21 | Berteman

2477 Kata
Puspa mendongak menatap langit yang terik dengan perasaan tenang, jika begini, ia yakin saat Gahar pulang keja nanti seprai, selimut, dan handuk Gahar pasti akan kering. Puspa hanya tinggal berpesan bahwa Gahar bisa langsung mengambilnya dari jemuran, barangkali dia yang pulang duluan. Setiap bulannya, Puspa, dan pasti juga beberapa wanita di luar sana pasti punya sakit langganan yang datangnya di hari pertama sampai ketiga menstruasi. Perutnya kram hingga rasa sakitnya menjalar samapai ke punggung dan kepala. Biasanya jika tidak sedang kerja, biasanya Puspa akan mengompresnya menggunakan botol berisi air hangat yang ia bungkus handuk, sambil meringkuk di ranjang. Tetapi kalau rasa sakit itu datangnya bertepatan dengan jam kerja, Puspa hanya bisa menahannya. “Kak Pus, istirahat aja dulu sana,” ujar Tina yang tak tega melihat wajah pucat Puspa. Untungnya shift malam ini Puspa tidak kerja sendiri. “Nggak apa-apa, sebentar lagi hilang.” Puspa masih bisa menahannya. “Duh, susah banget, sih, dibilangin. Udah nggak bisa berdiri padahal.” Puspa tidak menghiraukan Tina lagi dan fokus mengelola rasa sakitnya dengan mengolah pernapasan. Gadis itu berjongkok di sudut counter, menekan kuat perutnya sendiri. “Pst … Kak Pus, berdiri berdiri, ada rombongan SM sama manager lagi jalan ke sini,” ujar Tina sambil mengatur posisi berdiri tegap. Dengan terpaksa, Puspa ikut berdiri di sebelah Tina. Sejurus kemudian Gahar dan 3 orang manager yang salah satu diantaranya adalah Bu Shinta itu singgah di counter mereka. “Shift berdua atau salah satu mau pulang?” tanya Gahar. “Kebetulan malam ini berdua, Pak.” Gahar mengangguk mengerti, lalu pertanyaan disambung oleh Bu Shinta. “Kamu nggak dandan, Pus?” “Eh? Pucat ya, Bu?” Puspa sontak memegani pipinya sendiri, seingatnya tadi ia sudah mewarnai bibirnya dengan lipstick dan membubuhi pipinya sedikit dengan blush on. “Touch up dulu sana,” ujar Bu Shinta. “Nanti baliknya langsung bantu di fresh. Lagi nggak terlalu ramai, CS cukup satu orang aja.” “Saya aja yang ke fresh, Bu.” Tina berinisiatif menggantikan Puspa mengingat kondisi Puspa sedang kurang sehat. “Enggak, biar Puspa aja. Kamu belum hafal kode-kode timbangan sama sekalian biar bantu potong buah.” “Iya, Bu, siap,” sahut Puspa, tidak bisa bilang tidak. “Sakit?” Sambung Gahar, memperhatikan wajah serius sampai-sampai keningnya berkerut. “Enggak, kok, Pak. Mungkin make up saya ketipisan. Kalau begitu, saya permisi dulu.” Puspa mengangguk sopan pada atasan-atasannya itu sebelum berlalu ke toilet membenahi penampilannya. Puspa tidak boleh egois memanjakan rasa sakit, apalagi kalau hanya sekadar kram karena menstruasi. Nanti rasa sakitnya juga hilang-hilang sendiri. Lagipula, ia memang tidak boleh sakit lantaran situasi kerja saat ini tidak mengizinkannya. Jika satu saja orang izin sakit, maka kacau lah jadwal karena ada yang berkorban menggeser jam kerja timnya untuk mengisi kekossongan.  Sebelum kembali ke area usai berdandan sedikit, Puspa juga mengganti pemalutnya agar nyaman. Rasa nyeri ini biasanya akan hilang-hilang sendiri setelah beberapa jam, Puspa hanya perlu mengalihkan rasa sakit ini dengan kesibukan.  "Halo, ganteng," sapa Puspa ramah, menghampiri dua orang staff deartemen makanan segar, sesi buah dan sayur-sayuran.  "Eh, Pus. Kamu bantu di sini?" tanya Indra, melihat Puspa langsung mengambil sarung tangan karet dan masker di tempatnya. "Iya, disuruh emak kalian." "Ya udah bagus, mending di sini. Di CS kamu mau ngapain juga coba?" Puspa hanya mendecakkan lidah dan memilih tak menanggapi hal sama berulang-ulang. Seperti apapun ia mencoba menjelaskan, orang-orang tidak akan paham karena memang kelihatannya CS tidak banyak yang dikerjakan. *** Puspa salah, bukannya mereda. Kram di perutnya malah makin menjadi-jadi hingga menimbulkan rasa mual dan pusing. Keringat dingin bercucuran keluar dari pelipianya, kendati suhu udara di area ini lebih dingin daripada area lain. Puspa berusaha tetap fokus menjalani pekerjaannya, sebab di tangan kanannya kini memegang pisau. Kehilangan konsentrasi sedikit saja, bisa-bisa jarinya yang terpotong. Terlebih saat ini ada Gahar, dan manager lain tengah serius membahas sesuatu tak jauh dari mereka sehingga membuat Puspa merasa selalu diawasi. Nyatanya, Puspa memang selalu diawasi. Gahar yang selalu mengasinya. Sambil mendengarkan orang di sekitarnya bicara, Gahar sesekali melirik ke arah Puspa. Gadis itu jelas terlihat tidak baik-baik saja, dan beberapa kali Gahar menangkap Puspa mengelap keringat di pelipisnya. Seseorang tidak akan mudah berkeringat di ruangan sedingin ini, kecuali dia sedang tidak enak badan. Dan benar saja, tubuh Puspa oleng menyamping. Untungnya sempat ditangkap oleh teman di sebelahnya sehingga tidak sampai jatuh ke lantai. Gahar bersama manager lain segera memeriksa keadaan di sana. "Puspa kenapa?" tanya Bu Shinta. "Sakit kayaknya, Bu. Badannya dingin banget," jawab rekan yang menangkap tubuh Puspa barusan. Masih dipegangi oleh Indra, Puspa berusaha berdiri tegak dengan mata berkunang-kunang. "Bu, saya izin istirahat sebenta—" Puspa tak sempat menyelesaikan kalimatnya karena keburu pingsan. Semua orang di sana, termasuk dua orang customer yang tengah menimbang sayur pun kaget dibuatnya. "Biar saya saja. Lanjutkan pekerjaanmu." Dengan sigap Gahar mengambil alih memegangi tubuh Puspa, tepat ketika Indra hendak membopongnya keluar area. Dalam sekali gerakan, Gahar dengan mudah menggendong tubuh Puspa ala bridal meninggalkan area. Setiap pasang mata yang berpapasan dengannya menatapnya dengan penasaran, seperti bertanya-tanya apa yang terjadi pada gadis dalam gendongannya itu, sekaligus mengapa store manager yang sampai menggendongnya sendiri—bagi karyawan yang kenal Gahar. Gahar menidurkan Puspa di ruang kesehatan, di sana hanya ada satu ranjang kecil dan rak obat-obatan. Gahar melepaskan masker Puspa agar dia bisa bernapas lebih leluasa, saat itulah makin jelas terlihat betapa pucatnya wajah gadis ini. "Kenapa dia tidak bilang sakit?" ujar Bu Shinta begitu menyusul masuk, entah ditujukan pada siapa. "Wajahnya jelas-jelas pucat, siapapun tahu dia sedang sakit," geram Gahar, secara tersirat menyalahkan Bu Shinta yang malah menyuruh Puspa touch up dan pindah ke area lebih sibuk. "Kalau Anda terbiasa kerja membawahi banyak orang, Anda akan selalu curiga bahkan sama yang ngaku sakit sekalipun." "Apa? Yang benar saja?"  Gumaman lemah Puspa menghentikan debat singkat antara Gahar dan Bu Shinta. Kepala Puspa masih pusing tapi ia memaksa membuka mata, tak mau menjadi sumber keributan. "Pak, Bu ... saya nggak apa-apa. Maaf ..." "Ngapain kamu minta maaf? Bukan salah kamu kalau kamu sakit," sergah Gahar setengah emosi. "Kamu sudah nggak apa-apa? Ini minum dulu," tanya Bu Shinta pada Puspa sambil memberikan sebotol air mineral yang dibawanya. Perlahan, Puspa berusaha duduk bersandar pada tembok. "Saya nggak apa-apa, Bu. Saya hmm ... sedang mens, kayaknya sama anemia," jawab Puspa memangku botol minumnya. "Kamu butuh obat atau sesuatu, nggak?" "Sepertinya ada obat penambah darah, nanti saya bisa minum itu, Bu." Bu Shinta lantas bergerak menuju rak obat dan mengambilkan obat yang dimaksud. "Kalau belum makan, nanti saya mintakan orang bawakan kamu makanan." "Saya sudah makan, Bu. Beneran ini cuma karena kram menstruasi, saya nggak tahu kenapa bisa sampai pingsan," ujar Puspa penuh penyesalan sekaligus tak enak hati. Seumur-umur kerja, baru kali ini ia pingsan. Di area kerja pula. "Saya izin istirahat sebentar ya, Bu. Nanti kalau udah mendingan saya kerja lagi." "Kalau nggak kuat pulang aja, jangan lupa bawa surat dokter pas kerja masuk lagi." Sontak Gahar memicingkan mata mendengar ucapan Bu Shinta. Bahkan saat sudah pingsan begini, dia masih curiga. Bu Shinta memang terlihat seperti bisa diandalkan, tapi di beberapa poin, Gahar tidak menyukainya. "Iya, Bu," jawab Puspa akhirnya. Bu Shinta menatap Puspa sekali, lalu beralih mengangguk pada Gahar, pamit keluar dari ruangan itu lebih dulu. Kepergiannya membuat Gahar hanya bisa geleng-geleng kepala, bagaimana bisa ada manusia sedingin itu. "Apa kamu ngelihatin saya?" tanya Ahar sewot saat menyadari Puspa menatapnya. "Bapak nggak pergi juga?" Gahar hanya mendesah, dan menyahut botol minum yang sedari tadi hanya Puspa pegang. Ia memutar segel penutupnya dan memberikannya lagi setelah tutupnya terbuka. "Nih, minum dulu." Dengan patuh, Puspa minum sedikit. "Minum lagi lebih banyak." Dan Puspa pun kembali menurutinya. Usai memastikan Puspa minum dengan cukup, Gahar mengambil botol itu untuk ditutup lagi lalu meletakannya di meja samping tempat tidur kecil ini. "Apa kamu selalu begini tiap menstruasi?" "Enggak juga, Pak. Mungkin karena sebelumnya sedikit kecapekan." "Makanya jangan terlalu rajin jadi orang. Kerja saja sesuai kamu dibayar berapa, Gunamart nggak akan langsung bangkrut hanya karena satu departemen nggak ada sales sehari." Puspa hanya bisa menunduk dalam. "Baru kali ini saya lihat bos nggak suka anak buahnya rajin," gumam Puspa pelan, seperti bergumam pada dirinya sendiri, tapi tentu gumaman itu tak cukup pelan sehingga tak sampai ke telinga Gahar. "Ada batas antara rajin sama kerajinan." Gahar berkacak pinggang, benar-benar marah untuk sebab yang belum sepenuhnya diterima Puspa. "Udah tiduran dulu sana. Kamu bikin saya beneram merasa mengeksploitasi karyawan tahu nggak?!" "Iya, Pak ...." Puspa memilih tak membantah, tak punya tenaga untuk melakukannya. "Jangan iya-iya aja tapi nggak gerak." "Ehm, Bapak nggak pergi?" Puspa merasa tak nyaman jika Gahar masih di sini. "Saya pergi setelah kamu tiduran." "Tapi, Pak ..., iya, Pak," ucap Puspa menggantung, tiba-tiba mengurungkan niatnya berdebat. Mengabaikan rasa tak nyaman diperhatikan atasan, pelan-pelan Puspa merebahlan kembali kepalanya ke atas ranjang. Dan Gahar benar-benar pergi setelah itu. Puspa menghela napas lega dan akhirnya bisa memejamkan mata dengan tenang. *** Gahar menghela napas dan menyenderkan bahunya pada kusen pintu kamar kostnya. "Kamu beneran nggak ada seprai lain selain itu?" "Ada, sih. Gambar kodok Keroppi. Bapak mau?" Sekali lagi Gahar mendesah dan mengibaskan tangan. "Sudah lah, selesaikan cepat karena gue mau istirahat." Gahar lalu memutar badan menghadap luar, sebal tapi tak bisa mencegah Puspa memasang seprai bergambar si gendut Winny the Pooh. Entah apa yang membuat orang dewasa seperti Puspa masih terobsesi memakai barang-barang bermotif kekanakan Selagi menunggu Puspa menyelesaikan pekerjaannya, Gahar duduk di undakan teras sambil mengeluarkan sebatang rokok dari bungkusnya. Hujan-hujan dan sepi begini, tentu saja paling enak mencari kehangatan lewat bakaran nikotin. Gahar menyesap rokoknya dalam-dalam, laku mengembuskannya perlahan. Menciptakan kepulan asap putih yang bergulung-gulung ke atas, sebelum akhirnya lenyap menyatu dengan udara. Gahar baru menyadarinya hari ini, kurang dari seminggu di Bali, konsumsi rokoknya tak terkendali. Tahu-tahu isinya habis saja. Padahal sebelumnya Gahar hanya mengonsumsi dua atau tiga batang sehari. Tapi sejak kemarin, tiap kali Gahar bingung mau melakukan apa, yang dilakukannya adalah melamun sambil merokok. Sekali lagi Gahar mendesah dan mengibaskan tangan. "Sudah lah, selesaikan cepat karena gue mau istirahat." Gahar lalu memutar badan menghadap luar, sebal tapi tak bisa mencegah Puspa memasang seprai bergambar si gendut Winny the Pooh. Entah apa yang membuat orang dewasa seperti Puspa masih terobsesi memakai barang-barang bermotif kekanakan Selagi menunggu Puspa menyelesaikan pekerjaannya, Gahar duduk di undakan teras sambil mengeluarkan sebatang rokok dari bungkusnya. Hujan-hujan dan sepi begini, tentu saja paling enak mencari kehangatan lewat bakaran nikotin. Gahar menyesap rokoknya dalam-dalam, laku mengembuskannya perlahan. Menciptakan kepulan asap putih yang bergulung-gulung ke atas, sebelum akhirnya lenyap menyatu dengan udara. Gahar baru menyadarinya hari ini, kurang dari seminggu di Bali, konsumsi rokoknya tak terkendali. Tahu-tahu isinya habis saja. Padahal sebelumnya Gahar hanya mengonsumsi dua atau tiga batang sehari. Tapi sejak kemarin, tiap kali Gahar bingung mau melakukan apa, yang dilakukannya adalah melamun sambil merokok. "Sudah selesai, Pak," seru Puspa riang, akhirnya menyelesaikan tugas terakhirnya hari ini. Jika saja langit yang semula cerah tidak mendadak hujan, pasti seprai Gahar sudah kering sehingga ia tidak perlu mengeluarkan seprainya. Gahar menoleh pada Puspa, dia kelihatan berbeda dengan Puspa sore tadi. "Kenapa Bapak ngelihatin saya kayak gitu?" Puspa berdehem menyelipkan sejumput rambutnya ke telinga, serba salah tingkah dipandangi Gahar. "Kamu ... jangan-jangan yang tadi sore itu cuma pura-pura, ya?" "Yang tadi sore?" "Pingsan biar bisa dapat istirahat tambahan." "Astaga," Puspa tersedak oleh ludahnya sendiri saking terkejutnya, tak menyangka mendapat tuduhan keju seperti itu. "Ya enggak lah, Bapak nggak tahu sih gimana rasanya jadi cewek. Bapak harus ngerasain sendiri gimana rasanya kram menstruasi, baru Bapak boleh bilang saya cuma pura-pura." Gahar membuang muka, menyembunyikan semburat senyum kecil di wajahnya. Tentu saja tuduhannya itu cuma bercanda, ia tidak sepolos itu untuk urusan wanita. Lagipula, wajah Puspa sore tadi tidak bisa bohong. "Mau?" Gahar mengacungkan bungkusan rokoknya yang terbuka. "Nggak salah, Pak, nawarin bungkos rokok kosong?" Gahar terkekeh kecil dan menurunkan acungan bungkus rokoknya yang kosong itu. "Mau buangin nggak maksudnya. Lagian, gue tahu lo pasti nggak ngerokok." Puspa memutar bola mata malas. "Nggak, deh, Pak. Terima kasih." Gahar tertawa lagi, dan di titik ini ia mulai curiga jangan-jangan yang dihisapnya ini bukan rokok biasa, tapi sesuatu yang bisa membalik mood menjadi tiba-tiba happy. "Duduk, Pus. Lo ini pura-pura nggak ngerti atau emang nggak ngerti, gue nawarin lo rokok itu biar lo temenin gue." Lihat, baru beberapa saat lalu tertawa-tawa, sekarang marah-marah lagi. Ih, ngeri. "Bapak ... pengen saya duduk di sini?" "Ck, nggak usah Bapak-bapak. Kita lagi nggak di tempat kerja. Nambah-nambagin stress gue aja, lo," omel Gahar. Puspa menghela napas sembari menyugesti diri agar bersabar. Gadis itu lalu duduk di undakan yang sama dengan Gahar, menyisakan jarak sekitar dua meter di antara mereka. Bagaimanapun juga, Puspa merasa segan karena Gahar adalah bosnya. "Kalau saya nggak panggil Bapak terus panggil apa, dong? Kita kan bukan teman." "Ya udah mulai sekarang kalau nggak sedang di tempat kerja, anggap gue teman lo." "Serius Bapak mau temenan sama saya?" Gahar melirik Puspa tajam disertai desisan sebal. "Sekali lagi lo panggil gue Bapak-bapak, lupain gue pernah suruh lo anggap gue teman." "Eh enggak-enggak, maaf." Puspa menyengir lebar. "Habisnya, aneh banget, sih. Kenapa Ba— eh, kamu mau temenan sama aku? Aku sendiri juga nggak pernah mimpi bisa temenan sama anak Pak Gunawan." "Anggap aja karena gue kesepian di sini nggak punya teman. Di tempat kerja juga, semua orang kalau udah lihat gue bawannya sensi ingin pergi jauh-jauh." "Eh?" degung Puspa, menuntut penjelasan lebih. Gahar tak langsung merespon, ia terdiam selama dua kali hisap dan embus rokoknya. "Lo tahu kenapa gue bisa tinggal di kost jelek ini dan tetanggaan sama lo, padahal kayak yang lo bilang tadi, gue ini anak Pak Hartawan?" "Kenapa emangnya?" "Karena gue nggak punya uang," terang Gahar dengar pandangan menerawang. "Saldo di ATM yang gue pegang cuma ada dua juta." "Kok bisa?" "Bisa aja kalau kakak lo adalah Priska. Dia sengaja membuat gue hidup miskin, katanya biar gue belajar. Konyol." "Ah ...," gumam Puspa langsung paham maksud Gahar. "Tapi bukannya kamu bisa minta tolong temanmu yang lain, ya? Aku yakin mereka pasti bisa bantu pinjami uang." "Tadinya gue juga mau begitu ...," jawab Gahar menggantung. "Terus kenapa nggak jadi?" Gahar mesem kecil lalu menggeleng pelan sambil melempar tatapan pada Puspa. "Gue mau membuktikan apa pembelajaran ini efektif atau enggak merubah gue lebih mandiri dan tanggung jawab sama hidup gue." "Pantesan,, dari awal aku udah aneh banget. Orang kayak kamu nggak mungkin mau tinggal di tempat seperti ini." "Orang kayak gue?" Gahar meng-highlight kalimat yang ganjil menurutnya. "Emang gue orang kayak apa dan kayak lo kenal gue aja." "Kan sebelum kita ditakdirkan tetanggan, kita ditakdirkan ketemu nggak sengaja di club. Maksud aku tuh, kesan pertama aku pas kita di hotel pagi itu. Kamu kayak ya gitulah. Maaf nih, izin jujur ... Hmm kamu bukan kayak orang kaya yang rendah hati. Dan sekarang, kita ditakdirkan berteman. Nggak tahu aku mesti bersyukur atau enggak terlibat dalam takdirnya orang kaya." Gahar mengangguk-angguk mengerti. "Benar juga ... Aku juga nggak tahu akan senang atau enggak menjalani takdir ini."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN