Puspa mengerejapkan mata, apa ia tidak sedang salah lihat?
Ia tadi hanya sempat makan mie instan dalam cup—satu-satunya makanan yang masih tersedia di kantin, touch up seadanya cuma pakai lipstik, supaya bisa cepat-cepat balik ke area. Puspa tidak menghitung berapa lama ia pergi, sepertinya hanya sekitar tiga puluh menit. Dan, saat Puspa kembali ke area, ia mendapati pemandangan baru yang tak ia sangka-sangka. Ternyata, Gahar, store manager barunya itu bisa tersenyum juga ternyata.
Puspa sengaja menahan langkahnya hanya untuk memuaskan mata melihat Gahar tengah tersenyum melayani tiga orang customer, seorang ibu-ibu dan dua gadis muda yang sepintas masih umur belasan tahun. Tampak Gahar terlibat pembicaraan ringan dengan customer tersebut, tentu saja lengkap dengan senyum hangat di wajahnya. Padahal dia punya senyum yang manis, jika Gahar lebih banyak menunjukkannya, pasti semua orang akan mudah menyukainya.
Berhubung keberadaannya sudah ditangkap oleh pandangan Gahar, Puspa terpaksa menyudahi memandangi pemandangan langka itu dan bergabung dengan Gahar di counter. Bersamaan dengan kedatangan Puspa, tampaknya urusan customer itu sudah selesai.
“Nggak ada masalah, kan, Pak?” tanya Puspa usai customer itu pergi dan lenyap lah senyum di wajah Gahar.
“Apa kalian biasa istirahat secepat itu?” Gahar malah bertanya balik.
“Jam istirahat biasanya satu jam, Pak. Cuma karena jam 5 tadi saya udah istirahat jadi saya tadi cuma makan aja. Masa saya istirahatnya tiga kali.”
“Seharusnya kalau saya nggak telepon, kamu nggak usah buru-buru balik.”
“Enggak apa-apa, Pak. Lagian kadang-kadang kami memang cuma punya waktu istirahat kurang dari setengah jam aja. Tepatnya sih, sejak yang lain pada resign dan karyawan yang sisa terbatas sekali.”
“Terus kalian nggak masalah pulan telat dan istirahat Cuma sebentar begitu?”
Puspa tertawa kecil. “Paling ngomel dan ngeluh sedikit, manusiawi lah ya, Pak. Tapi kami maklum, kok, keadaan memang sedang begini dan toh nggak setiap hari.”
“Meskipun nggak setiap hari, istirahat tepat waktu dan pulang tepat waktu itu hak kalian sebagai pekerja. Itu bukan sesuatu yang mestinya dimaklumi,” gumam Gahar tanpa melihat wajah Puspa, kesannya seperti mengedumel sendiri.
Puspa mengembuskan napas. “Ya mau gimana lagi …,” desah Puspa.
“Tadi ada satu orang tukar hadiah. Struknya udah aku gunting dan taruh di tempat yang kamu bilang,” ujar Gahar sebelum beranjak pergi begitu saja tanpa kata apa-apa lagi.
Puspa memandangi punggung Gahar yang kian menjauh. Beberapa menit lalu, Puspa melihat hal lain dari sosok pemilik punggung itu. Sesuatu yang hanya karena tidak pernah ditampakkan bukan berarti tidak dimilikinya. Puspa berharap akan melihat lebih banyak hal tak terdua dari Gahar. Hal tak terduga dalam arti baik tentunya.
Alih-alih melihat Gahar jalan menuju pintu office, dilihat Puspa, Gahar malah jalan pelan keliling area.
Usai menggantikan Puspa tadi, sebenarnya tidak ada yang harus Gahar lakukan lagi di sini. Tetapi alih-alih pulang atau mengajak temannya minum seperti yang telah ia rencanakan, Gahar malah berjalan pelan kembali berkeliling area toko yang tentu saja sama saja sejak terakhir ia berkeliling yaitu kemarin malam. Bedanya, kali ini yang ingin Ahyar lihat-lihat bukanlah deretan produk yang terpajang, ataupun menghitung customer sekaligus melirik isi troli mereka, melainkan untuk melihat bagaimana karyawannya bekerja tanpa ada niat ingin cari-cari kesalahan mereka.
Ia bertanya-tanya, apakah Puspa satu-satunya karyawan yang punya loyalitas tak terbatas atau semua karyawan juga begitu.
***
Jam sepuluh lewat dua puluh menit akhirnya Puspa bisa menghirup udara bebas di luar Gunamart. Udara terasa lebih dingin dari biasanya sebab sebelumnya turun hujan, terlihat dari aspal dan permukaan lain yang basah. Jika dalam kondisi normal, Puspa pasti akan sengaja berlama-lama di luar. Sayangnya, saat ini hal yang paling ingin ia lakukan adalah pulang, mandi, dan tidur. Mungkin karena saking lelahnya Puspa tidak merasa lapar padahal kebiasaanya tiap shift malam adalah makan malam lagi usai pulang kerja.
Tubuh Puspa baru benar-benar nyaman saat ia berbaring di kasur, seluruh otot-otot tubuh serta pikirannya rileks. Puspa hampir terlelap ketika ia tiba-tiba mendengar suara benda jatuh cukup keras, lalu disusul suara seseorang mengumpat. Suara yang sangat Puspa kenali sebagai suara milik Gahar. Puspa berusha mengabaikan suara itu, tetapi tiba-tiba suaranya berpindah sangat dekat seperti berada tepat di depan kamarnya sehingga Puspa akhirnya coba memeriksa apa yang tengah Gahar lakukan sebenarnya. Saat ini sudah pukul 12 malam.
"Pak? Ngapain?" tanya Puspa saat membuka sedikit pintu kamarnya dan mendapati Gahar tengah berjongkok di depan pintu, dengan tangan mengacungkan kunci. Dan, saat lelaki itu mendongakkan kepalanya menghadap Puspa, Puspa tahu bahwa dia sedang setengah mabuk.
"Lho, kok?" Gahar menunjuk Puspa dengan tampang bingung.
"Bapak mabuk?" Entah apa yang sebenarnya coba Puspa pastikan di saat wajah merah serta mata sayu Gahar telah menunjukkannya. "Bisa ya, Pak, mabuk-mabukan padahal besok mesti kerja?"
Puspa menghela napas dan menggelengkan kepala pelan, berusaha maklum bahwa saat ini bosnya itu sedang dalam pengaruh alkohol. "Kamar Bapak yang itu, ini kamar saya."
"Bukan, kuncinya nggak cocok. Ini kamar gue, buktinya kebuka."
"Jelas aja kebuka, karena saya yang buka dari dalam," jelas Puspa mulai geregetan. "Sini, biar saya yang bukain." Puspa menyahut begitu saja kunci di tangan Gahar dan kemudian beranjak ke depan kamar lelaki itu. Dengan mudah Puspa berhasil membukanya, tapi saat ia menoleh pada Gahar ingin menunjukkan bahwa pintu kamarnya telah terbuka, Puspa melihag Gahar malah memasuki kamarnya. "Eh
... Eh ..., Pak, itu kamar saya!"
Terlambat bagi Puspa memperingatkan, pintu kamarnya keburu ditutup oleh Gahar dan dikunci dari dalam. "Pak, Bapak salah kamar," ucap Puspa usai mengetuk-ngetuk pintu karena Gahar rupanya telah mengunci pintu itu dari dalam. "Pak—" Suara serta ketukan Puspa di daun pintu seketika terhenti saat mendengar suara bayi. Mendadak ia merasa tidak enak sendiri. Bagaimana pun ini surah larut dan ia berada di kost-kostan di mana ada penghuni lain butuh ketenangan di jam istirahat.
Gahar benar-benar gila, bisa-bisanya dia mengira kamar Puspa adalah kamarnya. Sekarang Puspa harus bagaimana? Ia tidak mungkin bermalam di luar, di tengah udara dingin seperti ini. Tapi masa iya, ia tidur di kamar Gahar?
Puspa duduk putuskan untuk menunggu sebentar, barangkali sebentar lagi Gahar sadar kalau dirinya salah kamar. Namun, beberapa lama menunggu, tidak ada tanda-tanda Gahar akan keluar. Puspa melirik kamar Gahar yang pintunya telah terbuka, sepertinya memang tidak ada pilihan lain, selain ia tidur di sana malam ini.
Puspa berkeliling di kamar Gahar yang bentuk dan ukurannya sama persia dengan kamarnya. Namun tentu, isi, suasana, dan aromanya berbeda. Semua perabot di sini, dari kasur, lemari, TV, meja, semuanya tampak baru dibeli. Entah tidak sempat atau memang malas, barang-barang Gahar masih tersimpan dalam dua kopernya, sementara lemari pakaian dibiarkan kosong. Sementara baju-baju kotor menumpuk di keranjang dekat toilet. Pun dengan sampah-sampah bekas makanan masih ada di tempah yang terlapisi plastik khusus.
Puspa hanya bisa geleng-geleng melihat semua kekacauan di kamar ini. Sepertinya sang pangeran memang tidak terbiasa mengurus segala sesuatu sendiri.
“Bukan mauku tidur di sini, dan aku nggak tahu bisa apa enggak tidur di kasur orang lain. Jadi nggak apa-apa, Pus. Mari kita tidur,” ujar Puspa, binicara pada dirinya sendiri sebelum naik ke atas tempat tidur milik Gahar yang tampak bersih. Dan setelah kepalanya rebahan di atas bantal, ternyata tak Cuma bersih, tempat tidur ini juga wangi. Wangi parfum khas laki-laki yang segar. Empuk, halus, dan nyaman sekali.
Tubuh Puspa terlalu lelah untuk memusingkan nyaman atau tidak nyaman tidur di ranjang milik orang lain, dengan mudah ia jatuh terlelap.
Awas saja kalau sampai besok Gahar berlagak lupa dan malah marah-marah menemukan dirinya tidur di kamar yang salah. Sebab yang sepatutnya marah adalah Puspa.