18 | Loyalitas Tanpa Batas 2

1823 Kata
" Saya tahu Anda marah, tapi kemarahan Anda sama sekali tidak bisa menyelesaikan masalah. Sebaiknya, tenangkan diri Anda. Ini bukan saatnya buat meninggikan ego. Tolong hati-hati supaya departemen lain nggak ikut-ikutan mogok kerja. Saat ini kita sangat kekurangan staf, kita harus mempertahankan apa yang ada, daripada melepas cuma karena ada yang tidak sejalan. Saran saya sekarang, sebaiknya kita hubungi mereka dan ajak diskusi. Sebenarnya mereka hanya merasa tidak didengarkan saja, jadi mereka tidak puas dan kecewa." "Mereka yang nggak sabaran. Demi Tuhan, apa yang mereka harapkan di hari pertama saya?!" Gahar menolak disurutkan sebagai satu-satunya penyebab mogoknya tiga departemen. "Banyak yang mereka harapkan dari kehadiran Anda," jawab Bu Shinta terlampau tenang hingga membuat Gahar segan mengetatkan rahang. "Makanya banyak hal yang ingin mereka sampaikan," lanjutnya. Ucapan Bu Shinta pagi tadi benar-benar membekas di benak Gahar hingga kini. Selama ini ia hidup hanya untuk dirinya sendiri, dan setahunya semua orang juga begitu. Lalu kenapa sekarang tiba-tiba Gahar jadi harapan bagi orang lain? Ternyata, Gahar tidak tegas. Ia hanya keras kepala dan menolak mengakui bahwa ia belum siap dengan semua ini. Gahar hanya sengaja galak agar orang lain menghormatinya. Gahar baru menyadari itu beberapa saat lalu, ketika ruang meeting gaduh karena semua orang saling sela menyela argumentasi masing-masing, serta di saat Gahar dimintai pendapat tapi tak bisa menjawab. Dan, yang mengatasi semua kekacauan itu adalah orang lain. Jika bukan karena Bu Shinta, tiga departemen yang mogok kerja hari ini pasti tidak mau kembali bekerja lagi. Gahar memijit pelipisnya yang pusing, alih-alih menghormati, orang-orang di sini jelas sekali menganggapnya remeh. Lalu bagaimana jika bisa memimpin Gunamart jika yang lebih mereka dengarkan adalah orang lain? Di titik ini, Gahar mulai tak peduli dengan harga dirinya di mata Priska. Kepercayaan dirinya untuk membawa Gunamart kembali jaga, telah menguap bersama realita yang ada. Gahar bisa memulai lagi di anak bisnis Gunamart yang lain, toh sejak awal Gunamart telah siap ditutup. Pada semua orang, Gahar meminta diberi waktu tiga bulan. Jika tiga bulan ini ia gagal, maka ia akan mundur. Tanpa memberi tahu bahwa itu juga sama artinya dengan Gunamart akan resmi ditutup secara permanen. Baru dua hari tapi Gahar sudah ingin berhenti. Ia sangat lela. Standar pelayanan dan teori kepuasan pelanggan yang dipelajarinya sama sekali tak berguna karena dalam meeting panas tadi, banyak argumentasi yang tidak Gahar mengerti. Agaknya, Gahar terlalu sederhana memandang permasalahan. Jam 5 sore, Gahar berniat untuk pulang. Ia telah menghubungi temannya untuk mengajaknya minum-minum melepas kepenatan. Namun ia sadar kunci motor Puspa masih ada di kantong celananya. Di situ juga menggantung kunci kamar kost yang mirip dengan miliknya, serta beberapa kunci lain. Benar-benar ceroboh. Kunci-kunci tidak seharusnya dijadikan satu begini. Daripada menunggu-nunggu Puspa yang tak jelas keluarnya kapan, Gahar putuskan untuk langsung mencarinya ke area. Pasti saat ini dia juga sedang bersiap-siap pulang. Gahar langsung bisa menemukan Puspa tengah melayani customer di counternya sendirian. Senyum Puspa mengembang lebar saat menyadari keberadaan Gahar di sana, ekspresi yang tidak pernah Gahar jumpai dari karyawannya yang lain terhadapnya. Hampir semua dari mereka hanya akan mengangguk dan mesem sedikit ketika berpapasan. Sebenarnya, Puspa pun sama, baru kali ini saja dia terlihat senang melihat Gahar. "Pak, toko lumayan ramai hari ini. Orang-orang kayaknya udah pada gajian," ujar Puspa bersemangat. "Kamu kelihatan senang karena itu?" Puspa mengangguk kuat. "Iya, nggak setiap hari soalnya, Pak." Gahar hanya menatap Puspa sesaat tanpa ekspresi. Entah apa yang menyenangkan dari hal itu, toh ramai tidaknya toko, gaji Puspa akan sama. Malah, pekerjaannya bertambah. Salah satu hal lain yang Gahar belum mengerti. Gahar memiting tangan dibalik punggung, masuk ke counter customer service dan berkeliling di spot sempit itu berlagak memeriksa tempat tersebut. "Ada complain apa hari ini?" tanya Gahar, setelah tak berhasil menemukan sesuatu untuk dia complain. "Belum apa, Pak. Cuma ada laporan kalau di dekat area ikan lantainya licik. Tapi tenang aja, laporannya sudah saya teruskan ke cleaning service dan sudah mereka bereskan. Jadi, sekarang aman," terang Puspa padat dan jelas hingga Gahar tidak punya lagi sesuatu untuk ditanyakan. Di tempatnya berdiri, tepatnya di belakang Gahar, Puspa menatap sang bos dengan alis bertaut. Pasalnya Gahar tak juga beranjak padahal tak banyak yang bisa dilihat. Lelaki itu berdiri diam dengan pandangan mengedar ke sekeliling, pada suasana di barisan pos kasir yang lancar tanpa antrean tapi selalu ada orang serta area sekitar. Puspa ingin bertanya apa tujuannya ke sini, tapi setelah maju dua langkah agar bisa melihat wajah Gahar dari samping, Puspa jadi tak tega menyusik kebisuan Gahar karena seperti ada sesuatu yang lelaki itu pikirkan. "Kalau kayak gini kamu bilang ramai, terus sepinya kayak gimana?" Gahar buka suara pada akhirnya. Sontak pandangan Puspa turut mengedar. Jika dibandingkan dengan suasana supermarket besar lain, suasana Gunamart sore ini memang lengang. "Lima tahun saya kerja di sini, Pak, saya pernah ngerasain toko ramai sekali sampai antrean di kasir nyentuh rak padahal pos buka semua. Tapi saya juga pernah ngerasain toko benar-benar customernya cuma bisa dihitung pakai jari dari awal shift saya sampai saya pulang, apalagi belakangan yang kayak gitu hampir setiap hari. Makanya dibanding kemarin-kemarin, hari ini saya bilang ramai." "Ukuran ramai enggaknya toko tetap balik ke sales." "Iya, sih, Pak ...," gumam Puspa, sedikit kecewa dengan respon dingin Gahar padahal Puspa ingin menunjukkan bahwa harapan, meski kecil itu ada. Supaya Gahar bisa bersemangat. Tiba-tiba Gahar bergeming, memutar badannya menghadap Puspa. "Kenapa kamu jaga sendirian? Bukannya harusnya kamus sudah pulang?" "Saya lembur, Pak. "Lembur?" ulang Gahar, seolah ingin memastikan dia tidak salah dengar. "Sebenarnya ... staf yang libur nggak bisa kerja karena dia ada acara adat di kampungnya, terus yang masuk tadi pagi itu yang harusnya shift siang. Jadi ... ya saya isi dua shift hari ini...." Gahar menipiskan bibir, tampak tak suka mendengar apa yang keluar dari bibir Puspa barusan. "Yang punya ide itu siapa?" "Saya sendiri, Pak," jawab Puspa lugas, sebisa mungkin tidak ingin terlihat terpaksa atau dipaksa, melainkan murni keinginannya sendiri. "Saya pikir, sayang banget kalau area elektronik dikosongin. Tadi pas saja jaga aja, saya berhasil jual 20 jutaan." "Terus kalau orang elektronik ternyata nggak masuk, kamu mau ajak temanmu kerja dua shift juga, begitu?" "Enggak lah, Pak. Saya ngikutin feeling aja, dan ternyata benar Bapak bisa membuat mereka kerja lagi, kan." "Nggak ada lagi yang bisa kamu suruh masuk?" "Nggak ada, Pak, kami tinggal bertiga." "Terus nanti kamu istirahat siapa yang ganti jaga?" "Oh, barusan banget sebelum Tina pulang saya udah istirahat makan, jadi nanti malam udah nggak makan lagi." Tak hanya menyipit, kali ini bibir Gahar menggigit dengan tatapan tatapan tajam yang membuat Puspa bertanya-tanya dirinya salah apa. Puspa berharap Gahar akan mengatakan sesuatu, tapi lelaki itu hanya mengeluarkan sesuatu dari kantong celananya dan melemparnya tanpa tenaga ke arah Puspa. Dengan sigap, Puspa berhasil menangkap benda yang tak lain adalah gantungan kumpulan kuncinya. "Bodoh," gumam Gahar sambil berlalu pergi. Puspa mengerejap, benar-benar merasa bodoh sekarang. Dasar aneh, sebentar-sebentar kelihatan tenang, tapi sebentar-sebentar juga cepat marah tanpa alasan jelas. Padahal, bukankah seharusnya Gahar senang dan memiji loyalitas Puspa yang tinggi? *** Hari ini Puspa akan memecahkan rekornya sendiri dengan bekerja total lebih dari 16 jam. Jangan tanya bagaimana tubuhnya terasa sekarang, kakinya benar-benar pegal karena terlalu lama berdiri dan mondar-mandir memeriksa complain-an tentang selisih harga. Baru sebentar duduk, ada yang tukar hadiah. Duduk lagi sebentar, ada yang tanya-tanya. Begitu terus, sampai-sampai Puspa tidak ingat sempat duduk. "Terima kasih, ditunggu kedatangannya kembali," ujar Puspa melepas dua orang customer yang pergi usai menukar hadiah pembelanjaan minimal. Senyum di wajah Puspa seletika hilang bersama menjauhnya kedua orang itu. Ia melirik jam tangannya lalu mengembuskan napas pendek lantaran ia harus bersabar 3 jam lagi. Puspa kira ia tidak akan lapar karena jam 5 tadi sudah makan, tapi ternyata perutnya keroncongan. Jika saja ada Tina atau Yoga bersamanya, jam pasti tidak akan terasa lama karena ada yang diajaknya mengobrol dan bercanda di sela-sela jam tugas mereka. "Duh, ngapain lagi dia jalan ke sini?" gumam Puspa, melihat Gahar berjalan lurus ke arah conternya. Puspa pura-pura melihat ke arah lain, berharap tujuan Gahar tidak ke sini. "Pantas aja kamu ngentengin lembur, kerjaan kamu cuma berdiri doang." "Berdiri doang?" Pupsa nyaris memekik saat tahu-tahu Gahar bicara seenteng itu. Inilah yang paling banyak orang salah kaprah tentang pekerjaannya. Dikira customer service itu bagian paling enak karena kerjaannya nunggu complain-an, sedangkan semua orang berusaha bekerja sebaik mungkin agar tidak ada customer complain. Padahal sekalinya mereka berbuat salah, yang dimaki-maki adalah customer service. Lagipula, pekerjaan customer service tidak hanya sebatas itu. Setidaknya dulu, sebelum departemennya dijadikan satu dengan kasir. "Iya, kalau nggak ada complain kan berdiri doang kayak gini kan." Gahar berjalan santai memasuki counter, lalu duduk di kursi yang ada di sana. Puspa mengelus dadaa, berusaha memaklumi ketidaktahuan Gahar. "Bapak kayaknya harus coba jaga satu shift di sini baru bisa bilang kerjaan di sini berdiri doang." "Kamu kira saya sekurang kerjaan itu apa?" Puspa memutar bola mata. "Kalau sibuk ngapain duduk di sini coba," cibir Puspa bergumam pada dirinya sendiri. "Saya bisa dengar," sahut Gahar yang ternyata bisa mendengar gumaman yang Puspa kira hanya bisa didengar dirinya sendiri. Seketika Puspa pun mengatupkan bibirnya rapat-rapat. "Makan dulu sana, kantinnya udah mau tutup." "Eh?" "Nggak usah ah-eh, ah-eh. Saya suruh kamu istirahat." "Saya udah istirahat tadi, Pak. Lagian kalau saya tinggal, counter siapa yang jaga?" "Saya yang tungguin. Tinggal duduk doang, kan. Doa aja nggak ada yg complain." "Hah?" pekik Puspa kaget. "Ck," Gahar berdecak kesal, bersamaan dengan kepalanya menoleh pada Puspa dan menatapnya malas. "Jangan hah-hah atau banyak tanya. Saya cuma nggak mau kamu pingsan dan saya dilaporkan ke Disnaker karena mengeksploitasi karyawan." "Saya nggak lapar kok, Pa—" Kruuuk! Perut Puspa protes. Lirikan Gahar turun ke perut Puspa, lalu ke atas lagi dan bertemu pandang dengan Puspa yang tengah meringis malu. "Hehe ... Bener, nih, nggak apa-apa saya tinggal, Pak?" "Bukannya saya udah nyuruh kamu pergi dari tadi?" "Oke, oke, saya istirahat sekarag." Puspa angkat tangan tanda menyerah. Lebih baik ia segera menurutinya daripada terjebak di sini dengan Gahar, meski Puspa pasti tidak akan tenang karena meninggalkan orang yang tidak bisa senyum dan tidak tahu apa-apa tentang tugas customer service itu di sana. Karena kalau terjadi apa-apa, yang ujung-ujungnya disalahkan adalah Puspa. "Misal nanti ada yang mau ambil hadiah belanja, Bapak gunting stuknya kayak begini, ya. Simpan aja terus suruh cuatomernya pilih barangnya, nanti biar saya yang catat." "Hmm." Merasa belum tenang, Puspa menuliskan deretan nomor ponselnya di kertas kecil dan menaruhnya di depan Gahar. "Ini nomor handphone saya, Pak. Kalau nanti ada apa-apa, Bapak telepon saya." "Hmm." "Duh, apa lagi ya?" "Puspa, kamu cuma istirahat di office. Bukan pulang. Saya akan marah kalau kamu buang-buang waktu, nggak pergi-pergi." "Iya, saya pergi sekarang." Detik itu juga Puspa langsung menggerakkan kaki cepat-cepat menjauhi counter. Teringat sesuatu, Puspa tiba-tiba berbalik dan membuat wajah Gahar marah. "Apa lagi?!" Puspa mencubit kedua sudut bibirnya sendiri dan menariknya, membentuk senyuman. "Senyum, Pak. Itu tugas utama customer service." Alih-alih senyum, alis Gahar malah makin menyatu, membuat wajahnya makin terlihat galak. "Baiklah, saya nggak ngomong lagi. Pokoknya, jangan lupa senyum ya, Pak." Sebelum membuat Gahar makin marah, Puspa bergegas pergi. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN