03 | Puspa Tergoblok

1530 Kata
“Kak Pus kok bisa g****k banget, deh. Sumpah.” “Aku nggak g****k! Memang dasar Nando-nya yang bejat.” “Nggak belajar-jelajar dari pengalaman, apa namanya kalau bukan g****k? Ibaratnya, nih, kalian udah makan dan tidur seranjang, masih aja kamu kecolongan?” Seketika Puspa menelan kembali segala kalimat penyangkalan yang telah ada di ujung lidahnya. Mendadak ia terdiam, merenungi ucapan Oliv, adik sepupunya yang beldum genap 20 tahun tapi terdengar lebih paham dan matang urusan percintaan dibanding Puspa yang sudah 25 tahun hidup di dunia. Keputusannya untuk mendatangi Oliv ternyata salah. Tadinya ia berharap akan mendapat penghiburan serta teman untuk memaki-maki Nando, mengingat karakter Oliv yang sering kali meledak-ledak untuk hal sepele. Siapa sangka Oliv malah menceramahinya, sambil mengatai g****k segala. Puspa menghela napas lalu mendesah lemah. “Iya, aku memang g****k banget,” aku Puspa dengan cepat sadar diri. Benar kata Oliv, cuma orang g****k yang tidak bisa belajar dari pengalaman. “Pulang ke kost?” tanya Oliv saat Puspa bangkit berdiri sembari menyangklong tasnya. Puspa menggeleng pelan. “Terus mau ke mana?” Puspa terdiam, belum yakin ia harus ke mana. Semua barang-barangnya ada di kost Nando, tapi ia masih mual tiap mengingat tempat itu. Ia belum siap untuk menginjakkan kaki di sana. Sayangnya, ini bukan perkara siap tidak siap. Melainkan memang tidak ada pilihan. Puspa tetap harus mengambil barang-barangnya sesegera mungkin dan melanjutkan hidup dengan lebih hati-hati, jangansampai penalaman diselingkuhi terulang lagi dan bertambah jadi ketiga kali. Sebuah ide tiba-tiba tertetus. “Clubbing, yuk?” ajak Puspa pada Oliv. Selain urusan percintaan, Oliv juga lebih berpengalaman dalam urusan pergaulan. Di hari gadis itu punya KTP, dia menggunakan KTP-nya pertama kali untuk masuk club malam, meski besoknya dia dimarahi orangtuanya habis-habisan. “Enggak,” tolak Oliv seketika. Puspa mengerutkan kening karena tak biasanya Oliv langsung menolak tanpa pikir-pikir. Oliv lalu mendesah lemah. “Besok aku masih UAS, aku mesti belajar karena kalau IPK-ku turun, aku nggak jadi ganti handphone baru.” Gantian Puspa yang mendesah, memaklumi anak muda seusia Oliv kebanyakan menaruh kebanggaan diri pada benda-benda. Semuanya harus serba bermerek dan terkini. “Ya udah, aku jalan sendiri.” “Eh, serius mau sendirian?” cegah Oliv yang hanya diangguki Puspa. “Jangan-jangan, cewek yang udah sering clubbing aja serem ke club sendirian. Ini Kak Pus nekat banget mau jalan sendiri padahal nggak pernah clubbing.” “Enak aja. Aku pernah diajakin Nando dua kali.” “Oh, yang pas polos banget pesannya lemon tea itu?” Refleks Puspa menggeplak kepala Oliv. Di saat Puspa sedang berduka lara, bisa-bisa dia masih sempat mengejek Puspa. Puas melihat Oliv cemberut sebal, Puspa pun beranjak pergi dari kamar Oliv. Sebut lah Puspa itu cupu. Ibarat ingin menjadi ikan padahal dia takut dengan lautan. Jika bukan karena Nando, Puspa mana mungkin berni menginjakkan kaki di club malam. Sejak dulu, saat teman-temannya alay-alaynya ingin merasakan gaulnya dunia malam, Puspa terlalu takut dengan segala hal negatif yang identik dengan tempat tersebut. Hanya Nando yang berhasil membawanya ke sana meski tak berhasil membuat Puspa mau mencicipi minuman beralkohol. Hampir semua orang bilang hanya Nando yang berhasil membawa Puspa keluar dari tempurung kura-kuranya. Siapa sangka Puspa yang dulunya penakut bisa berani tinggal satu kost dengan pacarnya. Yang tidak orang-orang tahu adalah, Puspa masih perawan. Itulah yang sempat membuat Puspa sangat mengagumi Nando karena lelaki itu bisa menghormati komitmen kolot Puspa bahwa keperawanannya akan ia berikan kepada lelaki yang menikahinya padahal mereka tinggal di kost dan tidur di ranjang yang sama. Kini jelas sudah mengapa Nando cukup hanya dengan cuddling dan petting, itu karena dia melakukan pelepasan di lubangnya Selly. Saat Puspa sedang bersiap menaiki motor, Oliv berlarian keluar rumah mengejarnya. Di menghadang tepat di depan Puspa. “Kak Pus beneran mau clubbing?” “Iya lah,” jawab Puspa dengan sangat yakin. Ia ingin menunjukkan ke diri sendiri bahwa ia tidak butuh Nando. “Pakai baju kayak gini?” Sesaat pandangan Puspa menunduk, baru ingat kalau ia pargi tanpa ganti baju. Masih lengkap memakai seragam kuning berlogo Gunamart serta rok hitam selutut dan sandal jepit. “Yang penting nggak telanjang. Minggir, deh,” sergah Puspa telah sangat yakin dengan keputusannya. Ia ingin melakukan sesuatu yang gila untuk merayakan kegoblokannya. “Enggak, nggak boleh pergi. Aku nggak percaya Kak Pus bisa jaga diri.” Oliv merentangkan kedua tangan menghadang Puspa. “MINGGIR NGGAK?!” “NGGAK!” “Ada apa sih, ribut-ribut?” seru Mama Oliv dari teras rumah. Perhatian Oliv pun teralih. “Ini Ma, marahin Kak Pus, masa dia—“ Dan, kelengahan Oluv dimanfaatkan Puspa untuk tancap gas kabur. Di belakangnya, Puspa masih bisa dengar suara teriakan geregetan Oliv. “KAK PUSSS ….” *** Kepala Gahar mendadak nyut-nyutan, bukan karena afek minuman beralkohol yang diminumnya atau pun musik yang terlalu memengkakkan telinga. Melainkan karena ia telah memastikan bahwa gadis yang sudah setengah teler itu benar-benar memakai seragam Gunamart. Warna seragam serta logo di punggung atas sangat terlihat jelas. Gila saja, tujuan Gahar kemari untuk melepas pre-stress terkait Gunamart, bisa-bisanya ia bertemu dengan masalah lain Gunamart di sini. “Hei,” panggil Gahar baik-baik di dekat gadis itu. Lantaran tak kunjung mendapat perhatian, Gahar memanggil lagi, kali ini dengan disertai tepukan di pundak. “Hei,” panggilnya lebih keras. Gadis itu akhirnya menoleh. Matanya menyipit dengan wajah sepenuhnya merah. Dia mabuk berat. “Ah, kamu bukan Nando.” "Hei," panggil Gahar lagi. “Maaf, bukan lonnte," jawab gadis itu acuh tak acuh, sambil meneguk minumannya. Gahar memejam frustrasi, ia tengah kesadaran yang tak utuh, Gahar dipaksa waras megurus gadis sialan ini. “Kerempeng begini, siapa yang akan percaya kalau lo l***e. Keluar. Lo nggak boleh keliaran di sini pakai seragam kerja.” “Aduh, cerewet banget kayak Oliv. Yang penting nggak telanjang.” “Ya mending lo telanjang sekalian!” teriak Gahar lepas kendali. Gadis itu memicing, di saat itu lah Gahar merasa femiliar dengan wajah ini. Mata Gahar otomatis diarahkan ke bawah, tepat pada badge name di daada kiri gadis itu. Di sana tertulis Puspa Dewinta, seketika Gahar menunjuk budge name tersebut, teringat bahwa dia adalah staff customer bodoh yang melayaninya siang tadi. Plak! Wajah Gahar terlempar ke samping saat tahu-tahu karyawan bodoh itu menamar wajahnya dengan sangat keras hingga menimbulkan jejak panas di pipi Gahar. “Dasar, semua laki-laki sama aja. Sukanya sama yang telanjang-telanjang. Di depan sok bilang menghormati, padahal di belakang celup-celup sama cewek lain!” "Ih, pegang-pegang—" Suara Puspa tercekat akibat cegukan, Puspa mendorong daada Gahar menjauh, lalu tiba-tiba mencengkeram baju Gahar dan menariknya mendekat hingga wajah mereka kini hanya berjarak sejengkal. Gahar mengernyit karena napas Puspa bau alkohol. "Tapi ... kalau dilihat-lihat, kamu lebih ganteng dari Nando. Tukang selingkuh, nggak? Kalau enggak pacaran sama aku aja gimanaaa," rancau Puspa terkikik-kikik sendiri. Bibir Gahar menipis menahan emosi, dengan mudah ia mampu menepis tangan Puspa dan mendorongnya menjauh. Sepertinya Gahar tidak mendorong terlalu kencang, tapi itu membuat Puspa hampir jatuh terjengklang dari kursinya. Dengan sigap Gahar berhasil menahannya. “Keluar.” Gahar telah bersiap menarik gadis itu turun dari stool chair bar. "Kalau gue yang jadi pacar lo, juga juga pasti akan selingkuh." "Hua ... hiks ...." “Ap—“ Gahar mengerejap tergagap lantaran Puspa tiba-tiba menangis kencang hingga beberapa orang di sekitar memperhatikan mereka padahal suasana sangat ramai dan berisik. “Ada apa, Har?” dua orang teman Gahar datang menghampiri. Gahar hanya menggeleng tak mengerti. Tangis Puspa makin menjadi-jadi. “Semua cowok sama aja. Tukang selingkuh. Emang dasar kalian makhluk burung, nggak betahan diam di kolor sebelum halal. Hua ...,” tangis Puspa melemah dan nyaris terjengklang untuk yang kedua kali dari kursinya. Gahar menoleh ke sekeliling, mencari orang yang kiranya datang bersama dia. Tapi sepertinya dia datang sendiri dan kini Gahar pusing gadis diapakan gadis ini. “Eh eh eh, mau ngapain lagi?” Gahar berseru panik melihat Puspa melepas satu per satu kancing kemejanya. "Telanjang." "Heh, lo udah sinting, ya!" Gahar buru-buru menahan gerak tangan Puspa dan merapatkan bagian yang telanjur terbuka, memperlihatkan dalaman berupa bra warna merah muda. Sempat sempatnya Gahar berdecih, mencibir selera Puspa yang masih seperti anak SMP. “Ikut gue keluar.” Gahar menyambar tas di kursi Puspa dan menyeretnya dengan susah payah ke arah pintu keluar lantaran Puspa sudah semoyongan tak bisa jalan normal.   “Aku mau dibawa ke mana? Aku bukan lonnte,” rancau Pupsta tak berdaya diseret Gahar. “Aduh, aku mau ditelanjangin di mana? Aduh ….” Jika bukan karena seragam Gunamart, Gahar mana mau menghabiskan banyak stok kesabaran untuk menghadapi orang mabuk. Langkah mereka baru berhenti saat Puspa jatuh, tepat saat mereka sudah berad di luar club. Puspa jatuh dalam posisi bersimpuh, kedua dengkul dan kedua telapak tangannya menopang di aspal. Rambut panjang Puspa yang tergerai, jatuh menjunjuntai seperti tirai menutupi kedua sisi wajahnya. Gahar berkacak pinggang melihat ke sekitar, udara segar di luar membuatnya sedikit lebih baik. “Hei,” panggil Gahar lantaran setelah beberapa saat, Puspa tak kunjung bangun. “Ck, hei, bisa berdiri, nggak?” Belum juga ada pergerakan, Gahar dengan sangat terpaksa membungkuk untuk menggoncang pundak Puspa. "Heh, lo kenap—" "Hoek!" Puspa muntah dan Gahar teriak murka. ***** Hola, ada orang di sana? komen dong kalau ada yang mau kawal si g****k Pus sama si emosian Gahar
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN