09 | Store Manager Gahar

1551 Kata
"Sakit, Pus?" bisik Angga yang sejak tadi disadari Puspa lirik-lirik ke arahnya. "Perasaan tadi sehat-sehat aja." "Diam," desis Puspa. Sungguh ia ingin menangis sekarang, hidupnya sedang berada di ambang antara mati segan, mau hidup tapi gimana. Seketika ingatan-ingatan sepanjang dua hari kemarin bermunculan di kepalanya. Tentang customer menyebalkan yang ternyata benar bos barunya sedang menyamar, tentang kemarahan lelaki asing karena Puspa clubbing pakai seragam kerja, hingga yang terbaru adalah bisa-bisanya Puspa mengancam kalau ia bisa membuat hari ini menjadi hari pertama sekaligus terakhir lelaki itu bekerja. Ya, Puspa telah menyombongkan kekuasaan di depan sang empunya perusahaan. Kesalahan Puspa dimulai sejak ia tidak percaya saat lelaki itu bilang dirinya adalah anak pemilik Guna Grup. Lelaki tidak berbohong, lelaki itu benar-benar Gahar Gunawan. Sudahlah, mending mati saja sekalian. Aura ketegangan dan pertentangan tertahan menyelimuti seluruh penjuru ruangan ini. Suasana sedikit berisik karena orang-orang saling berbisik dengan orang di sebelah masing-masing. Dari sekian kemungkinan yang pernah jadi bahan obrolan semua karyawan Gunamart, tidak pernah ada satu pun orang menyangka kalau store manager baru mereka adalah Gahar Gunawan. Sebuah nama yang selama ini belum pernah terdengar keterlibatannya dalam bisnis Guna Grup. Nama yang selama ini hanya digunakan sebagai bahan meratapi nasib karyawan Gunamart, yaitu betapa enaknya terlahir sebagai anak Pak Gunawan yang tak perlu kerja untuk bisa senang-senang. Maka, wajar saja jika para manager sangat kaget dan tampak keberatan. Bahkan, dalam skenario tokoh berpengalaman yang datang saja sebagian dari mereka pesimis. Lalu sekarang mereka disuruh bergantung pada anak kemarin sore yang tidak punya pengalaman apa-apa. Kalau begini ceritanya, jujur saja Puspa mulai cemas. Dari semua orang yang menampilkan reaksi, Shinta menjadi satu-satunya orang yang tampak sangat tenang seolah-olah dari jauh-jauh hari dia sudah tahu yang datang adalah Gahar. Saat Puspa menyadari Gahar tiba-tiba menoleh ke arahnya, seketika itu juga Puspa menundukkan kepala menghindari bertemu pandang dengan Gahar. Meski Puspa merasa tidak bersalah, dalam hal ini karena ia tidak mengenali Gahar, Puspa tetap akan meminta maaf nanti. Tidak apa-apa ia mengalah dan merendahkan diri, jika dengan begitu ia bisa merasa tenang. Tak ketakutan seperti saat ini. Ancamannya beberapa saat lalu bukan tidak mungkin berbalik mengancam dirinya, dengan sangat mudah Gahar bisa saja membuat hari ini menjadi hari terakhir Puspa bekerja. Gahar berdeham, isyarat agar semua orang menyudahi aksi bisik-bisik mereka, sekaligus agar seluruh perhatian tertuju hanya padanya. "Baiklah, saya tahu dalam pikiran kalian semua pasti heran kenapa Pris—maksud saya, Bu Priska mengirim bocah ingusan ini ke cabang Gunmart yang hampir bangkrut ini," Gahar memulai dengan sesuatu yang memang menjadi pertanyaan besar hari ini. Pembawaan dirinya terlihat sangat tenang dan percaya diri. Barangkali dirinyalah satu-satunya orang yang optimistis di ruangan ini. Gahar mengedarkan pandang dan kembali melanjutkan, "sayangnya, kita nggak punya waktu untuk memperdebatkan apa qualifikasi saya cukup untuk menjabat posisi ini. Jadi, saran saya, nggak usah buang-buang waktu untuk sesuatu yang telah ditetapkan oleh atasan—" "Maksud Anda kami nggak punya hak suara untuk memilih siapa pemimpin kita?" sahut Pak Dodi yang terlihat menahan emosi sejak tadi. "Sejak kapan Gunamart memilih store manager lewat pemungutan suara?" Gahar melempar balik pertanyaan. "Ya, memang bukan pemungutan suara. Tapi selama ini pemilihan store manager selalu dipilih atas jenjang karir. Seseorang setidaknya sudah mengambdi 10 tahun dan pernah menjadi manager di tiga departemen berbeda." Gahar mendesah pendek, terlihat malas meladeni argumentasi Pak Dodi. Di saat ini Puspa yakin angkuhnya Gahar memang natural. Bawaan dari lahir. "Baiklah, kalau ada yang keberatan dengan keberadaan saya, silakan ajukan keluhan resmi ke kantor pusat, yang mana itu berarti keluhan tersebut ditujukan pada Bu Priska dan Pak Gunawan karena mereka lah yang menunjuk saya secara langsung. Dan itu sama dengan kalian meragukan integritas mereka. Saya memang bagian keluarga Hartawan, tapi kenapa saya bisa di sini, pastinya mereka punya pertimbangan sendiri." Gahar kemudian bergeming dari tempatnya mendekati sebuah papan putih. "Saya sebenarnya nggak butuh sambutan semacam ini. Di hari pertama saya kerja, saya lebih berharap akan melihat kalian serius bekerja di area masing-masing. Percuma berpidato teoritis, karena pangkal dari sepinya toko cabang ini adalah ... pelayanannya yang jelek sekali." Puspa yang semula takut-takut di tempat duduknya, kini berani menatap Gahar lebih leluasa. Orang ini otaknya ke mana? Sudah tahu orang-orang menunjukkan tanda-tanda tidak menyukainya, bukannya bersikap baik untuk mengambil hati mereka, ini malah setiap kata yang diucapkannya mengandung minyak tanah. "Siapa yang bertanggung jawab di bagian produk segar?" Gahar rupanya belum selesai. Bu Shinta angkat tangan, menyingat dirinya manager departemen tersebut. "Oh, Bu Shinta, ya? Saya sering dengar pujian tentang Anda, tapi kayaknya ekspektasi saya ketinggian. Area Anda benar-benar kacau. Daging ayam tidak segar, daging sapi tidak lengkap, daging babinya mana? Kenapa saya cuma lihat uritan-uritan dan sosis saja? Bu, kita nggak sedang di Aceh. Buah-buahan, sayur-sayuran. Oh, ayolah kalau cuma buah dan sayur lokal yang dicari, orang-orang nggak akan ke supermarket buat beli." "Sa—" Gahar mengangkat tangan, menghentikan Shinta yang baru buka mulut. "Simpan pembelaan dirinya nanti," ujar Gahar melirik Shinta sekilas. "Siapa yang bertanggung jawab di area groceries?" Seorng manager mengangkat tangan dengan ragu-ragu. "Ah ..., Pak Agus Riadi." Semua orang terkejut karena Gahar terlihat mengenali semua orang. "Saya salut senagai manager, Anda nggak segan ikut memajang barang langsung." "Terima kasih, Pak." Wajah Pucat Pak Agus berangsur-angsur cerah. "Tapi sayangnya, sebagai manager Anda sepertinya nggak tahu gimana cara melayano customer dengan benar," lanjut Gahar kembali membuat Pak Agus pucat. Tentu saja, orang seperti Gahar tidak akan memuji orang lain semurah hati itu. "Menjawab pertanyaan asal-asalan, nggak senyum, dan yang paling parah nggak sabar buru-buru pergi. Disamping itu, ayolah, siapa yang nggak makan mie instan? Tambah variasi rasanya. Kalau cuma mau beli mie goreng dan mie kari ayam, mereka akan pergi ke warung sebelah rumah. Mana yang bertanggungjawab area elektronik?" Pak Suwita pun mengangkat tangan. Bukannya ingin mengajak kenalan, Gahar mengabsen semua orang untuk mengajaknya bertengkar. "Bapak, tolong rajin-rajin cek area lah. Saya yakin Anda jarang di tempat makanya staf Anda berani-beraninya mencatok rambut di area kerja, di jam kerja, pakai produk jualan mereka." Makin lama, Gahar terlihat makin kesal. Pun dengan semua orang. "Kasir, siapa?" Bu Ika, manager kasir dan baru-baru ini merangkap jadi manager Puspa juga, mengangkat tangan dengan mimik wajah tenang. "Staf Anda genit. Tidak melakukan greeting standar sampai melakukan kesalahan nggak input kartu member saat transaksi sudah selesai. Sudah begitu, masih mengatai customer pelit." Pandangan Puspa terangkat. Sekarang ia tahu customer menyebalkan dua hari lalu itu adalah Gahar yang tengah menyamar. Dan, dia memakai kesempatan pertemuan pertama ini untuk memaparkan hasil kunjungannya yang sayangnya tidak tampak profesional lantaran cara penyampaiannya yang lebih seperti ingin mengajak semua orang ribut. Benar saja, Gahar benar-benar menyuruh setiap manager departemen angkat tangan untuk diberi komentar pedas. "Puspa Dewinta?" "Ya?! Eh, saya, Pak." Puspa berjingkat bukan main saat nqmanya tahu-tahu disebut, disaat Puspa pikir Gahar sudah selesai marah-marah. Sesaat, Gahar hanya diam menatap Puspa dengan bibir menipis, membuat Puspa hanya bisa menunggu-nunggu dengan rasah. "Kamu yang terburuk di sini." Kedua mata Puspa terbelalak lebar, tak terima dinilai yang terburuk oleh orang yang baru belasan menit menjadi atasannya dan baru sekali melakukan evaluasi area. Apa dia tidak tahu kalau selama tiga tahun berturut-turut, Puspa selalu menyabet gelar karyawan terbaik. Puspa menunggu Gahar mengatakan sesuatu lagi, tapi bosnya itu tidak terlihat akan melanjutkan. Dia meraih spidol di meja, ingin menuliskan sesuatu di papan. "Atas dasar apa Bapak bilang saya yang terburuk?" Puspa mengerahkan seluruh nyalinya untuk menantang Gahar menghinanya, seperti yang Gahar lakukan ke manager lainnya. "Sss ... Pus, nggak usah," bisim Angga berusaha menghentikan. Manager saja tidak ada yang berani membantah, sedangkan Puspa berani sekali. Namun, Puspa malah menepis tangan Angga dan tetap pada pendiriannya. Dalam hati Puspa bersumpah, jika Gahar mengungkit apa yang terjadi di luar perusahaan, maka Puspa tidak akan tinggal diam. Puspa berdiri, membuat pusat perhatian kini terbagi sebagian padanya. "Mohon dijawab, Pak, karena saya sangat ingin memperbaiki diri." Gahar menutup kembali penutup spidol dan menjauhi papan, beranjak berdiri persis di depan Puspa. "Kamu team leader CS, kan?" "Benar." Puspa mengepalkan kedua tangan, memberanikan diri membalas tatapan Gahar agar tak tampak terintimidasi. "Oke, kamu ingin saya mulai dari mana?" tantang balik Gahar. "Sebagai customer service dengan pengalaman lima tahun, kinerja kamu memang sangat buruk. Kamu nggak bisa ngasih solusi saat customer saat kasir membuat kesalahan. Saat ada customer complain, kamu langsung mengakui dan minta maaf, bukannya dicari tahu dulu apakah benar kita yang salah atau si customer yang salah lihat. Lalu, sebagai 'senior' bagimana bisa kamu nggak meyiapkan kelengkapan kerja? Form-form penting baru dicetak pas ada kejadian. Selain itu, kamu mudah panik dan terpancing. Kalian dan tim kasir adalah ujung tombak pelayanan, dengan kinerja seperti itu, masih keberatan dibilang yang terburuk?" "Ak—ap..." Puspa tergagap tak bisa berkata-kata. Terlebih saat Gahar menghela napas pendek sambil menggeleng pelan seolah tak habis pikir terhadap Puspa. Puspa megap-megap seolah lupa cara bernapas begitu Gahar bergeming dari hadapannya menuju papan tulis lagi. Gahar menuliskan '90 Hari' besar-besar di papan tersebut. Suasana sedikit bising karena semua orang saling berbisik ke orang di sebelah, bertanya-tanya apa maksud tulisan tersebut. Perhatian kembali tersita pada Gahar saat lelaki itu mengetuk-ngetuk papan dengan spidol. "90 hari," lelaki itu memulai. "Perhatikan ini baik-baik. Dalam waktu 90 hari, terhitung hari ini. Saya ingin sales harian Gunamart harus bisa mencapai 500 juta dalam sehari." Dan, makin berisik lah ruangan. Para manager saling sahut bersahutan mengungkapkan bahwa 90 hari harus ada peningkatan sales harian sejumlah 500 juta adalah misi tidak mungkin.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN