06 | Kostan Baru

2093 Kata
Puspa mengedarkan pandangan pada sekeliling ruangan kotak seluas 3X4 meter ini sambil menghela-menghela napas pelan beberapa kali. Sebenarnya, tempat ini cukup ideal sebagai tempat tinggal. Jarak menuju tempat kerja bisa ditempuh hanya dengan jalan kaki, di depan gang ada banyak penjual makanan ramah di kantong, dekat dengan jalan utama yang memudahkannya ke mana-mana. Namun sayang, kondisi bangunan tidak sebagus yang Puspa inginkan. “Gimana, Pus, jadi nggak?” tanya Bu Widia, pemilik kos, begitu masuk ke kamar tempat Puspa mengecek kamar. Mereka sudah saling mengenal karena sebelumnya Bu Widia juga pernah kerja di Gunamart, dan telah pensiun dua tahun lalu. “Iya, Pus, maklum cuma ada 6 pintu dan yang tinggal di sini pada betah karena kamu bisa bandingin lah sama tempat lain. Buat ukuran tempat kos gampang ditemuin ojol, kamar mandi dalam, ada terasnya, ini yang paling murah. Di tempat lain pasti harganya udah satu jutaan.” “Satu jutaan itu bangunan baru, Bu.” Puspa sedikit tidak terima tempat ini disandingkan dengan kost tipe sama di luar sana. Ada harga, pastinya ada kualitas. “Bagunan baru sama bangunan lama nggak ada bedanya, yang penting sama-sama kokoh. Percaya nggak percaya ya, Pus, orang-orang yang sempat tinggal di kamar ini nasibnya jadi bagus makanya pindah.” “Jadi bagus gimana?” Dengan mimic wajah antusias, Bu Widia bercerita, “Ya semua rencana-rencana mereka jadi mulus gitu, Pus. Ada nih, satu cewek muda dari Jawa, datang ke sini kayak gembel nggak punya apa-apa, ada kali 1 bulan luntang lantung belum juga dapat kerja. Akhirnya dia buka lapak di depan sana, eh langsung laris. Sekarang dia udah punya warung nasi Jawa di 4 tempat. Ada juga pasangan udah 7 tahun nikah nggak hamil-hamil, 3 bulan tinggal di kamar ini langsung hamil dong, Pus,” cerita Bu Widia heboh. “Oh ya, ada satu lagi, nih. Si Shinta, dulu dia juga tinggal di kamar ini.” “Shinta siapa?” Puspa mengernyit tak tahu. Ada begitu banyak orang benama Shinta di Indoesia, dan Puspa kenal tiga orang diantara para pemilik nama Shinta tersebut. “Ck, Shinta siapa lagi memangnya? Ya Shinta atasan kamu lah. Eh, dia masih jadi manager penjualan produk produk impor, kan?” “Sekarang di bagian makanan segar,” sahut Puspa memberi jawaban teraktual. “Tuh, sebentar lagi jadi store manager itu. Katanya kalian akan ganti store manager, kan? jangan-jangan Shinta, lagi.” “Kayaknya enggak, deh, Bu. Katanya orang pusat langsung yang turun karena kondisi toko sekarang udah kritis banget.” “Orang dari kantor pusat turun gunung?” tanya Bu Widia seperti tak menyangka. Puspa mengangguk pelan. “Iya, katanya ini Pak Gunawan dan Bu Priska sendiri yang pilih orangnya. “Bagus lah, kalian sekarang bisa kerja tenang. Selama Gunamart berdiri kayaknya baru kali ini ada store manager dari orang pusat, paling-paling mutasian dari cabang lain. Kualitas orang dari kantor pusat udah nggak perlu diragukan lagi lah. Kalau sama mereka itu pasti semua serba cepat dan lolos-lolos aja. Mau bikin strategi apa, usulan anggaran berapa. Mereka nggak mungkin ke sini kalau nggak bawa program besar.” Puspa menghela napas, dalam hati mengaminkan. Sungguh ia rindu bekerja dalam suasana seperti dulu. Istirahat dan pulang tepat waktu, di kantin tidak melulu mengobrol tentang info lowongan kerja dan bagaimana nasib mereka. Dan, yang paling penting, toko menjadi ramai dan sibuk kembali. “Eh, ini gimana jadi mau kamu ambil apa enggak?” tanya Bu Widia lagi, membuat Puspa merada diburu-buru. Padahal Puspa sedang galau. Kamar ini letaknya paling ujung, salah satu sisi tembok tampak cat-nya menggelembung dan mengelupas sebagian, tanda bahwa dinding tersebut lembab. Ditambah lagi, kamar ini sudah tidak ada yang menempati selama setahun. Dinding mengelupas serta sarang lama-laba-laba menggantung di sudut dinding, membuat kamar ini tampak suram. Sayangnya, Puspa saat ini sedang tidak dalam posisi bebas pilih-pilih, ia terdesak waktu dan kalau sudah dibersihkan kamar ini tidak ada seburuk itu. Akhirnya, Puspa putuskan untuk menyewa kamar ini. “Keputusan bagus,” ujar Bu Widia menanggapi. “Oh ya, kebetulan yang nyewa kamar sebelah dan baru pindah hari ini juga kebetulan dia kerja di Gunamart, lho.” “Oh ya? Siapa namanya?” tanya Puspa bersemangat. Ia kenal semua karyawan Gunamart, walau tidak semuanya akrab, setidaknya Puspa tahu nama-nama mereka dari jajaran managemen hingga cleaning service dan petugas security. “Nggak tahu, yang urus sih namanya Surya, tapi katanya bukan dia yang mau tinggal, dia ngurusin buat orang lain. Katanya karyawan baru.” “Karyawan baru?” Puspa berdengung bingung. “Apa karena store manager baru mulai kerja besok, mereka jadi rekrut karyawan baru, ya?” Puspa bertanya-tanya sendiri. Kok tahu-tahu ada karyawan baru, sementara Puspa sama sekali tidak dengar ada informasi tentang recruitment karyawan baru. “Ya mungkin aja,” Bu Widia menimpali. “Tuh, kan, belum kerja aja, store manager barumu udah bawa perbaikan. Nanti kamu kenalan sama dia, orangnya ganteng sekali tapi kayaknya pendiam.” Puspa tersenyum antara lega, senang, dan percaya diri. Sore manager barunya ini sepertinya orang yang bisa diandalkan. *** Gahar memijit pelipisnya yang mendadak pening, melihat deretan angka di mesin ATM. Yang benar saja, bagaimana bisa Gahar hidup sebulan dengan uang 3 juta?! Demi Tuhan ini hanya  3 juta, Gahar telah bolak balik menghitung angka nol di belakang angka, benar-benar hanya ada 6 angka nol di sana. Kondisi dompetnya sendiri tidak kalah mengenaskan, hanya ada dua lembar uang seratus ribuan. Uang pecahan kecil biasanya ia linting dan tidak dimasukkan dompet lagi. Entah ia berikan ke tukang parkir, tips buat pelayan, atau siapapun yang mengumpulkan uang dari pecahan uang-uang kecil. Terbiasa bertransaksi menggunakan kartu kredit membuat Gahar jarang menyimpan uang tunai dalam jumlah besar. Tepukan pelan di pundah Gahar sama sekali tak membuat lelaki itu bergeming dari mesin ATM di dalam minimarket dekat kosnya. “Hei, lama banget, sih? Yang lain juga mau pakai mesin ATM-nya, memangnya itu ATM punyamu sendiri apa?!” tegur seorang lelaki dengan menggunakan bahasa Indonesia namun sangat kenal logat balinya. Gahar tidak merespon, sehingga dia tidak tahu di belakangnya ada 5 orang yang sedang mengantre dengan wajah masam dan bibir monyol mendumel-dumel telahmenunggu kelamaan. “Iya, benar. Kalau udah selesai, gentian dong. Itu angkanya dipandangi doang nggak akan nambah.” Mendengar sahutan suara seorang wanita, Gahar merasa tersinggung. Dengan kartu masih tertelan di mesin, Gahar memutar kepalanya dan seketika membuat wanita muda itu mundur selangkah ngeri. Berhubung dia sudah ketakutan duluan, Gahar urung memberinya pelajaran. Namun, tepat saat akan kembali menoleh ke depan, sebuah tangan menahan pundaknya.    “Nggak peduli udah atau belum, keluarin kartumu,” peringat pria berlogat Bali. Ahyar menepis tangan itu dan menggerakkan jarinya, bermaksud ingin menarik uang tunai. Sayangnya, orang dibelakangnya itu tak sabaran dan telanjur emosi atas tepisan Gahar. Dia mendorong Gahar ke samping dan menghentikan aktivitas transaksi Gahar. “Lo ngapain, heh!” seru Gahar, sejurus kemudian orang itu melemparkan kartu Gahar kepada si empunya. “Cari ATM lain atau antre lagi dari belakang sana. Dasar nggak bisa menghormati orang lain.” “Apa lo bilang? Berani lo sama gue? Nggak tahu lo siapa gue?” “Gua-gue gua-gue, kita di sini nggak peduli situ siapa, dari mana. Nggak usah sok keran gua-gue. Di mana kaki situ napak, di sana hormati aturan dan semua orangnya.” Bibir Gahar menipis menahan geram, bersamaan dengan kedua tangannya mengepal. Berani sekali orang itu mengatainya. Diwaktu yang sama, Puspa, baru saja memasuki minimarket untuk beli air minum ketika sedang ada ramai-ramai di depan mesin ATM. Jiwa ingin tahu dan problem solver sebagai petugas customer service, membuatnya mencari celah diantara orang-orang agar bisa melihat lebih dekat ke sumber keramaian. “Misi … misi … ada ap—oh?” Hanya butuh waktu seperkian detik bagi Puspa untuk mengenali salah satu dari dua orang yang sedang adu otot wajah itu. Ia yakin sekali, tidak mungkin salah mengenali. Ekspresi marah lelaki itu amat sangat ia kenali. Dari interaksi singkat mereka tadi pagi, Puspa tidak heran kalau lelaki itu bisa berhadapan dengan situasi tegang ini. Untungnya, dua orang karyawan minimarket bertubuh cungkring-cungkring melerai keduanya dan menyuruh keduanya keluar. Tatapan Puspa dengan lelaki itu sempat bertemu tapi lelaki itu tidak terlihat terkejut seperti halnya Puspa tadi, barangkali karena sibuk meredam emosi. Lelaki itu menepis tangan si karyawan minimarket dengan sekali sentakan kasar saat dia digiring keluar. Tapi dia tak langsung pergi, duduk di salah satu kursi yang memang disediakan oleh piha minimarket di pelataran toko yang diaungi paying-payung besar. Dia tampak menyalakan rokok dan menghisapnya dalam-dalam. Dari caranya mengembuskan asap rokoknya sambil memandang ke atas, dia sepertinya sedang ada masalah cukup menganggu. Berhubung Puspa hanya membeli air mineral, dia tak lama lalu keluar. Selain dua botol air mineral kemasan besar, Puspa juga membeli minuman ringan dingin dan satu bungkus jajanan kuaci. Puspa tidak membeli itu untuk dirinya sendiri, melainkan meletakannya di meja bulat tempat lelaki itu duduk. Gahar mendongak saat ada minuman larutan cap kerbau kemasan kaleng serta sebungkus kuaci tahu-tahu diletakkan di depannya. Hidupnya pasti terkutuk sekali karena bertemu lagi dengan gadis ini, Puspa Dewinta. Gahar memastikan nama itu tidak hilang dari ingatannya karena besok ia akan memecatnya. “Mas, masih ingat saya, kan?” tanya Puspa, tanpa permisi duduk di kursi lain di seberang Gahar. “Saya yang tadi pagi di hotel itu. Ingat, kan, ya? Nggak nyangka banget kita bisa ketemu lagi di sini. Sedang ada urusan atau memang tinggal di sekitar sini, Mas?” tanya Puspa sok akrab seolah-olah mereka saling kenal. Gahar tidak menanggapi, lebih asyik mengisap rokoknya daripada meladeni Puspa. Kalau dia peka terhadap situasi, dia akan tahu kalau Gahar sedang ingin sendiri sehingga dia harus segera angkat kaki. “Ehm … anu ….” Dan, rupanya selain bodoh dia juga tidak sadar situasi. “Buat yang tadi pagi, saya mau ngucapin terima kasih. Maaf udah sempat nuduh yang enggak-enggak. Oh ya, nama saya Puspa. Nama masnya siapa ya, kalau boleh tahu?” “Nggak boleh tahu.” “Eh?” Puspa tersenyum masam, dalam hati membatin betapa angkuhnya lelaki ini. “Ya udah, deh, maaf udah ingin tahu. Silakan diminum larutan sana kuacinya, sengaja saya beli buat masnya.” “Kenapa lo ambilnya larutan? Gue nggak lagi sariawan.” tanya Gahar penasaran, dasar yang membuat Puspa memilih jenis minuman ini diantara belasan jenis minuman lain dengan total puluhan varian rasa berbeda. “Tapi kan Masnya panas dalam.” Gahar mengernyit tak mengerti. Sedikit menyesal mengapa pakai bertanya dan bukannya langsung menyuruhnya pergi. “Kan masnya tadi marah-marah, jadi pasti ada yang panas di dalam. Terus, kuaci ini, biasanya saya selalu makan ini kalau lagi emosi. Bukain satu–satu kulit kuaci ampuh buat melmpiaskan emosi. Jadi pas kuacinya udah habis, kita udah nggak emosi lagi.” Gayar memutar bola mata, dibarengi dengan decakan lidah malas. “Menurut lo siapa yang akan percaya omongan lo barusan? Kemarin aja, lo emosi bukannya makan kuaci, tapi mabok-mabokan pakai seragam kerja.” “Beda, masalahnya. Semalam tuh—“ “Udah, lah, lo makan sendiri aja,” sela Gahar sembali bangkit berdiri dan beranjak pergi. Puspa mencibikkan bibir masam, memandangi punggung lelaki itu yang kian menjauh. Dasar tidak bisa menghargai niat tulus orang lain. Tak mau ambil pusing, Puspa lantas meraup minuman larutan dan kuaci itu ke pelukannya untuk dibawa pulang ke kos. Ia harus berjaga, menunggu kasur barunya datang serta Oliv menjemputnya untuk mengambil barang di tempat Nando. Agaknya, bubble kebetulan masih melingkupi Puspa dan lelaki itu karena Puspa kini mendapati mereka tengah menyusuri garis trotoar sama, menuju arah yang juga sama. Puspa sengaja menjaga jarak beberapa langkah di belakang lelaki itu, hanya karena ingin tahu ke mana tujuan dia. Langkah Puspa otomatis berhenti saat lelaki itu tiba-tiba berhenti dansejurus kemudian membalikkan badan. “Ngapain lo ngikutin gue?!” seri lelaki itu keras hingga menyerupai bentakan. Puspa mengerejap tak siap dengan tuduhan dengan tensi tinggi tersebut. “Siapa yang ngikutin, aku emang mau jalan ke arah sana kok. Aku tinggal di gang Nuri.” Dan, tanpa basa-basi minta maaf atau setidaknya menunjukkan ekspresi menyesal telah salah sangka, lelaki itu melongos dan melanjutkan langkah begitu saja. “Hei, tunggu!” Puspa tidak bisa menahan diri, lelaki itu sepertinya harus diajari cara menghormati orang lain. Oh, tentu saja lelaki itu tidak menggubris panggilan Puspa, maka Pupa lah yang mempercepat langkah dan sungguh sial nasib Puspa. Berjalan cepat sambil membawa banyak barang tanpa kantung belanja membuat barang-barang itu berjatuhan di atas trotoar. “Hei, tunggu, aku mau bicara!” teriak Puspa lantaran kini jaraknya dengan lelaki itu makin jauh dan dia telah menghilang dari jarak pandang Puspa usai belok ke sebuah jalan. Sialan. Meski sangat ingin memberi lelaki itu pelajaran etika dan sopan santun, Puspa lebih ingin tidak perlu bertemu dengan dia lagi selamanya. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN