17 | Loyalitas Tanpa Batas 1

825 Kata
Sungguh Puspa merasa begitu berdosa saat mengeluh hari ini toko sudah ada customer datang sejak pagi. Tidak ramai, tapi setidaknya ada satu orang di setiap lorong rak. Tadi Puspa sendiri berhasil menjual satu unit televisi, setrika, dan satu teko elektrik. Sejujurnya Puspa amat sangat penasaran dengan apa yang terjadi di office, bagaimana Gahar akan mengatasi masalah ini, dan seperti apa hasilnya. Apakah menemukan titik tengah yang memuaskan semua pihak, atau Gahar akan tetap batu—tidak mau mendengar orang lain dan merasa paling benar hanya karena memangku jabatan tertinggi di Gunamart Bali. Puspa sungguh berharap Gahar bisa setenang tadi pagi dalam menjalani sisa hari ini yang ia yakin sangat menguras pikiran dan emosi. Saat Puspa sedang mendampingi seorang Ibu-ibu yang tengah melihat-lihat mesin cuci, Puspa merasakan perutnya berbunyi keroncongan. Sialan, ia lapar sekali. Tadi pagi ia belum sempat sarapan dan sebelum turun ke area tadi hanya sempat minum dua teguk air putih. Puspa melirik jam di pergepangan tangannya. Wajar saja perutnya mengirim sinyal minta diisi sebab saat ini sudah pukul 2 siang. Entah bagaimana Puspa akan istirahat nanti jika Gahar benar-benar gagal membawa tim elektronik mau bekerja lagi. Lihat saja situasi nanti. Jika ia sama sekali tak bisa bertahan, terpaksa ia harus meningglkan area untuk makan sebentar. Tepukan di pundak Puspa dari arah belakang membuat Puspa sentak menoleh, dan detik berikutnya senyumnya mengembang sangat lebar sampai-sampai ia hampir melompat memeluk orang yang menepuk pundaknya barusan itu saking senangnya. Orang itu tak lain adalah Angga. Jika Angga bisa berada di sini, bukankah itu artinya di office telah terjadi kesepakatan baik? "Seneng banget? Udah nggak sabar mau istirahat, ya?" ujar Angga turut tertular senyum Puspa meski tak selebar Puspa senyumannya. Puspa mengangguk kuat, mengiyakan. "Tapi itu nomor dua. Nomor satu yang bikin aku senang melihat kamu itu karena kamu balik kerja lagi. Pak Dodi yang suruh, kan?" Kali ini giliran Angga lah yang menganggukkan kepala. "Di antara atasan pasti terjadi omong-omongan." "Bagus, bagus," ujar Puspa, menepuk-nepuk pundak Angga ringan. "Aku tadinya juga mau bolos hari ini, tapi setelah aku pikir-pikir lagi kayaknya kurang etis. Dulu aku masuk ke sini dengan sopan, masa pas keluar nggak pamitan." "Tapi, kan, mestinya kamu beda cerita, Pus. Kamu udah dikasih surat pemecatan. Justru aneh banget kalau kamu masih kerja." "Aku nggak jadi dipecat, kok," jawab Puspa penuh percaya diri sebab ada Prisil yang menjamin umurnya di Gunamart. "Kemarin kayaknya Pak Gahar sedang sensi, mungkin mirip-mirip cewek kalau sedang PMS, kali ya makanya bawaannya emosi melulu. Makanya aku nggak jadi dipecat," lanjut Puspa, demi menjawab kernyitan tanya yang tercetak di dahi Angga. Entah jawabannya itu mencerahkan atau makin membuat Angga bingung karena sejujurnya Puspa sendiri cuma asal mengarang. Ia yakin Angga pasti akan makin bingung jika ia menjawab jujur. "Baguslah." Angga menganggukkan kepala satu kali. "Kamu pasti senang, kan, nggak jadi dipecat?" Puspa menghela napas pelan, seiring dengan bibirnya mengerucut. "Sejujurnya sampai tadi pagi, aku masih mikir buat cari tempat kerja baru. Aku syukuri aja lah masih bisa kerja di sini meskipun harapanku udah nggak sebesar dulu," ungkap Puspa yang kini seolah berada di ambang batas angara optimis dan pesimis. "Kamu sendir gimana, Ngga? Apa sama kayak yang lain mulai mikir resign?" "Rencanaku begitu," jawab Angga. "Masalahnya cari kerja kan nggak gampang, apalagi kebanyakan sekarang pakai sistem kontrak. Aku dan kamu termasuk yang beruntung karena udah jadi pegawai tetap. Kalaupun toko kita tutup, kalau kita mau kita bisa dipindahkan ke toko lain. Tiga atau enam bulan itu cepat banget, Pus, nggak kebayang dalam periode itu aku mesti deg-degan apa kontrakku dilanjut atau enggak. Kalau enggak, cari lagi kerjaan baru. Capek lagi, adaptasi lagi, dan mungkin ngulangi nasib yang sama lagi." Jujur saja, Puspa tidak berpikir sejauh itu. Namun perkataan Angga menambah keyakinan Puspa untuk bertahan dan berjuang dibawah kepemimpinan Gahar. "Nah, iya. Makanya selagi toko ini masih bisa gaji aku, aku coba sabarin dulu." "Akan lebih bagus kalau toko ini ramai lagi, tapi apa ya bisa? Store managenya aja nggak bisa kerja." "Baru juga sehari—eh, sehari segengah Pak Gahar kerja, kita belum kenal dia. Siapa tahu dia punya gebrakan? Nggak mungkin, kan, dia jauh-jauh dari Jakarta ke sini cuma buat nungguin toko bangrut." Puspa berusaha menyuntikkan sugesti positif pada Angga, dan juga pada dirinya sendiri agar bersabar. "Terus, Pak Dodi bilang apa pas tadi nyuruh kamu kerja?" tanya Puspa penasaran. "Nggak banyak, tadi papasan di office, dia masih kelihatan bete. Tapi pas aku tanyain, katanya Pak Gahar udah minta maaf." "Pak Gahar minta maaf?!" pekik Puspa spontan, sedetik kemudian ia memukul bibir, menyesali kecerobohannya. Sungguh Puspa tidak percaya Gahar mau minta maaf di saat tadi dia lebih terlihat seperti ingin memakan manusia tapi coba ditahan-tahan. Puspa sangat tidak menyangka. "Ya udah, Ngga, aku makan dulu. Coba cek deh di komputer, tadi ada barang keluar dan semua udah aku catat. Aku tinggal, ya." Tanpa menunggu respon Angga, Puspa langsung beranjak dari tempatnya. Gadis itu berjalan cepat meninggalkan area toko, ingin cepat-cepat sampai di office, barangkali ia bisa menggali informasi lebih banyak.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN