Benar-benar menyusahkan. Ingatkan Gahar besok saat mulai bekerja, tugas pertama yang akan dilakukannya adalah mencari karyawan bernama Puspa Dewinta lalu memecatnya saat itu juga.
Dengan susah payah Gahar berhasil memapah masuk Puspa ke kamar hotel yang sengaja disewanya untuk Puspa. Hotel bintang tiga ini letaknya berada persis di sebelah bangunan club. Gahar terpaksa merepotkan diri dan mengeluarkan dana pribadi karena ia tidak menemukan ponsel Puspa di mana-mana sehingga tidak ada yang bisa dihubunginya. Gadis ini sangat berbahaya. Padahal sudah sangat jelas tertulis di aturan bahwa semua karyawan tidak boleh memakai seragam Gunamart di tempat umum, apalagi di club malam dalam keadaan mabuk dan mengancam mau telanjang. Mau dikenal sebagai apa Gunamart jika lihat kelakuan karyawannya, baik di tempat kerja ataupun di luar, tidak ada yang melek aturan.
Ketika akhirnya tiba di kamar, Gahar langsung menghempaskan tubuh Puspa di tengah-tengah ranjang yang empuk hingga tubuhnya memantul. Gahar megembukan napas sambil menyentul sebiji keringat yang hampir jatuh dari pelipis. Badan Puspa sangat kecil tapi berat sekali. Jangan bilang Gahar yang lemah, itu sangat tidak mungkin karena Gahar disiplin menjaga kebugaran dengan berolahraga. Sudah pasti, jangan diragukan lagi. Itu karena beban kebodohan Puspa.
"Eh eh eh!" Gahar terkesiap lantaran tahu-tahu Puspa terlentang mirip ikan terdampar, tampak membuka satu per satu kancing kemejanya. Gahar lalu menepis kedua tangan Puspa yang baru sempat membuka satu kancing. Lantas Gahar menarik bedcover dan melemparkannya menutupi tubuh Puspa, bukan lantaran takut tidak kuat imannya melihat tubuh nyaris telanjang seorang wanita, melainkan karena tidak tega. Tak hanya soal pilihan bra-nya yang norak, ukuran gunungnya ternyata tak seberapa. Ck.
Gahar mendekat ke arah Puspa, berniat untuk menurunkan ujung bedcover agar tidak menutupi wajahnya sehingga Puspa bisa bernapas lebih baik. Namun, saat tangannya bqru menyentuh pinggan bed cover, Puspa terdengar meringis merintih.
"b******k, ih ...," rintih Puspa. "Makan aku kasih, kost aku bayar ... jangan-jangan kondommu buat n***e sama cewek itu juga uang dari aku. Hiks ...."
Gahar hanya bisa geleng-geleng kepala, antara heran dan kasihan. Karyawannya ini pasti sedang ada masalah. Tidak apa-apa kalau mau melampiaskannya lewat mabuk-mabukan, tapi harusnya bisa sadar diri. Kuat tidak kuat minum, seharusnya dia tidak minum sendirian. Untung dia bertemunya dengan Gahar, bagaimana jika dia bertemu orang jahat dan memanfaatkan tubuh tak berdaya itu?
Gahar berdecak dan menarik bedcover sebaras daada Puspa
"Untung aku masih perawan." Puspa mengakhiri rintihan tangisnya dengan kalimat itu, disusul bibirnya mendecap-decap seperti ikan kehausan. Ya, masih bersegel bagi sebagian perempuan konon memang sebuah kebanggan. Entah Gahar harus memuji atau kasihan karena itu artinya Puspa belum pernah merasakan nikmatnya salah satu syurga dunia paling primitif.
Menatap bibir Puspa lama-lama, Gahar begidik ngeri teringat bagaimana bibir itu mengeluarkan muntahan yang sungguh aduh bau di jaket denimnya. Meski dalam keadaan teler begitu, Puspa seolah masih sadar untuk tidak muntah ke badannya sendiri. Tapi, ya tidak ke badan orang juga mestinya, terlebih ke badan Gahar. Sekarang meski Gahar telah membuang jaket denimnya, bau muntahan Puspa masih tercium, seolah menempel di badannya.
Gahar tinggalkan Puspa dan beranjak ke kamar mandi, berencana mandi dulu sebelum pergi karena ia sungguh jadi jijik dengan badannya sendiri.
Tubuh Gahar menjadi sangat rileks usai berendam sebentar dengan air hangat. Saat ia keluar dari kamar mandi, ia mendapati di luar sedang turun hujan lumayan deras. Dengan daada telanjang dan hanya memakai celana jeans hitamnya, Gahar menghela napas memandangi rintik hujan melalui dinding kaca geser. Tubuhnya akan basah lagi jika harus menyenerang kembali ke club untuk mengambil mobil, mau lanjut pesta juga sudah tidak menarik lagi. Maka Gahar putuskan untuk menunggu hujan reda, sembari menikmati bir kalengan yang disediakan pihak hotel.
*
Puspa merasa seperti ada yang menduduki kepalanya, rasanya berat dan sangat pusing. Puspa berusaha membuka mata dan menggeliat merenggangkan badan. Ini bangun tidur paling tidak nyaman yang pernah dialaminya. Sudah jam berapa sekarang? Kenapa kamar masih remang-remang? Puspa berguling ke kanan dan ke kiri, merasakan empuk dan halusnya tempat tidur ini. Puspa ingin tidur lebih lama lagi, toh kebetulan Puspa libur hari ini.
Deg! Di ngomong-ngomong empuk dan halus, Puspa tiba-tiba menyadari sesuatu. Kasur di kamar kost-nya tidak senyaman ini. Seketika Puspa membuka mata lebar, dan menyadari dirinya berada di tempat yang sama sekali tidak ia kenali. Ini bukan kosnya atau teman-temannya, atau kamar Oliv. Ia coba mengingat-ingat apa yang terjadi tadi malam sampai-sampai ia tidak sadar sedang berada di mana sekarang.
Puspa ingat dirinya masuk ke dalam club dengan langkah penuh keyakinan, minta bartender memberinya minuman yang pokoknya bisa membuatnya lupa sama Nando, Puspa ingat tenggorokannya rasanya seperti terbakar tapi lama-lama enak ia terbiasa dengan rasa panas itu dan tubuhnya semakin lama semakin enteng. Lalu ... lalu ... Puspa memukul-mukul kepala kesal karena ingatannya mulai samar-samar. Seingatnya, ada laki-laki yang coba menggodanya dan menyeretnya keluar.
Deg! Puspa terperanjat, matanya melotot melirik sekitar, jangan-jangan ....
Dengan panik Puspa pikir harus cepat-cepat pergi dari sini, ia merangkak turun dari tempat tidur tapi seperti ada guling yang menghalangi.
"Arrgh!"
"Ahhh!" Puspa spontan berteriak mendengar suara teriakan laki-laki, tepat ketika dengkulnya terasa menginjak sesuatu. Puspa kehilangan keseimbangan, tubuhnya melayang diiringi teriakan, sebelum akhirnya jatuh berguling ke lantai dalam posisi dan menimbulkan suara gaduh.
"s**t!" desis suara laki-laki.
Tapi, tunggu dulu, suara siapa itu? Kalau cuma halusinasi kenapa terdengar sampai dua kali dan kenapa tidak ada rasa sakit? Perlahan Puspa membuka matanya sedikit, memastikan apakah benar dia jatuh di lantai atau atau di atas guling. Di tengah ruangan remang-remang ini, pandangan Puspa jatuh tepat di atas wajah seorang lalaki. Puspa mengerejapkan mata sekali, wajah itu sangat tampan hingga sepertinya Puspa tidak keberatan menatapnya seharian. Puspa menyukai garis wajah lelaki ini yang tegas, alis hitam dan tebal membuat mata betul hazel itu tampak tajam, mata yang entah mengapa tampak femiliar. Hidungnya mancung dengan cuping ramping, turun ke bawah Puspa menemukan bibir merekah. Ganteng.
"Lo mau tidur lagi di badan gue?"
"Eh?" Puspa berdengung bodoh, lalu sedetik kemudian terlempar ke kenyataan. Puspa mendorong daada lelaki itu sambil berteriak, "Argh ... kamu siapa?" Puspa mundur menjauh sejauh mungkin. Ganteng-ganteng begitu, tatap aja dia orang asing.
Sontak Puspa meraba tubuhnya sendiri, ia menyibak bedcover hanya untuk memastikan dua kali bahwa pakaiannya memang masih menempel di badan. Hanya tiga kacing teratas kemejanya yang terbuka, tapi selebihnya semua masih sama. Buru-buru Puspa merapatkannya dengan dua tangan. Namun, itu tak lantas membuat Puspa tenang begitu saja.
"Kenapa aku bisa di sini? Kamu apain aku sebenarnya?" tanya Puspa gemetaran.
Lelaki itu mengerang bangun sambil memegangi kepala. Gimana Puspa tidak gemetaran kalau lelaki itu telanjang dadaa.
"Eh eh, mau ngapain?" Puspa makin merapatkan diri di tembok karena lelaki itu berjalan lurus ke arahnya. Bukannya menjawab atau berhenti, lelaki itu tetap mengikis jarak antara mereka hingga dia sampai tepat di depan Puspa dan mengangkat tangan kanannya ke sisi samping kepala Puspa. "Berhenti, kamu mau ngap—"
Klik! Ruangan yang tadinya remang, seketika terang benderang. Puspa menolehkan kepalanya ke samping, pada tangan lelaki itu yang baru saja menekan saklar lampu. Tanpa sadar Puspa menghela napas lega.
"Nyalain lampu," gumam lelaki itu di atas kepala Puspa.
Perlahan Puspa mendongak, lelaki ini sangat tinggi, bahkan tinggi Puspa hanya sebatas dagunya saja. Puspa mengerejapkan mata lagi, dalam suasana terang, wajah ganteng lelaki ini seolah bersinar memantulkan cahaya lampu.
"Ck, bodohnya ternyata udah bawaan," decak lelaki itu pelan sarat akan cibiran lalu bergeming dari hadapan Puspa.
"Hei, kamu siapa? Kenapa aku bisa ada di sini?" teriak Puspa menuntut penjelasan.
"Menurutmu?"
"Kalau aku ingat, aku nggak akan tanya!"
Lelaki itu menoleh lagi, masih dengan ekspresi mencibir di wajahnya. "Ck, udah tahu nggak bisa minum, lain kali kalau mau clubbing ajak orang. Biar nggak nyusahin orang lain."
"Ya nggak usah ditolongin kalau nggak mau nolongin. Aku nggak minta kamu tolongin juga kan."
"Terus lo berharap di tolong siapa?"
"Ya kan, bartender bisa bantu teleponin keluarga aku."
"Oh ya, terus bartender mesti telepon ke mana kalau lo aja nggak ada handphone?"
"Ada, kok, di tas."
Demi membuktikan ucapannya, Puspa berlari menuju tasnya yang teronggok di depat kaki ranjang. Ia merogoh mencari-cari ponselnya sampai Puspa menuang semua isi tasnya ke lantai, tapi ponselnya tidak ada. Saat Puspa menatap lelaki itu, dia menyipit dan menggeleng seolah tak habis pikir. Dan, dengan santai lelaki itu melanjutkan langkah menuju kamar mandi.
"Tunggu, jangan-jangan kamu, ya yang ambil, ya?" tuduh Puspa pada satu-satunya tersangka, ditambah ia tersinggung dengan cara lelaki itu menatapnya. Seolah-olah Puspa ini bodoh dan konyol sekali.
Di ambang pintu kamar mandi, lalaki itu menoleh hanya untuk menjawab dengan nada acuh tak acuh. "Apa gue terlihat semiskin itu buat nyuri handphone lo? Udah gue bawa ke hotel nggak ada terima kasih-terima kasihnya."
"Justru itu!" sahut Puspa responsif. "Justru kenapa kamu bawa aku ke hotel kalau nggak ada maksud? Jawab! Kenapa kamu nggak pakai baju dan tidur seranjang sama aku? Kamu udah apain aku tadi malam?" cecar Puspa merasa dirinya korban.
Lelaki itu menghela napas, seperti ingin mengatakan sesuatu tapi malas meneruskan. "Terserah, deh, lo mikir apa." Lalu, Brak! Dia menutup pintu kamar mandi tanpa memberi kesempatan Puspa bicara lagi.
Mendadak daada Puspa panas terbakar emosi. Ini tidak benar, lelaki ini sangat mencurigakan. Puspa ingat sekali, terakhir ia menggunakan ponselnya adalah di kamar Oliv, lalu sebelum pergi perasaan ia sudah memasukkannya ke tas. Lalu bagaimana bisa barang di tasnya hilang? Tentu, kalau bukan dicuri orang, ya ... ah tidak mungkin. Puspa meringis bertanya pada diri sendiri, nggak mungkin ketinggalan di kamarnya Oliv, kan?
Ah, tapi bukan itu masalah utamanya. Ini yang paling penting dan gentung sekarang adalah apa saja yang sudah terjadi selama Puspa pingsan?! Tentu yang bisa menjawab hanya si ganteng tapi jelek itu.
Puspa mencoba memusatkan seluruh pikiran untuk merasai dirinya sendiri, ada tidak yang aneh dari tubuhnya. Misalkan kewanitaan sakit, setidaknya itu kata teman-temannya yang udah melewati prosesi malam pertama. Tidak ada yang aneh. Ingin memastikan lagi, Puspa berlari ke depan cermin untuk mencari mungkin ada jejak-jejak cipokan di leher atau daadanya yang setengah terbuka ini. Puspa masuk memperhatikan tiap inchi kulitnya ketika pintu kamar mandi tiba-tiba terbuka, dan lelaki itu muncul dari sana dengan wajah segar usai dibasuh air. Segera Puspa mengancing bajunya lagi dan berbalik badan.
"Kamu belum jawab, kenapa kamu nolongin aku? Kamu jelas nggak kelihatan kayak orang baik hati. Jadi, jelasin apa tujuan kamu bawa aku ke hotel. Karena kalau kamu beneran niat nolong, di tasku ada KTP dan kamu bisa antar aku ke sana atau kalau nggak mau repot, kamu bisa bawa aku ke kantor polisi terdekat," cecar Puspa, tak akan melepas lelaki ini begitu saja.
Namun, alih-alih menjawab, lelaki itu dengan santai menyambar kaos warna putihnya dan memakainya. Selama seperkian detik Puspa tidak berkedip, terkesima melihat bagaimana lelaki itu menyusupkan kedua tangan di celah kaos dan menariknya ke atas membuat otot-otot lengan dan perutnya terlihat mengencang, sebelum akhirnya kaos itu lolos menutupi bagian tubuh seksi tersebut. Puspa memgerejapkan mata, menyuruhnya tetap fokus pada masalah.
"Hei, aku ini tanya. Nggak sopan banget ngacangin orang."
"Karena kamu bikin malu."
"Hah?" Puspa terperangah, benar-benar tidak mengerti apa maksudnya. Kenal saja tidak, kenapa Puspa yang mabuk, lelaki itu yang malu?"
Lelaki itu memutar bola mata malas. "Udah, gue harus pergi. Masalah kenapa gue bisa tidur seranjang sama lo, itu karena gue ketiduran nunggu hujan reda," ujar lelaki itu lalu berjalan menuju pintu sambil menambahkan, "Lain kali kalau mau clubbing jangan pakai seragam kerja. Merusak reputasi perusahaan aja."
"Apa?!" pekik Puspa tak terima, ia menyusul langkah lelaki itu sambil balas mengomel. Puspa berkacak pinggang, menatap rendah lelaki itu yang tengah membungkuk memakai sepatu. "Apa urusannya sama aku clubbing pakai seragam kerja? Kita kenal aja enggak. Memangnya kamu pemilik Gunamart apa?!"
"Emang iya," sahutnya, lalu berdiri tegak dan membuat gantian dia yang menatap Puspa rendah.
Puspa mendengus sinis dan tertawa gambar, tak menganggap serius pengakuan lelaki itu. Tak hanya lelaki ini, di tempat kerjanya semua orang mengaku-ngaku sebagai anak Pak Gunawan, Bos dari Bosnya Bos-Bos besar, sebagai bahan candaan sekaligus ungkapan frustrasi akan nasib terlahir dari keluarga biasa. Jadi Puspa merasa wajar saja jika lelaki ini juga mengaku-ngaku. Setahunya, Pak Gunawan punya tiga anak. Dua anak kembar, Priska yang setidaknya sekali setahun berkunjung ke Gunamart, dan Prisil yang setahunya tidak ikut mengelola Guna Grup seperti halnya Priska tapi selalu mampir untuk belanja atau makan siang setiap kali berada di Bali. Lalu ada satu anak laki-laki yang sering terdengar namamnya tapi jarang muncul wajahnya. Konon, Pak Gunawan berusaha keras menyembunyikan jati diri anak bungsunya itu mengingat hanya berita-berita negatif yang mengiringi kemunculan nama Gahar Gunawan.
Ketika lelaki itu hendak keluar, Puspa menahan. "Tunggu."
Dengan terpaksa, atau lebih dominan terlihat tak suka, lelaki itu menatap Puspa. "Apa lagi?"
Puspa berdehem. "Kamu ... kita ... tadi malam, beneran nggak terjadi apa-apa, kan?"
Sekali lagi lelaki itu memutar bola mata, kali ini disertai helaan napas pendek. "Tenang aja, lo masih perawan." Dan, dia pun pergi dari hadapan Puspa.
Puspa mengembuskan napas lega. "Untung, masih perawan," desahnya.
Baru teringat sesuatu, Puspa mengerutkan kening bingung. "Tunggu, tapi darimana dia tahu aku masih perawan?"
Ah, mungkin karena wajah Puspa yang masih terlihat lugu. Ya memang banyak yang bilang begitu.
Puspa mengangkat bahu tak peduli. Entah apa tujuan lelaki itu 'baik' padanya, yang penting keperawanan Puspa masih terjaga.