"Pagi."
"Pagi."
"Pagi, Carlos."
"Pagi, Puspa. Motornya mana? Diantar pacar, ya?"
"Aku jomlo, tahu." Puspa tertawa menyebut statusnya. Menjadi jomlo jelas lebih membanggakan daripada menyebut dirinya pacar Nando. Dengan langkah ringan, Puspa melanjutkan langkah ke sebuah pintu khusus untuk karyawan. Di sana, Puspa menyapa semua orang yang dilihatnya. "Pagi, Pak Dodi, Bu Galuh ...."
"Semalam puas dapat jatah, ya, Pus? Bawaannya happy banget kemarin habis libur," canda Pak Dodi.
"Ih, saya sekarang nggak ada yang ngasih jatah, Pak. Jadi happy-in diri sendiri."
"Lho, putus, Pus?"
Puspa mengangguk meningkahi pertanyaan Pak Dodi. "Alhamdulillah, iya."
"Lah, putus kok alhamdulillah?"
"Ya karena itu artinya aku beruntung segera ditunjukkan kalau selama ini saya pacaran sama orang nggak benar. Iya nggak, Bu?"
Bu Galuh tertawa kecil dan mengangguki pernyataan Puspa. "Iya, masih muda dan cantik. Cari yang genteng dan kaya sekalian."
"Yang ganteng dan kaya yang nggak mau sama saya, Bu." Puspa mengerucutkan bibir, sadar diri bahwa orang biasa seperti dirinya bisa berjodoh dengan orang ganteng dan kaya, hanya terjadi di FTV saja. "Ya udah, saya mau siap-siap dulu. Ada bocoran lagi tentang Pak Store Manager baru nggak, Pak, Bu?"
Pak Dodi menghela napas pelan. "Nggak tahu, store manager yang baru ini serba nggak jelas."
"Nggak jelas gimana, Pak?" tanya Puspa penasaran. Pak Dodi kemudian menjelaskan kalau biasanya kalau ada mutasian karyawan, apalagi selevel store manager, biasanya pihak toko cabang tersebut sudah diberi tahu siapa orangnya. Biasanya orangnya pun sudah terprediksi karena Gunamart memiliki jenjang karir jelas dan adil. Sedangkan store manager mereka ini benar-benar misteri, tidak ada bocoran sama sekali tentang siapa dirinya, sudah berapa lama berkecimpung di dunia bisnis retail, serta apa saja prestasinya, selain bahwa dia merupakan utusan langsung dari kantor pusat.
Mendengar semua itu, Puspa jadi termenung sesaat. "Eh bisa aja karena beliau ini tokoh besar makanya sengaja dirahasiakan, biar jadi kejutan?" Puspa berusaha menyuntikkan prasangka baik. "Biasanya kalau ada manager baru dari cabang lain kan pihak toko kirim perwakilan buat jemput di bandara ya, Pak? Apa yang ini enggak?"
"Enggak ada, Pus. Pas ditanya, katanya dia udah di Bali sejak dua hari lalu dan bahkan udah sempat mampir ke toko nyamar jadi customer."
"Hah? Serius, Pak? Kapan?"
"Kemarin lusa katanya," timpal Bu Galuh.
Seketika Puspa memutar memori otaknya. "Dua hari lalu," gumanya berusaha mengingat-ingat. Tiba-tiba kedua mata Puspa membola lebar ketika ia teringat sesuatu. "Gawat," serunya.
"Apanya yang gawat?"
"Kayaknya aku ketemu sama orangnya," jawab Puspa heboh, tetapi sedetik kemudian kekagetannya meredup. "Eh, kayaknya bukan deh. Jadi, dua hari lalu tuh ada customer nyebelin banget, Bu. Kayak tahu banget prosedur kita. Tapi dia masih muda banget. Kayak anak baru lulus kuliah. Bu Priska pastinya ngirim orang matang yang jam terbangnya udah banyak, ya, kan?"
"Seharusnya memang begitu. Nggak tahu lah, keadaan udah separah ini apa mungkin Gunamart bisa selamat?"
Bu Galuh menepuk pundak Pak Dodi mantap. "Jangan pesimis dulu, Pak Dodi ini masa nggak malu ngomong begitu di depan Puspa, dia aja semangat banget sama Store Manager baru kita."
"Iya, Pak Dodi, ayo optimis. Nggak tahu kenapa, feeling saya bagus. Saya yakin Gunamart bisa bangkit kayak dulu lagi," ujar Puspa dengan sorot mata menyala-nyala, penuh kobaran api semangat.
***
Puspa memperhatikan penampilannya di cermin sekali lagi. Make up-nya tampak natural tapi tetap terlihat dandan, rambutnya tersanggul rapi dengan poni miring yang membuat wajahnya tampak manis dan belia.
Puspa sengaja berdandan lebih niat dari biasanya—biasanya hanya pakai alas bedak ringan dan lipstik, lantaran ingin memberi kesan pertama terbaik di depan atasan barunya. Ya, sebutlah cari-cari perhatian. Ia pikir pasti akan sangat bagus jika ia bisa di-notice dan akrab dengan store manager yang dikirim langsung dari kantor pusat, sebab Puspa sangat berharap bisa memiliki karir panjang dan berkembang di Gunamart. Kalaupun, ini hanya seandainya saja Gunamat Bali benar-benar tidak bisa diselamatkan, Puspa tidak keberatan jika dipindah ke cabang di kota lain.
"Cantik juga aku kalau dandan pakai niat," puji Puspa pada dirinya sendiri. Sesaat kemudian ia baru sadar bahwa di depan kaca lebar ruang ganti itu dirinya tidak sendiri. Sambil meringis malu, Puspa melirik ke seseorang di sebelahnya yang juga tengah meliriknya. "Ehe ... Bu Shinta."
Shinta menyelesaikan pulasan lipstik di bibirnya lalu menutup lipstik tersebut sambil berkata, "kalau udah selesai langsung ke ruang meeting.
"Siap, Bu," sahut Puspa bersemangat.
Shinta melirik Puspa sebentar, sebelum melenggang keluar lebih dulu dari ruang ganti. Shinta adalah salah satu manager yang paling disegani di sini, dia terkenal sangat tegas dan merupakan tangan kanan store manager sebelumnya. Shinta masih melajang di umurnya yang tahun lalu telah melewati angka 30, tetapi tak ada yang berani menjadikan itu sebagai bahan candaan, saking dinginnya sikap Shinta baik di jam kerja maupun di luar jam kerja. Bisa dibilang, orang-orang menyebut Shinta ini tipe-tipe atasan kaku dan menyebalkan.
Keluar dari ruang ganti, Puspa langsung menuju ruang meeting ketika ia melibat tetangga sombongnya itu berjalan-jalan pelan sambil melihat suasana kantor yang sepi. Lihatlah lagak dia, sudah mirip bos saja. Dia memakai kemeja putih lengan panjang dan celana hitam. Dia pasti bingung mencari-cari orang untuk ditemui.
"Hei," seru Puspa tertahan tepat ketika lelaki itu hendak membuka pintu ruang meeting. Dengan langkah terburu-buru Puspa pun mendekatinya. "Mau ke mana kamu? Kamu nggak tahu ini ruang apa?"
Lelaki itu lalu menunjuk papan nama di depan pintu ruangan. "Menurutmu saya nggak bisa baca?"
Puspa menaikkan alis, setidaknya lelaki ini cukup tahu etika untuk tidak menggunakan sapaan lo-gue andalannya di tempat kerja. "Iya, kamu memang bisa baca. Tapi kamu kayaknya nggak paham ruangan apa itu. Sini." Sekonyong-konyong Puspa menarik tangan lelaki itu menjauhi ruang meeting. Ia membawanya ke deretan kursi tunggu tamu di dekat meja lapor security dan pintu masuk. "Tunggu di sini. Nanti cari HRD kalau meeting-nya udah selesai."
Tanpa melawan, Gahar duduk di kursi saat Puspa mendorongnya pelan. "Meeting apa? Bukannya kalian harus kerja?"
"Nggak ngerti apa-apa, diam saja. Sebentar lagi store manager baru akan tiba, jadi kami mesti menyambut sekalian memperkenalkan diri. Jadi, tunggu aja dengan tenang di sini. Ngerti?" Saat Puspa hendak balik badan untuk pergi, tanpa senja matanya melihat ke arab sepasang kaki lelaki itu yang alih-alih dibalut pantofel hitam, sepasang kaki itu berani-beraninya pakai sneakers. Puspa mendesah pendek. "Hei, aku beri tahu, ya. Kamu nggak bisa kerja dengan sepatu ini."
Gahar melirik sepatunya sendiri. "Ada masalah?"
"Ck, pakai sepatu selain pantofel itu salah!" erang Puspa frustrasi. "Ah, udah lah. Aku nggak ada waktu buat menghadapi kamu. Kalau kamu masih mau kerja, aku sarankan lari pulang sana buat ganti sepatu. Seenaknya aja pakai sepatu santai, kenapa nggak pakai sandal jepit aja sekalian tadi? Heran, memangnya perusahaan ini punya nenek moyangmu apa," omel Puspa, sebelum melengos meninggalakan lelaki itu san buru-buru ke ruang meeting di mana hampir semua manager dan para team leader masing-masing departemen telah masuk.
Puspa langsung menempati deretan kursi yang menempel tembok bersama para team leader lain, sementara para manager duduk melingkari meja persegi panjang.
"Dari mana aja, sih?" bisik Angga, rekannya yang bertugas di departemen elektronik. "Hampir aja telat."
"Itu ngurus karyawan baru yang bingung nyari orang," jawab Puspa, mengimbangi suara bisikan Angga. "Semua udah kumpul. Si Bapak belum datang, ya?"
"Katanya udah sampai, makanya semua cepat-cepat ngumpul."
Puspa lantas mengangguk mengerti, dan tutup mulut setelah Shinta melirik ke arahnya dan Dodi.
Sepanjang pandangan Puspa, sepertinya hanya dirinya saja orang yang senang menyambut store manager baru. Sementara orang-orang di ruangan ini sebagian besar menampakkan ekspresi tak minat dan pasrah, mirip-mirip Pak Dodi. Sisanya seperti Shinta, terlalu tenang hingga tak terbaca.
"Kok lama, sih? Katanya udah di depan?" Bu Galuh berbicara pada Shinta.
Shinta melirik jam yang melingkari pergelangan tangannya, lalu menoleh pada Puspa. "Pus, coba tolong kamu cek di luar. Tadi bapaknya katanya sudah masuk office, kok."
"Barusan saya nggak lihat di luar, Bu."
"Ya coba kamu cek lagi lah."
"Siap." Dengan sigap Puspa berdiri. "Eh, tapi ciri-ciri si Bapak kayak gimana orangnya, Bu?" tanya Puspa tiba-tiba menahan langkahnya sebelum membuka pintu.
"Cari aja orang yang nggak kamu kenal, dan pokoknya dia belum seumuran Bapak-bapak."
"Eh?"
Dengungan bingung Puspa memancing lirikan malas sekaligus tegas Shinta ke arah Puspa. "Apa lagi yang belum kamu ngerti, Puspa?"
Puspa meringis kecil. "Si Bapak belum bapak-bapak, Bu?" tanyanya memastikan.
"Iya."
Mendadak perasaan Puspa tidak enak. Satu-satunya orang asing di office beberapa menit lalu adalah tetangga sombongnya, secara kebetulan dia juga akan memulai hari pertama kerja di sini. Kedua hal tersebut ditambah arogansinya, mungkinkah itu hanya kebetulan saja?
"Puspa?!" teguran Shinta menyentak Puspa keluar dari pusaran pikirannya sendiri. "Kalau kamu masih mau bengong, saya yang akan cari sendiri."
"Eh, enggak, Bu, ini saya keluar." Buru-buru Puspa berbalik menghadap pintu. Tangannya baru menyentuh gagang pintu dan hendak menariknya, telat di saat yang sama seseorang mendorong pintu itu duluan. Membuat Puspa terpaksa mundur-mundur, mempersilakan orang yang membuka tersebut masuk.
Bibir Puspa menganga ketika tubuh jangkung itu melewaktinya dan sempat meliriknya sekilas. Tubuh Puspa kaku tak bisa bergerak, pun dengan matanya yang tidak bisa lepas dari sosok berkemeja putih, celana hitam, dan sneakers tersebut. Saat Shinta dan yang lainnya berdiri dengan hormat, Puspa tahu usahanya ingin memberi kesan pertama terbaik pada store manager barunya telah pupus, sebab ini bukan pertemuan pertama mereka.
Lelaki itu menggerakkan tangan, memberi isyarat agar semua orang kembali duduk. Deg! Jantung Puspa nyaris copot saat kepala yang dipandangi itu menoleh ke arahnya. "Bisa tolong tutup pintunya dan kamu kembali ke tempatmu?"
"Ya?"
"Puspa." Suara teguran Shinta lah yang menyadarkan Puspa kembali sepenuhnya ke dunia nyata. Ia lantas menutup pintu dan cepat-cepat kembali ke tempat duduknya, gerakannya yang sembrono membuat kakinya tanpa menendang kaki kursinya sendiri. Ia nyaris terjatuh jika saja tidak dipegangi Angga.
"Maaf ... maaf ..." Puspa mengangguki semua orang yang perhatiannya tertuju padanya atas kegaduhan yang ia buat. Hingga akhirnya Puspa duduk tenang dan perhatian kembali diarahkan ke arah semestinya. Pada lelaki muda yang berdiri di ujung meja.
"Selamat pagi, Semua. Mulai hari ini saya yang akan menggantikan tugas Pak Agung Sudana sebagai store manager Gunamart cabang Bali," ujar Gahar dengan pandangan mengedar. "Perkenalkan nama saya Gahar. Gahar Gunawan."
Aliran darah Puspa seolah berhenti, ia berkeringat tapi tubuhnya dingin sekali. Semoga ia tidak jatuh pingsan setelah ini.