10 | Nasib Puspa

1157 Kata
Sumpah serapah mengiringi langkah para peserta meeting yang langsung dibubarkan Oleh Gahar dengan alasan lima belas menit lagi toko akan resmi dibuka, tanpa sedikit pun memberi mereka kesempatan bicara atau setidaknya menjelaskan terkait ‘evalusi’ yang Gahar sampaikan. Padahal mereka sengaja mengatur waktu untuk datang ke kantor pagi-pagi bukan demi menyediakan panggung bagi Gahar menunjukkan kekuasannya sebagai pemilik nama Gunawan dan marah-marah. Puspa yakin suasana tegang dan panas ini masih bisa lebih memanas jika Gahar tidak meredam sedikit dirinya. Ditambah lagi, memberi target dalam tenggat waktu sesingkat itu tidak lah mudah. Sebelum Gahar datang, mereka sudah melakukan segala upaya untuk menaikkan jumlah penjualan selama berbulan-bulan, sampai akhirnya muncul desas-desus Gunamart akan ditutup. Puspa masih di dalam ruangan saat semua orang sudah keluar, memang sengaja car-cari kesempatan agar bisa bicara berdua dengan Gahar. “Ngapain masih di sini? Nggak kerja? Gahar menegur Puspa saat menyadari di ruangan ini hanya tinggal mereka berdua. Pelahan, Puspa mengayunkan kaki beberapa langkah mendekat pada Gahar. “Hmm … Pak, saya ingin bicara sebentar sama Bapak.” “Apa yang saya bilang tadi kurang jelas?” Pandangan Gahar berputar pada Puspa dengan pandanga tak suka. “Saya bilang, semua kembali ke area masing-masing karena toko akan segera buka.” “Sudah sangat jelas, Pak,” jawab Puspa. “Saya Cuma mau bilang, apa yang terjadi di luar semoga itu nggak mempengaruhi penilaian kinerja saya di mata Bapak. Karena apa yang terjadi di luar nggak ada hubungannya sama pekerjaan, termasuk saya yang nggak mengenali Bapak sebelumnya.” “Kamu memakai atribut perusahaan di luar jam kerja, bukankah itu tetap melanggar aturan?” “Itu—“ “Jangan jadikan kejadian pacarmu selingkuh sebagai alasan agar bisa dimaklumi,” potong Gahar, tak memberi kesempatan Puspa membela diri. “Dan ya, salah satu pertimbangan mengapa saya mengatakan kamu yang terburuk. Ditambah kejadian kamu mengancam hari ini akan menjadi hari pertama sekaligus terakhir terakhir saya bekerja. Sekalipun orangnya bukan saya, apa mengancam seperti itu wajar dilakukan? Atau malah sudah bukan hal aneh di sini? Pantas saja turn over karyawan sangat tinggi sejak 3 tahun terakhir.” “Saya nggak benar-benar mengancam, Pak, saya cuma menggeretak karena Bapak … ehm … Bapak menyebalkan,” tukas Puspa cepat, memberanikan diri jujur. “Lagipula saya Cuma customer service, saya nggak punya kuasa buat mempengaruhi keputusan HRD. Dan untuk seragam kerja … saya akui itu memang salah, itu pertama kalinya saya memakai seragam kerja ke luar. Selama lima tahun bekerja, baru sekali itu saja saya melakukannya.” Gahar mengibaskan tangan acuh tak acuh. “Masih ada lagi?” Ada. Masih sangat banyak sebenarnya, tapi respon tak berminat Gahar membuat Puspa merasa sia-sia saja menjelaskan. Sampai mulutnya berbusa sekalipun penilaian Gahar padanya tidak akan berubah. Memang sudah sentimen sejak awal. “Kalau kamu nggak mau ke area sekarang, kamu bisa langsung pulang.” Seperti ada yang membakar daada Puspa, emosi menguasainya. Tetapi di saat yang sama, ia sadar jika ia meledakkan emosi itu, ledakannya hanya akan membunuh dirinya sendiri. “Saya permisi,” gumamnya, lantas berjalan cepat menuju pintu. Di depan ruang meeting itu, Puspa nyaris bertabrakan dengan Bu Ayu, manager HRD, sekaligus karyawan paling senior saat ini. “Hati-hati, Puspa,” tegur Bu Ayu disertai senyuman. Di saat beberapa temannya mengeluhkan HRD mereka tampangnya seram seperti algojo yang menunggu-nunggu mereka berbuat salah, Bu Ayu adalah kebalikannya. Jika bukan dia manager HRD-nya, barangkali sewaktu ada keterlambatan gaji hingga lebih dari dua minggu beberapa bulan lalu, pasti para karyawan sudah mengadakan demo dan mogok kerja. Seandainya semua atasan seperti dia. Sayangnya, masa baktinya akan berakhir hitunan bulan lagi mengingat usianya sudah memasuki masa pensiun. “Maaf, Bu.” Bu Ayu melonggokkan kepalanya ke pintu ruang meeting di belakang Puspa. “gara-gara Pak Gahar, ya?” Puspa mendesah pendek. “Gunamart nggak akan bangkrut kan, Bu?” Puspa sedih memikirkan nasib Gunamart di tangan pimpinan arogan seperti Gahar. Di situasi seperti ini, bisa-bisanya Bu Ayu masih bisa tersenyum menenangkan Puspa. “Sebelum mengkhawatirkan Gunamart, khawatirkan dulu diri kamu sendiri.” “Kalau Gunamart kenapa-kenapa, kan saya juga kenapa-kenapa, Bu.” “Kamu bahkan bisa kenapa-kenapa meskipun Gunamart nggak kenapa-kenapa.” “Gimana maksudnya, Bu?” Bu Ayu hanya tersenyum. “Coba jawab saya, kamu masih mau nggak kerja di sini?” Kening Puspa makin berkerut semerawut lantaran Bu Ayu tiba-tiba menanyakan sesuatu yang agak tidak berhubungan dengan apa yang mereka bicarakan sebelumnya. Namun, Puspa tetap menjawab pada akhirnya. “Tentu saja saya mau, Bu. Ibu sendiri yang paling tahu seberapa besar saya ingin bisa terus kerja di sini. Bahkan seandainya pun Gunamart Bali beneran bangkrut, saya nggak keberatan dipindah ke cabang kota lain.” Bu Ayu kembali tersenyum dan menepuk bahu Puspa sekilas. Sebelum memasuki ruangan di belakang Puspa, Bu Ayu sempat berkata, “kalau begitu saya coba bicara dulu sama Pak Gahar.” “Eh?” Lagi-lagi Bu Ayu membuat Puspa bingung. *** Di hari pertamanya bekerja, Gahar sengaja ingin membangun citra tegas dan bertarget. Menurutnya, segala ketidakdisiplinan orang-orang yang bekerja di sini adalah karena lemahnya kepemimpinan sebelumnya sehingga mereka berani mengabaikan aturan. Ketegasan itu pula lah yang kini coba ditekankan Gahar ketika Bu Ayu berusaha membuat Gahar mengurungkan keputusannya yang ingin memecat Puspa. “Kita butuh alasan jelas dan masuk akal untuk memecat karyawan. Mungkin Bapak belum tahu, Puspa adalah karyawan terbaik selama tiga tahun berturut-turut.” “Bagian mana yang sebenarnya kurang jelas dan masuk akal? Saya menilai kinerja dia buruk sesuai pengamatan saya. Dan saya nggak perlu tahu dia karyawan terbaik atau apa lah karena kesalahan-kesalahan yang dia lakukan sudah cukup sebagai alasan mengapa kita nggak bisa mempertahankan dia.” “Tolong pertimbangkan lagi, Pak. Kita sedang sangat kekurangan karyawan, di kondisi saat ini, kita belum memungkinkan untuk merekrut karyawan baru.” “Sekarang store manager-nya adalah saya, yang memutuskan itu mungkin atau tidak adalah saya.” Bu Ayu tampak tercengang dan sesaat seolah kehilangan kata-kata. “Merekrut orang baru artinya harus mengajari dari nol lagi. Menurut saya itu sangat tidak sebanding jika kita kehilangan Puspa, dia karyawan lama yang sangat berpengalaman. Jika ada kondisi tertentu, dia bisa in-charge di semua departemen.” “Puspa tidak seburuk itu, Pak. Saya jamin dia akan sangat berguna kedepannya. Entah Bapak percaya atau tidak, di antara kami para karyawan, tidak ada yang berharap paling besar untuk bangkitnya Gunamart selain Puspa.” “Saya paham, cari kerja jaman sekarang memang nggak gampang.” “Cari kerja untuk Puspa sangat gampang. Dia beberapa kali menolak tawaran pekerjaan dan lebih memilih bertahan di sini meski semakin hari kondisi Gunamart makin sepi.” “Oh ya? Berarti dia bodoh.” “Benar, kebodohan … kebodohan yang beralasan.” “Apa alasannya?” Bu Ayu tersenyum. Lantaran sosoknya yang sudah sangat berumur, setiap kali dia tersenyum, Gahar teringat akan mamanya di Jakarta. “Alasan itu terlalu pribadi untuk saya sampaikan. Sekali lagi saya mohon pertimbangkan keputusan Anda.” Gahar menggeleng tak mau dengar apa-apa lagi. “Saya tetap pada keputusan saya, tolong segera proses pemecatan Puspa Dewinta."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN