11 | Gunamart Bukan Milik Gunawan

1748 Kata
Pikiran Puspa mendadak kosong sesaat setelah Bu Ayu menyuruhnya datang ke ruangannya untuk menyqmpaikan informasi penting. Dari sekian hal yang Puspa pikirkan sepanjang langkahnya dari area menuju ruang HRD, tidak pernah sekalipun terbersit pikiran bahwa informasi tersebut adalah informasi tentang pemecatan dirinya dari Gunamart. "Ibu juga merasa pemecatan saya nggak masuk akal, kan?" ujar Puspa, membaca ekspresi penuh sesal di wajah Bu Ayu. "Maafkan saya, Pus. Saya udah coba meyakinkan Pak Gahar buat mempertahankan kamu, tapi ...," Bu Ayu tak kuasa melanjutkan dan hanya menggeleng lemah. Bahu Puspa terjatuh lemas. "Saya udah lima tahun kerja di sini, Bu. Udah dua kali ganti store manager dan saya masih bisa kerja. Tapi kenapa store manager ketiga ini langsung memecat saya padahal belum 24 jam dia bekerja, sedangkan saya sudah lima tahun di sini?" Puspa sadar, tak tepat jika ia mempertanyakan hal itu pada Bu Ayu, dia hanya memproses dan menyampaikan perintah atasan. Namun, jika bukan pada Bu Ayu, Puspa tidak tahu harus bertanya pada siapa. "Oke, saya membuat kesalahan. Tapi apa harus langsung pecat? Kenapa nggak ngasih aku SP 1 dulu sebagai peringatan? Potong gaji, tambah jam kerja, atau dihukum apa lah. Saya nggak bisa terima, saya akan ngomong langsung ke Pak Gahar." Puspa mendorong surat pemecatan dirinya yang tadi disodorkan Bu Ayu. "Mohon maaf, saya menolak tanda tangan." "Puspa, jangan," cegah Bu Ayu, tepat saat Puspa hendak bangkit dari duduknya. "Percuma, dia nggak mau mendengarkan siapa-siapa. Sudah, terima saja keputusan ini. Cari pekerjaan di tempat yang lebih baik dan terjamin, dengan pengalaman dan kinerja kamu, saya yakin kamu nggak akan sulit mendapat pekerjaan baru. Gunamart sudah nggak seperti dulu lagi, Pus ...," Puspa menggeleng tak setuju. "Bagi saya Gunamart masih sama, Bu. Nggak peduli siapa store managernya atau bagaimana situasinya. Selama masih beroperasi, artinya masih ada harapan di sana dan menjadi sumber penghidupan buat ratusan karyawannya." Bu Ayu hanya menatap Puspa sesaat dan menghela napas pelan, dia tahu betapa keras kepalanya Puspa dan tidak bisa menghentikannya. Puspa lalu permisi pergi, ia membawa langkahnya ke ruang store manager dan melalui kaca tembus pandang di pintu, untungnya Gahar sedang berada di dalam. Tampak tengah serius menekuri sesuatu di layar komputernya. Namun, saat Puspa hendak mengetuk pintu tersebut, langkah heboh segerombolan beberapa manager mengalihkan perhatiannya. Sejurus kemudian gerombolan itu merangsek membuka pintu ruangan Gahar tanpa merasa perlu mengetuknya lebih dulu. Puspa mengerejap, sepertinya ia bukan satu-satunya orang yang ingin memprotes Gahar. Puspa pun merapatkan telinga ke dekat pintu dan mengintip situasi di dalam melalui kaca. Diserbu empat orang manager, diantaranya ada Pak Dodi, Gahar tampak sangat tenang. Dia menyenderkan punggungnya di senderan kursi sehingga lebih leluasa menatap 4 orang yang berdiri marah di depan mejanya. Puspa berjingkat terkejut tiba-tiba ada yang menepuk pundaknya dari belakang, lebih kaget lagi lantaran yang bicara itu adalah Bu Shinta. "Kamu ngapain?" tanyanya dengan alis terangkat. Puspa meringis tak enak hati ketahuan mengintip. "Kalau nggak lagi istirahat, balik ke area sana. Malah keliaran di office." Puspa mendesah pendek dan terpaksa angkat kaki. Kalau yang menegurnya ini siapapun asal bukan Bu Shinta, Puspa pasti berani merayunya atau malah mengajaknya menguping bersama. Berhubung ini Bu Shinta, Puspa tidak mau main-main dengan nyawa. Padahal Puspa penasaran sekali apa yang membuat para manager itu menerobos masuk ruangan Gahar. * Puspa menghabiskan sepanjang sisa jam kerjanya dengan tak tenang, ya bagaimana Puspa bisa tenang kalau keberlangsungan pekerjaannya terancam. Bahkan yang tidak benar-benar telah diancam surat pemutusan hubungan kerja seperti Puspa pun merasa terancam, setidaknya itu topik 'ada lowker, nggak?' makin santer dibicarakan pada jam istirahat tadi. Ya, mana mungkin karyawan biasa bisa tenang jika manager mereka terang-terangan skeptis terhadap masa depan Gunamart di tangan Gahar. "Hah ...." Puspa melirik Tina yang barusan mendesah sambil menopangkan dagu bosan di counter mereka. "Berdiri yang benar, awas lho diawasin store manager baru lewat CCTV." Sontak Tina menegakkan badan dan melirik ke arah CCTV yang menyorot counter mereka dengan takut-takut. "Jangan nakut-nakutin dong, Kak." Puspa hanya melirik Tina sekilas. "Ngapain mesti takut? Bukannya kamu udah mau resign?" "Kak Puspa yakin nggak mau cari-cari kerja juga?" tanya Tina entah sudah yang ke berapa kalinya sejak gonjang-ganjing kebangkrutan Gunamart." "Bukannya ini kita lagi kerja?" Dan, jawaban Puspa juga selalu sama. "Di tempat baru, belum tentu lebih baik dari di sini." "Tapi bisa jadi lebih baik juga, kan?" "Ya kalau menurutmu di sini nggak bisa ngasih apa yang kamu cari, kamu bisa cari ke tempat lain. Tapi kalau buat aku pribadi, aku udah mendapatkan semuanya dari Gunamart." Tina mendecakkan lidah. "Aku nggak ngerti, deh, sama Kak Puspa. Kok bisa segitu cintanya sama Gunamart." Dalam hati Puspa hanya tersenyum. "Anggap aku udah terlalu nyaman jadi malas cari yang baru," jawab Puspa dengan jawaban paling aman sehingga tidak perlu menimbulkan pertanyaan lanjutan. "Terus kamu serius bakal resign kalau udah dapat kerja?" "Iya dong, aku mau resign terhormat, aku yang ninggalin Gunamart bukan Gunamart yang depak aku. Nggak mau lah kayak Kak Puspa ...," sindir Tina pura-pura tak sadar Puspa tengah meliriknya tajam. Saking kesalnya tadi, Puspa tidak bisa menahan diri untuk tidak menumpahkan kekesalannya ke seseorang dan kebetulan yang paling memungkinkan saat itu hanya Tina. Salah satu staff customer service juga. "Enak aja, aku nggak didepak, ya! Nggak akan pernah kalau alasannya cenderung sentimen pribadi. Tadi semua departemen kena kritik, kok, tapi kenapa cuma aku doang yang dipecat? Malah si Liana lebih parah sebenarnya, dia nggak greeting, genit, dan ngatain dia pelit." "Emang kenapa si Pak SM sentimennya cuma ke Kak Pus aja?" "Ya karena ...." Ucapan Puspa menggantung di udara, mendadak ragu mau terbuka. Bisa-bisa muncul kehebohan jika ada yang tahu Puspa pernah clubbing pakai seragam kerja dan ditolong oleh Gahar, lalu mereka bermalam di satu kamar hotel yang sama. Siapapun yang mendengar itu pasti langsung mengira yang bukan-bukan, meski kenyataannya Puspa masih segelan. Puspa juga tidak mau dinilai over proud jika memberi tahu jika Gahar adalah tetangga kost tepat di sebelah kamarnya. "Karena apa, hayo ...," todong Tina berlagak menyepit curiga. "Bukan karena Kak Puspa yang kegeeran, kan?" "Heh! Kamu pikir aku ini apaan?" tegur Puspa berusaha membuat dirinya segalak mungkin. Bukannya merasa bersalah, Tina malah terkekeh menertawainya. "Santai aja kali, Kak. Orang cuma bercanda. Eh, tapi biasanya kalau tersinggung itu artinya ...." Puspa memutar badan dan berkacak pinggang di depan Tina, maksud hati ingin membuat Tina terintimidasi, tapi sepertinya itu tidak terlalu berpengaruh berhubung mereka sudah kenal lumayan lama dan Tina sangat tahu bahwa Puspa marahnya cuma di luar saja. Tina cengengesan. "Iya iya, Kak Puspa yang cantik, baik, dan primadona Gunamart, ampun. Peace." Tina mengangkat jari telunjuk dan tengahnya membentuk huruf V. Tok! Tok! Suara seseorang mengetuk meja counter membuat Puspa dan Tina menoleh secara bersamaan, di sana ada Angga. "Masih bisa ya kalian bercanda di keadaan kayak sekarang?" "Aku lagi marah, tahu," dengus Puspa. "Ngapain ke sini?" tanya Puspa. "Udah jam setengah 5, kamu nggak pulang?" Sontak Puspa mengecek jam di pergelangan tangannya. "Oh iya, udah jam pulang. Tapi biasanya pulang jam lima, nanti ketahuan manager kita ribet lagi." "Ini Pak Dodi kok yang suruh." "Oh ya?" tanya Puspa setengah tak percaya. Pasalnya jika ketahuan ada yang buru-buru pulang, biasanya mereka akan kena sindir tidak loyal terhadap perusahaan. Angga pun menganggukkan kepala. "Iya, makanya ayo, ngapain masih di sini." "Cie Kak Angga," goda Tina. Sementara Puspa memelototi Tina, Angga hanya tertawa meningkahi candaan Tina. Puspa dan Angga memang sangat akrab di tempat kerja hingga banyak yang mengira mereka punya hubungan apa-apa, makanya agar tidak ada kesalahpahaman, Puspa memakai fotonya dengan Nando sebagai foto profil di semua akun sosial media miliknya. Lalu saat kemarin ia putus, Puspa ternyata tidak menyesal pernah memakai foto mereka berdua sebagai foto profil karena dengan menghapusnya kemarin Puspa menganggap itu sebagai simbolisasi menghapus masa lalu. Dan, secara mengejutkan seremoni kecil itu ternyata membuat Puspa bisa melewati masa awal patah hatinya dengan lebih tabah. Ya, memangnya apa yang mau ditangisi dari lelaki yang terpergok selingkuh oleh kedua matanya sendiri. "Ya udah, yuk pulang," ajak Puspa, sekalian mau mencari Gahar. Kalau tetap belum juga ada kesempatan untuk menemuinya, terpaksa Puspa akan menggedor pintu kamarnya nanti malam. "Na, aku pulang dulu. Jangan kebanyakan main hape. Terus yang tadi aku cerita, jangan bilang ke siapa-siapa. Kalau sampai ada yang tahu berarti kamu ember bocornya," pesan Puspa pada Tina. "Iya iya, Kak. Udah sana pulang. Eh jangan langsung pulang, mampir cari sunset lah yaa. Kak Angga, pepet terus, Kak. Jangan sampai keduluan yang lain lagi." "Nggak usah didengar, Ngga, dia makin berani ngeledek karena aku terlalu penyabar." Puspa keluar counter dan menghampiri Angga. "Duluan ya, Tina. Selamat ngantuk-ngantuk." Tina tertawa. "Kak Angga tahu aja." Puspa mengajak Angga cepat-cepat pergi karena ada hal yang ingin ditanyakannya mengingat tadi Angga sempat menyinggung bahwa Pak Dodi lah yang menyuruhnya pulang. "Ngga, Pak Dodi ada bilang sesuatu nggak tentang SM baru?" tanya Puspa setengah berbisik sambil berjalan menuju office. "Tadi aku lihat dia, Pak Agus, Pak Tri, sama Pak Ferry masuk ke ruangan Pak Gahar kayak orang siap ngajak tawuran." "Oh ...," gumam Angga yang Puspa asumsikan berati dia sudah tahu. "Ceritain, Ngga," pinta Puspa bersungguh-sungguh ingin tahu. "Sebenarnya nggak mau ngajak tawuran juga, mereka terpaksa nyamperin langsung ke ruangannya karena Pak SM susah diajak bicara," jawab Angga sepotong yang membuat Puspa makin penasaran. Sebelum melanjutkan, Angga sempat menoleh ke sekeliling memastikan situasi di lorong menuju office yang tengah mereka lewati ini hanya ada mereka berdua saja. "Mereka merasa Pak SM belum siap buat jabatannya ini, kayak dia nggak tahu mesti ngapain, cuma galak dan pamer kekuasaan doang. Nah, habis dia bubarin meeting tadi pagi, Pak Dodi minta ada meeting lagi buat bahas rencana kerja dan target yang dia kasih. Mereka nggak masalah sama target 500 juta sehari itu, yang mau mereka tanyakan itu gimana cara mencapainya." "Terus Pak Gahar nggak mau meeting, gitu?" "Dia bilang akan mengatur jadwal meeting lagi, tapi dia masih yakin sekali kalau masalah kita itu di pelayanan yang buruk makanya customer pada kapok belanja dua kali di sini." Puspa mengangguk-angguk sangat mengerti. Dari bagaimana Gahar memecatnya saja menandakan bahwa dia belum layak menjabat sebagai pimpinan. Entah apa tujuan Gahar turun ke toko kecil ini setelah selama ini hidup bergelimang harta dengan segala kemudahan dan kenyamanan sebagai anak keluarga Gunawan, tapi yang jelas ini bukan tempat yang cocok untuknya. Puspa pikir, ia tidak bisa diam saja jika keberadaan Gahar justru menjadi hambatan baru bagi Gunamart. Walaupun Gunamart adalah 'milik' keluarga Gunawan, bukan berarti mereka bisa mereka boleh seenaknya mengelola. Kehilangan satu cabang Gunamart mungkin tidak akan mempengaruhi kekayaaan keluarga Gunawan sama sekali. Tapi bagi Puspa dan puluhan karyawan yang masih bertahan, bisa jadi Gunamart adalah tumpuan terbesar.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN