiklah, mari kita lihat tempat tinggal seperti apa yang Priska siapkan untuknya.
“Kenapa kita berhenti?” tanya Gahar saat Surya menepikan mobilnya depan gerbang besi berkarat. Sepanjang Gahar memandang, di sini tidak ada elit-elit atau eksklusif-eksklusifnya sama sekali.
“Kita sudah sampai.”
“Hah?” Kembali, Gahar memandang sekitar. “Anda nggak salah tempat?”
“Tidak, Pak. Mari turun,” jawab Surya tersenyum sopan, lalu turun dari mobil lebih dulu. Meski bingung dan ragu-ragu, Gahar tetap menyusul turun. Selagi Surya mengambil barang-barangnya dari bagasi, Gahar berniat memeriksa keadaan lebih dulu. Tangan kanannya baru hendak menyentuh pegangan gerbang geser tersebut, tepat ketika seseorang lebih dulu menggeser dari dalam.
“Cari siapa?” tanya seorang wanita berjaket ungu dan memakai helm, seperti siap pergi. Lantaran Gahar sama sekali tak merespon, orang itu mencibir sewot. “Kalau bengong jangan di sini, ada orang mau lewat. Woi, cepetan, udah telat ini!” Wnita itu lanjut meneriaki seorang lelaki yang berlarian menuju motor.
Gahar tidak menampik dirinya memang bengong, lebih tepatnya tidak mempercayai apa yang dilihatnya saat ini. Tampak sebuah bangunan leter U dengan masing-masing 3 pintu di sayap kiri dan kanan, tampak berantakan dan kumuh dengan jemuran-jemuran lipat dan barang-barang lain di teras yang luasnya tak seberapa.
Sungguh, demi Tuhan yang Esa, inikah yang disebut tinggal? Baiklah, mungkin ini memang sebuah tempat tinggal. Tapi, ini jelas bukan tempat tinggal yang layak untuknya. Untuk seorang pewaris utama Guna Grup, anak laki-laki satu-satunya Gunawan.
Gahar memejam kesal, sedikit banyak ia kini telah paham. Tentu saja, Priska tidak akan semurah hati ini padanya.
“Heh, Mas cari siapa? Oh yang mau ngekos di sini, ya?” Wanita itu masih penasaran siapa Ahyar, tapi dia sendiri tidak ada waktu karena harus naik ke boncengan motor suaminya dan pergi.
“Siapa?”
“Penghuni baru kayaknya, sombongnya minta ampun padahal ganteng.”
“Cowok ganteng memang begitu. Nggak rugi, kan, kamu milih aku.”
Plak! Wanita itu memukul kepala suaminya yang tertutupi helm, bak boomerang untuknya, sekarang malah tangannya yang sakit. “Nggak usah banyak bacot, cepat jalan.”
Gahar sama sekali tidak menghiraukan sekitar, ia maju beberapa langkah ke depan dan berhenti di tengah-tengah pelataran. Terdengar suara bayi menangis dari salah satu kamar yang pintunya terbuka lebar, sesaat setelah suara motor wanita itu dan suaminya pergi. Belum apa-apa Gahar sudah pening.
Gahar berbalik badan hendak kembali ke mobil.
“Balik ke hotel,” ujar Gahar pada Surya sambil lalu.
“Eh, kok?” Surya yang telah mengeluarkan semua koper Gahar dengan susah payah pun bingung jadinya. “Kok balik ke hotel, Pak? Bu Priska bilang—“
“Bilang sama Bu Priska-mu aku nggak akan tinggal di sini!” bentak Gahar lupa akan sopan santun. Daadanya naik turun menahan emosi. Sepertinya, di mata Priska Gahar sudah tidak ada nilainya.
Surya benar-benar melakukannya, dia menelepon Priska. Lalu tak lama, Surya memberikan ponselnya pada Gahar karena Priska ingin bicara langsung.
“Gahar? Halooo? Lo dengar gue, nggak?”
Gahar tetap tak bergeming dan hanya menempelkan ponsel itu di telinganya.
“Ck, ngambek mulu lo,” cibir Priska. “Gue tedinya mau bilang ini langsung ke lo, tapi belum sempat karena ada meeting pagi. Gue langsung aja, ya, karena gue sibuk banget. Mulai sekarang, lo akan tinggal di sana. Kalau lo nggak suka, lo bisa pindah nanti—“
“Oh ya udah gue pindah.”
“Tunggu, gue belum selesai,” sahut Priska tenang. “Lo bisa pindah ke mana pun asal pakai uang lo sendiri, kalaupun lo mau ke G Hotel atau vila-vila keluarga kita, lo harus bayar sendiri kayak tamu lainnya.”
“Oke, gue bayar,” dengus Gahar enteng. Di ulang tahunnya yang ke 25 tahun, papanya menghadiahi ia sebuah black card dan kartu itu masih digunakannya terakhir kali tadi untuk bayar kamar Puspa.
“Pakai apa? Ah, maksud gue, pakai uang siapa?” Bahkan hanya lewat suara saja, Gahar bisa merasakan senyum mengejek Priska. “Beberapa menit lalu, Papa udah membekukan semua kartu kredit dan kartu debit lo. Nanti Pak Surya akan ngasih lo kartu debit baru, isinya ada uang yang cukup buat hidup sebulan, dan setiap bulan gaji lo akan masuk ke sana. Bulan berikutnya, lo hidup dari gaji sebagai store manajer.”
“Apa?” Gahar kehilangan kata-kata.
“Lo bilang mau mandiri, kan? Jangan tanggung-tanggung mandirinya, keluarga kita sangat mendukung makanya Pappa memutuskan buat menarik semua fasilitas lo sekarang.”
“Papa atau lo?” desis Gahar curiga. Papa dan mamanya tidak akan setega ini terhadapnya. Terlebih Prisil, seburuk-buruknya Gahar, dia selalu jadi orang terdepan yang membelanya.
“Ya Papa lah, setelah mempertimbangkan saran dan masukan dari gue.” Dan, dengan jahatnya Priska tertawa di atas penderitaan Gahar. “Udah ya, adik kecilku yang udah nggak kecil banget. Lo udah beruntung banget karena nggak perlu repot-repot cari kerja. Jangan lupa nanti kunci mobil kasih ke Surya.”
Gahar terperangah. “Mobil juga?”
“Lo nggak akan membutuhkannya. Dari kos ke tempat kerja cuma tiga menit jalan kaki. Lagian kalau lo niat kerja, gue jamin lo nggak akan punya waktu buat pesta-pesta karena pekerjaan yang nunggu lo sangat banyak. Dah.” Bunyi tut panjang menandakan telepon telah berakhir. Dengan pikiran kosong, Gahar mengulurkan ponsel di tangannya kepada di empunya.
Sesaat kemudian Surya mengulurkan sebuah kartu dengan deretan nomor PIN tertempel di atasnya. Ini bukan mimpi, kan? Secara tidak langsung, keluarganya telah mencampakan dirinya.
Baiklah, Gahar terima tantangan ini. Gahar bersumpah, setelah tiga bulan, Priska tidak akan bisa semena-mena dan meremehkannya lagi. Gahar akan tunjukkan siapa dirinya yang sebenarnya.