13 | Adik Kesayangan Prisil

1258 Kata
“Pelan-pelan makannya, Har,’ tegur wanita cantik berambut hitam panjang yang secara mengejutkan muncul di depan Gunamart, siapa lagi kalau bukan Prisil. Dia sengaja langsung terbang dari Jakarta hanya untuk menunjukkan dukungan pada Gahar yang hari ini baru pertama kali mulai terjun ke dunia kerja. Lihat sendiri bagaimana besar perbedaan antara Priska dan Prisil meski sejak masih berupa janin mereka tumbuh bersama-sama dan lahirnya pun hanya selang 2 menit saja. Walaupun prestasi Priska lebih diakui, tapi bagi Gahar, Prisil adalah yang terbaik. “Biarin aku makan. Aku belum makan seharian karena semua orang rebutan ngajak aku bertengkar. Gila, nggak?” “Beneran mereka ngajak bertengkar atau kamu yang menanggapinya dalam mode siap bertengkar?” “Ck,” Gahar mendecakkan lidah, mendadak kehilangan nafsu makan. “Kamu ngajak aku bertengkar juga, Kak?” Prisil mengulum senyum. Tak seperti Priska yang tiap tersenyum orang akan bingung membedakan dia tulus atau sebenarnya sinis, orang-orang yang melihat senyum Prisil akan merasakan keteduhannya dan itulah yang membuat Gahar selalu tidak bisa marah padanya. “Har, cobalah sedikit lebih santai, apalagi ketika kamu baru masuk ke sebuah kelompok baru. Nggak peduli jabatan kamu di sana, kamu harus melunak biar bisa diterima masuk ke kelompok itu.” “Itu dia, kenapa aku harus berusaha agar diterima. Memangnya mereka bisa menolak aku?” Gahar mendengus seolah tak kunjung habis pikir dengan jalan pikiran orang-orang. “Mereka katanya mau mengajukan keluhan buat mengganti aku, hah? Mereka kira itu akan dikabulkan? Diproses aja, aku yakin enggak.” Gahar melanjutkan makannya dengan cepat dan penuh emosi, seolah-olah yanb tengah disuapkan ke dalam mulutnya itu bukan daging sapi, melainkan orang-orang yang telah membuatnya marah hari ini. "Kenapa diam aja?" Lama-lama Gahar tak nyaman hanya dipandangi Prisil tanpa sepatah kata. Dengan mulut masih penuh makanan, Gahar memandang sebal Prisil yang kini tengah menghela napas entah apa maknanya. Sebaik-baiknya Prisil, untuk beberapa hal dia juga bisa menyebalkan. Namun tetap, tidak semenyebalkan Priska tentunya. "Karena kamu nggak akan suka sama apa yang mau aku omongin. Untuk yang kali ini, Har, aku setuju sama Priska," sesaat Prisil menjeda, seakan snegaja ingin membuat suasana dramatis dengan membuat Gahar menunggu-nunggu apa yang sebenarnya akan ia kayakan. Prisil menatap Gahar sayang, "menurutku juga, kamu belum siap untuk jabatan tinggi." Lenyap sudah nafsu makan Gahar. "Kakak juga nggak percaya sama aku?" "Aku percaya," sahut Priska. "Aku juga paham sepenting apa jabatan ini buat kamu. Hanya saja, kamu seperti punya ambisi tapi nggak punya misi." Gahar menyipitkan mata keheranan. "Wah, dari semua orang, aku nggak nyangka kamu juga sama aja kayak mereka, Kak. Kamu kira aku nggak punya program kerja?" "Pasti kamu punya. Sekarang coba beri tahu aku, aku mau tahu apa yang ingin kamu benahi di toko nyaris bangrut itu?" "Kamu sedang nguji aku?" Priska menghela napas dan tampai mulai sebal juga. "Tinggal bilang saja apa susahnya, Gahar? Itu bukan semacam resep rahasia burger Tuan Crab yang cuma boleh kamu aja yang tahu karena kamu nggak kerja sendirian. Kenapa kamu nggak sadar, itulah yang membuat para manager marah dan mengajukan keluhan." Gahar melempar punggungnya bersandar di sandaran kursi sambil berusaha menekan emosi. "Perbaikan pelayanan, memangnya apa lagi yang harus diperbaiki? Aku pernah nyamar jadi customer dan pelayanan di sana sangat kacau. Aku udah menyampaikan itu sangat jelas, tapi mereka nggak terima diberi tahu kesalahan mereka dan memperbaikinya." "Lalu?" "Lalu apa? Ya, itu masalah utamanya." Prisil menipiskan bibir, tampak tak puas dengan jawaban Gahar. "Jelas aja mereka nggak terima, Har, kamu cuma memaparkan problem tanpa solusi." "Memperbaiki pelayanan itu solusi, Kak Prisil," balas Gahar dengan suara menyerupai geraman. "Caranya apa? Langkah konkretnya apa? Apa yang mereka harus lakukan, Gahar?" Priska geregetan dibuatnya. "Tiap departemen beda-beda masalahnya. Itu lah kenapa pengelolaan toko dibagi menjadi 10 departemen dan tiap departemen ada manager pelakananya, kalau semua harus store manager yang mikir, lalu kerjaan mereka apa?" Bibir Prisil terbuka seperti hendak bicara, tapi tak jadi dan malah meraih gelas minumnya. Ia meneguk isi gelas tersebut langsung dari bibir gelas, tanpa lewat sedotan. Lagi-lagi dia tampak tak suka mendengar jawaban Gahar. Prisil kemudian mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya dan menyurukkannya ke meja depan Gahar, yaitu sebuah kartu nama milik Agung Sudana, store manager Gunamart sebelumnya. "Ajak Pak Agung ngopi atau makan siang sambil ngobrol-ngobrol, kamu bisa belajar dari beliau." "Kamu nyuruh aku belajar dari orang yang jelas-jelas gagal?" Gahar terperangah atas ide konyol Prisil. "Seenggaknya dari obrolan itu kamu jadi tahu kenapa beliau bisa gagal," jawab Prisil, tampak sangat yakin dengan sarannya ini. Berhubung Prisil sedang dalam mode tegas dan tak mau dibantah, Gahar terpaksa menyambar kartu nama itu dari atas meja dan memasukkannya asal ke kantong celana. Kalaupun hilang atau lupa, Gahar tidak akan kehilangan karena ia tak berniat menghubungi nomor kontak yang tertera di kartu tersebut. Bagaimanapun juga, Gahar butuh setidaknya satu sekutu. Ia harus menjaga Prisil tetap berada di pihaknya. Gahar berdehem, bermaksud mengganti topik. Urusan Gunamart biar ia sendiri yang urus. "Kak, malam ini nginap di mana?" tanya Gahar. "Di mana lagi, menurutmu?" balas Prisil dengan sisa-sisa kekesalannya.  "Mau berapa lama di sini?" "Aku udah beli tiket buat besok pagi." "Cepat sekali. Santai sedikit lah, mumpung udah di Bali." "Cuma kamu aja, Har, yang sedikit-sedikit bisa santai. Kalau aku di sini kelamaan, suami sama anakku gimana? Aku ke sini cuma buat lihat keadaan kamu, tapi kayaknya kamu nggak butuh siapa-siapa." Prisil mencibir sekaligus menyindir sang adik. Cibiran semacam itu bagi Ahyar sudah semacam menu makan sehari-hari, sehingga memberi efek tamparan berarti. "Siapa bilang nggak butuh?" tampik Ahyar ekspresif. "Ehm ... Kak, tinggalin satu kartu kreditmu, dong," lanjutnya, mengedip-ngedip memelelas, jurus andalan sejak dulu tiap Gahar menginginkan sesuatu. Prisil mendecapkan bibir, tak heran sama sekali. "Sayangnya nggak bisa. Waktu aku bilang Papa mau ke sini, Papa udah wanti-wanti aku nggak boleh ngasih kamu apa-apa, kecuali traktir makan." "Diam-diam aja lah, Papa nggak usah tahu, toh itu kartu atas namamu. Ayolah, Kak. Mana bisa aku bertahan hidup sebulan dengan uang 3 juta doang?" "Har, kamu nggak tahu UMR Denpasar nggak sampai 3 juta? Karyawan-karyawanmu bisa tuh bertahan hidup sebulan pakai uang nggak sampai 3  juta." "Ya udah, aku minta uang cash aja. Jangan jahat-jahat lah sama adikmu, cukup Priska aja yang nggak jahat sama aku." "Maaf mengecewakan kamu, Har. Kayak yang aku bilang tadi, kali ini aku setuju sama Priska." "Serius, Kak?" Gahar terperangah tak habis pikir. Tapi lelaki itu tak menyerah memperjuangkan nasibnya. "Oke, nggak apa-apa. Tapi paling enggak, bantu aku cari kost baru yang lebih layak sama kasih aku kendaraan." "Memangnya kosmu kenapa?" Gahar menjambak rambut di kepala belakangnya sendiri, sangat marah setiap kali mengingat tempat seperti apa yang kini ia tinggali. "Kakak mau melihatnya sendiri? Priska sangat kejam, dia ngasih aku kost murahan yang lingkungannya jelek banget. Nggak ada AC, nggak ada shower, dan aku yakin kalau hujan atapnya bocor karena sekarang aja langit-langitnya udah lapuk." Priska menghela napas lagi. "Nanti kalau hujan dan beneran atapnya bocor, baru aku akan carikan tempat tinggal kamu. Sekarang, selagi belum bocor, tinggal saja di sana." Sesaat Gahar dibuat menganga tak percaya. "Kamu Kak Prisil, kan? Bukan Priska?" tanya Gahar t***l, jaga-jaga kalau seandainya ia ternyata salah mengenali yang mana itu sangat tidak mungkin. Ia telah telah tinggal bersama dua kakaknya itu sejak lahir, lagipula meski terlahir kembar, Priska dan Prisil sangat beda baik sifat dan fisiknya. "Kamu bilang kamu harus balik ke Gunamart buat liat penjualan malam hari di sana, kan? Buruan balik sana, aku masih ada janji ketemu temanku." Prisil melipat kain di pangkuangganya dan meletakkannya di atas meja, tanda bahwa dia siap pergi. "Kak!" erang Gahar merajuk kesal, hingga membuat beberapa tamu restoran tempat mereka berada menoleh ke arah mereka.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN