20 | Suatu Pagi

1650 Kata
Gahar mengerang sembari menggeliatkan badan, tidur tenangnya terusik oleh suara dengan ponsel. Dengan mata masih terpejam, tangannya meraba-raba sekitar dalam posisi tengkurap, menacar-cari benda yang letaknya entah ada di mana itu. Akhirnya Gahar berhasil menjangkau benda yang dicarinya itu terselip di bawah bantal. “Hmm …,” jawabnya usai menggeser icon warna hijau, tanpa sempat melihat nama si penelepon. “Siapa ini?” tanya balik si penelepon di seberang sana. “Harusnya lo tahu siapa yang lo telepon. Sialan, ganggu orang tidur aja,” maki Gahar, lantas memutus sambungan begitu saja. Ia tidak punya waktu untuk meladeni telepon iseng, ia ingin tidur beberapa menit lagi sebelum kerja. Kepalanya masih sedikit pusing. Sayangnya, suara deringan sama terdengar lagi. Entah siapa lagi yang meneleponnya. “Hmm?” “Ini telepon Kak Puspa, kan?” Dari suaranya, Gahar tahu kalau ini masih telepon dari orang yang sama. “Kamu siapa? Kenapa kamu yang angkat telepon Kak Puspa? Kak Puspa ke mana?” lanjut suara perempuan itu dengan nada panik. Makin tidak jelas dan tidak mau meladeni orang tidak jelas, Gahar kembali memutus sambungan tanpa ba bi bu. Sialnya, selang beberapa detik kemudian deringan itu berbunyi lagi. Gahar mengerang kesal, kantuknya mendadak hilang. Ia mengambil ponsel itu lagi, kemdian menyadari ada yang salah. Dengan suara deringan yang masih memenuhi ruangan, Gahar membolak-balik ponsel itu dengan kening berkerut. Sejak kapan ponselnya berubah jadi android? Dilihatnya lagi nama si penelepon, dan ia merasa asing dengan nama kontak ‘Ool’. Seketika Gahar meraba tubuhnya sendiri, waspada jangan-jangan ponselnya tertukar dengan seseorang saat semalam ia sedang minum di sebuah pub sendirian. Tetapi ternyata ponsenya itu masih ada di kantong celana. Di saat itulah, Gahar baru menyadari bahwa ia pun asing dengan tempatnya berada saat ini. Meski baru dia tiduri dua malam, ia yakin kamarnya berca warna putih bersih, bukan kuning elektrik norak. Dan lagi, apa yang menyelimutinya ini? Gahar tidak percaya semalaman ia tidur di atas sepri pink bunga-bunga dan selimut dengan karakter Sylor Moon. Jika ini bukan kamarnya, berarti ini kamar siapa? Tanya Gahar langsung terjawab saat kepalanya tanpa sengaja menoleh ke arah figura foto yang tergantung di dinding dan hanya butuh sedetik bagi Gahar untuk mengenali orang itu dan menyadari situasinya saat ini. Gahar mamaki dirinya sendiri. Semakin ia berusaha mengingat apa yang terjadi semalam, kepalanya tambah pusing. Hal terakhir yang ia ingat adalah ia kesulitan membuka kunci pintu kamar karena salah kamar dan setelah geser ke kamar sebelah pintu itu itu terbuka. Gahar baru akan bangun ketika tangannya menyentuh sesuatu aneh. Dengan muka mengernyit, Gahar mencapit benda yang tak lain adalah sebuah bra warna ungu muda. “Ih …” Gahar melempar bra itu kembali, sembarangan di tengah ranjang seperti halnya Puspa juga meletakkannya sembarangan. Gahar lantas keluar dari kamar Puspa, berniat kembali ke kamarnya sendiri. Jika Puspa tidak tidur di sini, bisa jadi Puspa tidur di kamarnya. Tok!tok! Gahar mengetuk pintu kamarnya sendiri, dan benar saja ada Puspa muncul dari balik pintu itu, memakai daster motif kepala beruang dan muka bantal. “Jangan tanya kenapa saya bisa ada di sini,” ujar Puspa penuh antisipasi, seolah-olah sudah mempersiapkan diri jika Gahar akan marah-marah. Gahar menghela napas pelan. “Enggak. Sana balik ke kamarmu.” “Udah? Gitu aja?” Puspa tak bergerak dari posisinya dan bertanya dengan nada keheranan. “Memangnya apa lagi?” Puspa tertawa seolah tak habis pikir. “Masa yang begitu saja mesti saya bilangin, sih, Pak?” “Bisa nggak nggak usah berbelit-belit?” tanya Gahar malas. “Apa? Kamu mau menuntut pertanggungjawaban karena saya salah kamar?” “Iya!” tantang Puspa. “Berapa?” Gahar menjawab tantangan itu dengan enteng. Alih-alih menjawab, Puspa malah menyipitkan mata, menatap Gahar dengan tatapan tak percaya. “Apa yang kepikiran di kepala Bapak cuma soal uang aja?” tanya Puspa terheran-heran. “Apa pertanggungjawaban bagi orang kaya itu selalu urusannya dengan uang?” Jika sudah meratap dan bawa-bawa status sosial, arahnya sudah bisa Gahar tebak. Menghela napas, lelaki itu lalu berkata, "ya udah, maaf. Oke?" Puspa mendengus, membuang muka. Tampak tak puas dengan permintaan maaf Gahar. "Udah lah, apa yang bisa diharapkan dari permintaan maaf orang kaya." Gahar menghela napas, berusaha bersabar. "Apa lihat-lihat?" Puspa menyelak dan makin menyembunyikan setengah tubuhnya di balik pintu, hanya kepalanya saja yang menyembul keluar. Sekali lagi, Gahar menghela napas. "Sampai kapan mau di sana? Itu kamarku, kamarmu ada di situ." Gahar menunjuk arah kamar Ditrisya. Seperti tersadar akan sesuatu, Ditrisya mengerejapkan mata pelan. "Tunggu, jangan masuk dulu." "Hah?" Brak! Puspa menutup kembali pintu kamar Gahar, tanpa menyempatkan diri menjawab kebingungan lelaki itu. Dengan sabar Gahar menunggu di depan pintu dengan tangan bersendekap di daada, hingga kemudian pintu itu akhirnya terbuka. Puspa muncul dengan gulungan besar seprai dan selimut di pelukannya, serta handuk putih Gahar melilit pinggangnya. Gahar menatap Puspa penuh tanya. "Apa-apaan ini? Mau kamu bawa ke mana seprai dan selimutku?" "Mau aku cucikan," sahut Puspa ketus. "Bapak pasti nggak suka tidur di bekas orang lain, kan?" "Terus ini?" Gahar menunjuk handuk yang melilit pinggang Puspa, mengabaikan alasan tak masuk akal Puspa sebelumnya. "Kamu nggak ngompol di kasur saya, kan?" "Enggak lah." "Atau kamu punya penyakit menular?" "Enak aja!" bantah Puspa defensif. "Kalau enggak balikin semua ini kembali ke tempat semula. Saya belum beli seprai cadangan, kalau kamu ambil ini, saya mau tidur pakai apa?" "Nanti saya pinjami punya saya." Kepala Gahar yang masih pusing, makin dibuat pusing oleh tingkah aneh Puspa. Gahar memejam rapat sambil menekan pelipis kuat. "Puspa Dewinta, kamu aneh sekali, tahu nggak? Selagi kamu nggak ngompol dan nggak punya penyakit menular, taruh semua ini lagi." "Enggak, pokoknya mau saya cuci dulu sebelum saya balikin. Minggir, saya mau lewat." Entah sengaja atau tidak, Puspa menabrakkan bahunya mengenai lengan Gahar saat berlalu melewatinya dengan langkah lebar-lebar. Akibat gerakannya yang sembrono itulah kaitan handuk di pinggangnya terlepas dan jatuh ke lantai membuat Puspa memekik keras. Buru-buru Puspa memungur handuk itu lagi dan lari terbirit-b***t ke kamarnya. Brak! Puspa membanting pintu, membiarkan Gahar terpaku lantaran sempat melihat bercak darah di bagian b****g daster Puspa. Barulah saat itu Gahar menganggap tindakan Puspa memaksa ingin mencuci seprainya adalah wajar. Bukan mengompol ataupun penyakit menular, ternyata seprainya ternodai darah menstruasi Puspa. Gahar baru hendak masuk ke kamarnya, ketika terdengar suara teriakan melengking dari arah kamar Puspa. Tingkah Puspa itu membuat Gahar mengelus daada, kok ya ada orang seaneh itu. *** Puspa sangat malu. Seolah tak cukup mempermalukan diri dengan hari pertama menstruasi keluar saat ia tidur di kasur Gahar, plus lelaki itu sempat melihat darah menembus dasternya, Puspa membuat dirinya lebih malu lagi saat hal pertama yang dilihatnya begitu membuka pintu kamarnya adalah penutup dua bukit kembarnya yang teronggok di tengah-tengah ranjang. Tidak mungkin jika Gahar tidak melihat benda itu. Sialan, bisa-bisanya Puspa lupa kalau sebelumnya ia menaruh bra di tempat tidur. Ah, tidak. Yang sialan tentu saja Gahar. Salah dia karena mabuk dan salah kamar, bukan salah Puspa mau meletakkan barang pribadinya di mana pun mengingat ini adalah kamar pribadinya. Baru sesaat Puspa mensugesti diri, Puspa kini kembali mengacak rambut frustrasi. Tetap saja secara tidak langsung Gahar bisa tahu ukuran bukit kembarnya, dan yang namanya laki-laki, pasti otaknya juga membayangkan isinya. Kalau benar begitu, sama saja Puspa telanjang di depan Gahar. Sekarang, bagaimana Puspa punya muka menghadapi Gahar. Di saat kejadian semalam seharuanya membuat Gahar lah yang malu bertemu dengannya. Masalah lainnya, Gahar rupanya tadi mengangkat telepon Oliv dan sekarang Puspa harus kerepotan menjelaskan kejadian sebenarnya pada Oliv yang terlanjur salah paham. "Jadi si tetangga ganteng tapi sombong itu orangnya?!" "Iya." "Kok bisa?!" pekik Oliv yang Puspa yakini pasti sedang sangat berlebihan ekspresinya sekarang. Puspa memejam setengah frustrasi. "Liv, barusan banget udah aku bilang, kan. Tadi malam dia mabuk terus salah kamar, pas aku mau bantuin dia buka pintu kamarnya, eh dia nyelonong ngunci diri di dalam kamar aku." Puspa menjelaskan ulang. "Iya, makanya itu tadi aku juga bilang. Kok bisa?" "Bisa, buktinya kejadian." "Ah, aku nggak percaya." "Terserah," sergah Puspa lelah. Ia mematikan telepon Oliv dan sekalian meangtifkan mode senyap karena ia yakin Oliv pasti akan menerornya lewat telepon atau pesan beruntun. Puspa berani bertaruh Oliv akan lebih heboh dari ini jika tahu Gahar adalah bosnya. Daripada meladeni Oliv dengan segudang kecurigaanya, Puspa punya banyak hal harus dilakukan di waktu singkat. Ia harus mencuci seprai, selimut, dan handuk Gahar supaya nanti malam bisa kering dan langsung digunakan. Lalu jam 2 siang nanti ia harus sudah sudah tiba di Gunamart untuk bekerja lagi. Tok! Terdengar suara ketukan pintu dua kali. "Siapa?" tanya Puspa malas berdiri. "Saya." Seketika Puspa mengaduh tanpa suara, belum siap berhadapan dengan Gahar sekarang juga. "Emm ... ada apa?" "Bisa buka pintunya sebentar?" "Katakan saja mau apa, saya sedang repot." Repot menahan malu, tambah Puspa dalam hati. Bahlan terpisah pintu begini, Puspa bisa mendenger decakan lidah kesal Gahar. "Kamu mengambil handuk punya saya. Gimana saya mau mandi sekarang? Saya nggak mungkin langsung pakai baju dalam keadaan badan basah." Sebenarnya bisa saja, ada banyak cara untuk mengakali mandi tanpa handuk toh kamar mandinya ada di dalam kamar. Namun, urusan akan makin panjang jika Puspa berusaha menjelaskan. Maka Puspa segera berdiri untuk menarik satu handuk bersih dari dalam lemarinya untuk kemudian ia berikan pada Gahar. "Ini, bersih baru keluar dari lemari." Puspa menyodorkan lipatan rapi handuk itu pada Gahar. Gahar menatap tak percaya benda apa yang kini ada di tangannya. "Kamu nggak punya handuk lain?" "Kenapa? Apa salahnya handuk ini?" Puspa mengendus bau handuk itu yang masih segar khas aroma pelembut pakaian. "Ini beneran baru kok, bersih." "Ck, iya bersih, tapi masa kamu kasih saya handuk Doraemon begini, sih?" Puspa memutar bola mata malas. "Astaga, kirain apa." Namun, jika dibayangkan sepertinya lucu juga jika Gahar keluar dari dalam kamar mandi dalam keadaan tubuh basah dengan atasan polos memamerkan tubuh tegap dan berotot milik Gahar, tapi bawahnya ada gambar Doraemon besar. Pusp berdehem agar tidak kelepasan tertawa. "Kalau nggak mau, mana sini. Lagian cuma buat lap badan ribet sekali," keluhnya. Dengan wajah mengetat kesal, Gahar membawa handuk itu ke kamarnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN