12 | Pimpinan dan Karyawan

1003 Kata
Ponsel Gahar berdering lagi, masih dari nomor telepon sama, setidaknya sejak tiga jam lalu. Tak mau jam-jam kedepannya terganggu lagi, dengan terpaksa Gahar pun mengangkat telepon dari Priska tersebut. “Hmm?” “Sibuk banget sampai nggak bisa ngomong halo dengan benar?” Seperti biasa, di kalimat pertamanya, Priska pasti langsung membuat Gahar kesal. “Hmm,” jawab Gahar sengaja dengan gumaman supaya Priska makin banyak bahan mengejeknya. “Baru sekitar delapan jam lo kerja, gue dengar lo langsung membuat semua orang marah dan memecat satu orang. Benar?”  “Kalau lo udah dengar, kenapa masih tanya? Sengaja mau meledek gue?” “Gue tanya karena gue perhatian, mana tahu lo mau minta saran atau bantuan sesuatu?” Gahar berdecak malas, memindahkan ponsel dari tangan kanan ke tangan kirinya. “Kalau begini cara lo ngasih bantuan, maka lo orang terakhir yang bakal gue cari.” Detik berikutnya, Gahar langsung memutuskan sambungan telepon. Ia sedang tidak dalam mood dan emosi baik untuk meladeni Priska. Kepala Gahar sudah pusing, hari pertamanya bekerja ternyata lebih memusingkan dari yang ia kira. Semua orang seperti bersatu untuk melawannya, mereka bahkan mengancam akan mengajukan keluhan agar Gahar diganti. Inilah kenapa Gunamart makin lama makin meredup, yaitu karena orang-orangnya tidak mau introspeksi diri. Mereka mengelak bahwa sumber utama masalah ada pada pelayanan dan menolak untuk memperbaiki diri. Mereka akan melakukan hal sia-sia jika betul mengajukan keluhan. Alih-alih mengganati store manager baru sesuai tuntutan mereka, Gahar lebih yakin kantor pusat akan memutuskan penutupan cabang. Seharusnya tidak ada yang perlu Gahar khawatirkan. Gahar menyandarkan punggung di sandaran sambil menggerakkan lehernya yang kaku. Tanpa terasa hari sudah sore, sepanjang pagi hingga siang kini telah terlewati, rasa-rasanya hanya ketegangan yang terjadi. Entah berapa orang yang telah mengajaknya berdebat, sampai-sampai Gahar kesulitan konsentrasi memeriksa dokumen-dokumen. Untuk makan siang saja, Gahar hanya sempat makan beberapa keeping biscuit yang ditemukannya di ruangan ini. Gahar pikir, dirinya harus makan sekarang karena ia butuh energi untuk bertahan di tempat ini. Gahar baru berdiri dari duduknya, ketika pintu ruangannya diketuk cepat tiga kali, lalu sejurus kemudian pintu itu terbuka sebelum Gahar memberi respon. “Pak, saya ingin bicara.” Gahar menghela napas, menatap orang yang tak lain adalah Puspa itu dengan malas. Tentu saja, masih ada yang ingin mengajaknya berdebat. “Kalau itu tentang pemecatan kamu, bicarakan sama Bu Ayu.” “Tidak bisa. Bapak harus mendengarkan saya,” bantah Puspa keras kepala. Gahar memasukkan satu tangannya ke ke kantong celana dan dagu sedikit mendongak. “Cepat katakan.” Mendapat lampu hijau, Puspa menarik napas panjang dan mulai mengeluarkan isi kepalanya. “Saya menolak pemecatan cacat prosedur,” ucapnya tegas di kalimat pertama, tapi tak tampak perubahan ekspresi berarti di wajah Gahar. Sehingga Puspa pun melanjutkan, “kalau Bapak memecat saya dengan alasan yang tadi Bapak sampaikan di ruang meeting, harusnya Bapak juga memecat semua pihak-pihak yang Bapak singgung. Ini nggak adil, Bapak menilai dengan standar ganda. Lalu masalah saya clubbing nggak sengaja pakai seragam kerja itu, saya akui saya memang lalai, tapi kan nggak terjadi hal buruk. Orang-orang di sana juga terlalu asyik sendiri dan saya jamin nggak ada yang memperhatikan pakaian saya. Ya … hmm … Bapak doang yang engeh.” “Udah?” tanya Gahar setelah menggu sesaat Puspa tak bersuara. “Iya,” balas Puspa, mengangkat dagu dengan berani, menunggu Gahar menanggapi. Ia ingin sekali mendengar Gahar akan memberinya jawaban apa. Namun, alih-alih menggerakkan bibirnya, yang digerakkan Gahar malah kakinya. “Eh eh, Bapak mau ke mana?” tanya Puspa saat Gahar lewat di sampingnya. “Mau cari makan.” “Tapi saya sedang bicara sama Bapak.” “Kamu hanya minta saya mendengarkan kamu.” “Apa?” Puspa terperangah, sampai-sampai mulutnya tak bisa mengeluarkan suara. “Saya sudah mendengarkan kamu. Jadi, udah, kan?” Puspa tertawa keras namun hambar. “Wah, benar-benar.” Puspa tak tahu harus berkata apa. “Bapak nggak bisa bersikap kayak gini, Pak. Bapak itu store manager, pimpinan tertinggi di Gunamart Bali. Sebenarnya Bapak ini menganggap saya dan semua karyawan Gunamart ini apa? Kami bicara bukan hanya untuk didengar masuk telinga kiri keluar telinga kanan, tapi agar Bapak benar-benar mempertimbangkan suara kami, Pak. Saya nggak pernah jadi pemimpin, Ayah saya juga bukan Pak Gunawan pimpinan Guna Grup, tapi setahu saya, Pak, pimpinan itu bukan tukang perintah.” Wajah Gahar mengetat, tersinggung diceramahi panjang lebah oleh Puspa. Ia menutup pintu ruangannya dan berdiri di depan Puspa. “Jadi, kamu mau bilang kalau saya nggak pantas jadi store manager, begitu?” “Bukan itu maksud saya, Pak. Bapak jelas  jauh lebih pantas daripada saya. Saya—“ “Lalu kenapa kamu berani mengajari saya?” “Bagian mana dari ucapan saya yang mmembuat Bapak berpikir saya mengajari? Saya hanya mengatakan pendapat saya sebagai karyawan.” “Untuk ukuran karyawan, kamu terlalu banyak bicara.” “Maksud Bapak, kami sebagai karyawan nggak boleh bicara apa-apa?” “Sebagai karyawan, kalian seharusnya tahu harus bicara sebatas apa.” Daada Puspa memanas terbakar emosi, padahal sebelum kemari tadi ia sudah menyiapkan kesabaran lebih lantaran tahu Gahar tidak akan mudah dihadapi. Namun, ia tidak menyangka ternyata Gahar ternyata sebebal ini. Di saat ini, Puspa seolah lupa bahwa pria di depannya ini adalah atasannya dengan berani membalas tatapan Gahar dengan tak kalah tajam. “Jadi bagi Bapak kami memang nggak berarti apa-apa? Kami nggak penting ya, Pak?” Hati Puspa sangat sakit, merasa cinta dan pengabdiannya selama lima tahun di sini tidak dihargai oleh ‘pemilik’ Gunamart. Puspa tertawa hambar dengan mata berkaca-kaca. Entah mengapa rasanya seperti dikhianati. “Baiklah, mari kita lihat apa besok Bapak masih menganggap kami tidak penting.” Usai mengatakan itu, Puspa langsung keluar dari ruangan Gahar. Ia melangkah cepat meninggalkan office dengan kemarahan yang masih menumpuk di daada. Sejenak ia berhenti di tengah pelataran depan Gunamart yang kosong hanya untuk membuka sebuah pesan masuk yang 15 menit lalu dikirim Pak Dodi ke ponselnya. Tepatnya, membaca ulang sebuah ajakan berantai untuk mogok kerja besok. Puspa menyeringai, lihat saja apakah Gahar Gunawan masih bisa seangkuh tadi saat semua karyawan Gunamart bersatu untuk melakukan perlawanan. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN