Saat Puspa kembali dari minimarket, rupanya Oliv sudah ada di kostnya. Pintar sekali dia, tanpa disuruh, dia bawa mobil ayahnya.
“Kak Pus!” teriak Oliv dengan wajah berseri-seri, tak lagi sok galak seperti tadi pagi. Saking tidak sabarnya Puspa mendekat, Oliv yang lari-lari kecil menghampiri Puspa dan mengambil alih satu botol yang dibawanya. Sementara tangan satunya menggandeng lengan Puspa. “Kak Pus, udah tinggal di sini aja. Nan“Nyaman lah. Apa aku ikut pindah ke sini juga kali, ya?”
ti aku bakal sering-sering main kalau Kak Pus tinggal di sini.”
“Apaan, sih?” Puspa melepas gandengan Oliv. “Kamar lembab kayak gitu mana nyaman ditempatin.”
“Heh, apaan, sih, Liv. Aneh banget kamu.”
Oliv tertawa-tawa sendiri seperti orang gila sebab tidak jelas apa yang ditertawakan. “Kak Pus udah kenalan sama tetangga sebelah, belum?” Oliv menunjuk kamar tepat di sebelah kamar Puspa, suaranya tiba-tiba berubah jadi menyerupai bisikan.
“Belum lah.”
“Kenalan, yuk.”
“Heh, Ool!” tegur Puspa, belum apa-apa sudah lelah meningkahi kecentilan Oliv.
Oliv mengerucutkan bibir sebal. “Ih, jangan panggil Ool.”
Puspa hanya bisa geleng-geleng tak habis pikir. “Jangan bikin malu aku ya, Liv. Otak kok isinya cowok melulu. Lagian katanya dia juga baru masuk hari ini.”
“Oh ya?” Oliv lalu bergumam takjub. “Wah … kenalan, gih, kak. Ganteng banget, tahu. Tadi pas aku baru sampai, aku hampir tabrak dia. Aku baru mau kejar buat minta maaf tapi dia keburu masuk ke kamarnya.”
“Terus kalau dia ganteng emang kenapa? Yang jelek kayak Nando aja yang ngejamin setia, apalagi yang ganteng dan banyak cabe yang goda?” Puspa merasa keren saat mengatakannya, seolah-olah dia tidak mudah silau akan rupa. “Udah, buruan sana katanya tadi mau ojolin makanan. Kita ke sarang buaya abis kasur aku datang.”
***
“Kak Pus, Ojolnya udah di depan!”
“Iya, ini keluar!”
Gahar memejam frustrasi. Suara pemilik seseorang yang dipanggil ‘Kak Pus’ sedari tadi sagat mudh Gahar kenali. Suara itu milik Puspa Dewinta. Jadi inilah sebab mengapa mereka bisa bertemu di minimarket tadi dan Gahar sempat mengira gadis itu sedang membuntutinya, tentu saja karena mereka tinggal di tempat yang sama.
Sungguh, kenapa tidak ada satu pun urusannya di Bali yang berjalan mulus? Seolah tak cukup dengan harus tinggal di tempat jelek ini, Gahar juga harus bertetangga dengan Puspa, di saat besok Gahar ingin mengakhiri mengakhiri takdir mereka besok. Gahar hanya mengeluh, ia tidak benar-benar ingin mengusir Puspa dari sini juga, melainkan ia lah yang akan pergi dari tempat ini. Gahar akan menghubungi teman-temannya untuk meminjaminya uang. Sungguh, ini tempat terburuk yang pernah Gahar tingali.
Saat Surya bilang kamar ini siap ditinggali, Gahar sudah kapok menaruh espektasi tinggi. Tak jauh beda seerti bayangannya. Di kamar ini telah ada dipan kayu dengan kasur springbed yang entah telah dipakai berapa orang, lemari dua pintu, sebuah meja dan kursi, televisi LED 24 inch yang menempel di dinding, serta sebuah kipas angin.
Tadi secara tak langsung Surya secara tersirat seakan ingin Gahar berterima kasih padanya lantaran dengan budget 500 ribu rupiah, bisa mendapatkan kamar kost dengan kamar mandi dalam. Mengingat instruksi Priska sangat jelas, tidak peduli bagaimana tempat kostnya asalnya tidak melebihi budget tersebut.
Tok! Tok! Tok! Seseorang mengetuk pintu kamar Gahar, awalnya ia sengaja tidak merespon agar dikira tidur atau sedang tidak berada di kamar. Namun, orang itu terus mengetuk dengan tidak tahu malu.
Dengan sangat terpaksa, akhirnya Gahar membukanya. Di balik pintu itu, ada seorang gadis muda dengan kedua tangan yang memegang sebuah kotak kertas yang sepintas terlihat seperti kotak makann.
“Halo, Kak. Ini ada sedikit makanan dari kakak saya sebagai tanda perkenalan, dia hari ini pindahan di sebelah.”
“Gue nggak terima makanan dari orang asing.”
“Eh—“ Dengan gesit gadis itu menahan pintu saat Gahar hendak menutupnya. “Makanya itu kenalan dulu, kan mau jadi tetangga. Masak tetanggak nggak saling kenal.”
“Bawa aja, ya, gue udah makan,” jawab Gahar baik-baik, berharap gadis itu langsung mengerti.
“Dimakan nanti malam juga bisa, kok.”
Gahar mendesah malas. “Sekarang gue tanya, tetangga yang lain dapat, nggak?”
“Eh … itu …,” Oliv meringis bingung mau jawab apa. Tidak mungkin dia mau langsung mengakui bahwa makanan ini merupakan modus agar bisa kenalan dengan tetangga ganteng Puspa.
Niat Oliv tersebut terbaca jelas oleh Gahar. “Kasih ke yang lain aja. Tetangga dia kan nggak cuma gue, tuh kenalan ke yang lain juga. Mau berhubungan baik kok pilih-pilih. Bisa mundur sedikit? Gue mau tutup pintunya.”
Dan, benar saja. Begitu Oliv selangkah mundur, pintu itu langsung ditutup tepat di depan muka Oliv. Jika orang lain memperlakukannya seperti itu, Oliv pasti akan marah. Berhubung Gahar ganteng, ia jadi sedih. Dengan langkah lunglai, Oliv kembali ke kamar Puspa.
“Kak Pus …,” lirih Oliv.
“Kenapa kamu?” tanya Puspa yang baru keluar dari kamar mandi. “Kenapa makanannya kamu bawa balik? Orangnya nggak ada?”
“Ada ….”
“Terus?” Puspa mengambil posisi bersila di lantai, siap membongkar makanannya. Ia sudah lapar sekali.
“Dia banting pintu di depan muka aku.”
“Hah?”
“Karena dia nggak mau terima makanannya.”
“Alasannya?”
“Katanya nggak terima makanan dari orang asing.”
Puspa mendengus, tertawa tanpa suara saking lucunya. Ternyata orang angkuh dan tidak bisa menghormati orang lain itu sangat banyak populasinya di Indonesia, di Negara yang konon orang-orangnya paling ramah sedunia.
Awas saja. Jika benar kata Bu Widia kalau tetangganya itu karyawan baru Gunamart, bukan hal yang sulit bagi Puspa untuk memerinya kesulitan. Dan, saat hal itu terjadi, Puspa tidak akan sudi menolongnya.
Puspa berdehem, melegakan tenggorokannya, bersiap-siap mengeluarkan suara lantang agar terdengar tetangga sebelah kamar. “Ya udah, Liv, kamu nggak usah sedih. Emang nggak semua orang kok pantas dapat kebaikan kita. Kita doain aja mereka biar hidupnya lancar, jadi nggak perlu minta tolong ke orang lain.”
“Iya, benar, Kak Pus,” sahut Oliv tak kalah lantangnya. Semoga Kak Pus terhindarkan, deh, dari orang-orang kayak gitu.”
Di dalam kamarnya, Gahar yang mendengar itu hanya bisa geleng-geleng kepala tak habis pikir dan masa bodoh.
***
Puspa meradang, marah bukan main. Pengambilan barang-barangnya di kos Nando benar-benar lancar, tanpa hambatan, semua barang terangkut ke dalam mobil hanya dalam waktu kurang dari 15 menit saja. Tolong jangan ada yang bertanya, bukankah itu bagus, karena Puspa justru meras terusir. Bagaimana tidak sama dengan diusir kalau saat Puspa dan Oliv tiba di sana, barang-barangnya sudah terkemas di dalam dua buah koper besar miliknya dan sisanya terkemas dalam dua buah plastic besar warna merah. Barang-barang itu telah siap diangkut di depan pintu, tak jauh beda seperti sampah yang menunggu diangkut.
Dengan pengecutnya Nando maupun selingkuhannya tidak ada di sana saat Puspa dan Oliv tiba. Barang-barangnya ini dititip ke tetangga. Sungguh pasangan yang sangat beradab memang.
Puspa dan Nando pacaran baik-baik, menjalani hubungan pacaran Puspa selalu memberi yang terbaik—perhatian, kasih sayang, dan tidak perhitungan uang. Lalu sekarang Puspa main ditendang. Yang menyeleweng siapa, yang dipermalukan siapa. Dasar buaya pengecut.
Meski diiringi keluhan-keluhan Oliv, sesi angkut dan menurunkan barang terbilang cukup lancar. Lantaran terlalu kelelahan baik secara pikiran dan fisik, semalam Puspa tidur dengan sangat nyenyak. Tidak sempat memikirkan kemungkinan kamarnya ‘berpenghuni’ mengingat telah kosong berbulan-bulan. Keesokan harinya ia bangun dengan badan segar, siap bekerja.
Hari ini Puspa disuruh managernya bertukar jadwal dengan rekan setimnya untuk kerja shift pagi. Sebagai seorang leader di timnya, Puspa harus ikut briefing menyambut datangnya sang store manager baru Gunamart. Puspa sengaja berdandan lebih niat dan memastikan penampilannya benar-benar prima untuk memberi kesan pertama yang baik di depan atasan barunya tersebut.
Puspa keluar kamar dan langsung melihat seorang lelaki merenggangkan badan, seperti baru bangun tidur. Puspa menyipitkan mata, meyakinkan diri bahwa ia tidak salah mengenali. Meski hanya baru dari tampak samping, Puspa yakin dengan pengelihatannya. Saat pandangan lelaki itu tertoleh ke arah Puspa, dia tidak tampak terkejut sama sekali.
“Kamu lagi?” ucap Puspa mengungkapkan keherannya. Ia tahu Denpasar memang sempit, tapi rasa-rasanya tak sesempit daun kelor. Gadis itu kemudian manggut-manggut sembari melipat tangan di daada. “Sekarang nggak aneh lagi. Jadi kamu yang udah banting pintu di depan adik aku?”
Gahar menatap Puspa sebentar, sebelum mendecakkan lidah dan berbalik badan kembali ke hamar.
“Hei, tunggu,” cegah Puspa, berjalan ke depan kamar lelaki itu. “Jangan songong-songong jadi orang. Kamu karyawan baru di Gunamart, kan?”
“Karyawan baru?” ulang Gahar, sedikit tak terima disebut ‘karyawan’ sedangkan perusahaan tersebut saja berdiri menggunakan nama belakangnya.
Puspa berdecih meremehkan. “Udah, nggak usah pura-pura. Bu Widia yang bilang kamu pindah ke sini karena akan kerja di Gunamart. Kamu udah tahu kan, aku juga kerja di sana? Saranku, perbaiki sikap kamu kalau mau kerja di sana karena separuh jobdesk kita itu ramah ke customer.”
Gahar hampir saja menyemburkan tawa yang mendengar pesan Puspa jelas-jelas adalah omong kosong, ketika Gahar melihat sendiri bagaimana sebagian besar karyawan yang ditemuinya tidak menjalankan SOP dengan benar. Termasuk tidak senyum ke customer.
“Kamu ketawa?” pekik Puspa merasa tersinggung. “Kamu ngejek aku, ya? Hei, asal kamu tahu, aku sudah kerja lima tahun di Gunamart. Jabatan aku sekarang Leader Customer Service. Kalau aku mau, aku bisa aja melaporkan sifat kamu ini ke atasan. Kamu mau hari pertamamu kerja jadi hari terakhirmu kerja??” ancam Puspa. Ia tidak sungguh-sungguh ingin menghentikan keran rejeki orang lain, terlebih ia sangat tahu bagaimana sulitnya mencari kerja sekarang-sekarang ini. Ia hanya ingin lelaki ini tahu dan belajar bahwa dengan sikap dingin dan angkuh seperti itu tidak akan bisa membuatnya bertahan di dunia kerja bidang apa pun.
“Kalau aja kamu bisa sedikit lebih ramah ke aku, harusnya kan bagus kita tetanggan. Aku bisa jadi teman pertama kamu di tempat kerja dan bantu kamu beradaptasi lebih cepat di Gunamart. Berhubung kamu aja seperti nggak level nyebutin nama ke aku, aku anggap kita nggak pernah ketemu sebelumnya,” lanjut Puspa menekankan.
“Apa lo udah selesai bicara?” Akhirnya Gahar mendapat sela untuk angkat suara.
“Nggak usah sok Jakarta la-lo gua-gue. Orang mana, sih, kamu? Asal kamu tahu itu nggak bikin kamu kelihatan keren, malah norak tahu, nggak?”
Gahar memejam menahan kesal. “Bisa kita urus diri kita sendiri-sendiri aja? Lo nggak perlu peduli kalau gue kelihatan norak.”
Puspa megap-megap, setelah ceramah panjangnya. Lelaki ini tidak sadar-sadar juga. “Oh, oke., kalau di tempat kerja nanti ada apa-apa, jangan harap minta bantuan aku. Ingat, kita nggak saling kenal.”
“Ya, mari kita lihat nanti siapa yang butuh siapa,” ujar terakhir Gahar sebelum menutup pintu di depan muka Puspa.