Bunyi benturan dua benda beda jenis, menyusul suara pekikan tertahan Puspa. “Cheers.”
“Ck, ah …,” desah Puspa meminum minumannya.
Gahar hanya menggeleng tak habis pikir, Puspa berlagak seolah-olah tengah minum minuman beralkohol kuat padahal yang diminumnya hanya jus jeruk dalam kemasan yang terkenal rasanya sangat masam. Sementara Gahar menyusul meneguk minumannya sendiri, yaitu bir dalam kemasan botol kaca. Ditambah lagi dengan pembawaan Puspa yang ceria dan sedikit beda dari teman Gahar kebanyakan.
"Gue masih ada satu botol di dalam, yakin nggak mau?"
Puspa menggeleng pelan sambil meringis kecil. "Terima kasih tawarannya tapi terima kasih deh, Pak. Kalau nggak lagi patah hati, saya nggak mau minum alkohol."
Tawa Gahar sontak meledak kuat, membuat Puspa melotot sembari melirik sekitar. "Jangan kencang-kencang, ganggu orang tidur aja."
"Ya lagian, kenapa cuma pas patah hati doang coba? Buat gue, ini sama aja kayak Coca Cola."
"Asal kamu tahu, aku juga nggak kuat minum minuman bersoda."
"Lucu juga lo."
Puspa mendecakkan lidah. "Beneran. Aku nggak bercanda."
"Ya ya ya, terserah." Gahar tidak menanggapi terlalu serius pengakuan Puspa yang sebetulnya tidak sepenuhnya kebohongan itu. Gahar meminum minumannya lagi hingga dalam sekejap isi botol itu hanya tinggal setengah. "l“Lo tahu sekarang apa yang gue pusingin, Pus?"
“Gimana cara naikin sales, kan?” tebak Puspa dengan mudah.
“Udah jelas banget, ya?”
“Kamu ke sini bukannya memang buat itu?” Puspa teringat penggalan percakapannya dengan Prisil tempo hari lalu. “Bu Prisil sempat sedikit cerita tentang kamu, makanya aku sedikit tahu. Tujuan kamu dan kami semua yang masih bertahan di Gunamart mungkin beda, tapi harapan kita sama. Kamu ingin Gunamart bangkit biar dipercaya duduk di kursi lebih tinggi, sementara kami cuma ingin menyambung hidup tanpa ribet.”
“Itu sih artinya Kak Prisil cerita semua,” cibir Gahar. "Tapi enggak, yang paling bikin gue pusing sekarang adalah gimana biar bisa nambah karyawan. Gue udah coba mengusulkan, tapi semua orang menentang. Katanya kita nggak bisa nambah anggaran kalau sales masih kayak sekarang."
"Ya, memang," sahut Puspa enteng, seolah hal itu bukan informasi baru. "Kami semua udah di fase pasrah, udah capek ngeluh dan merengek minta ditambahin orang. Karena biarpun nggak ada yang belanja, tanggung jawab kami sama aja ada atau nggak ada orang."
“Kalau gue jadi kalian, gue akan cari kerjaan lain. Kalau serius cari, pasti ada lowongan di tempat lain. Lingkungan kerja kalian udah sangat buruk. Gimana bisa seorang atasan memperlakukan orang sakit seolah-olah sakit itu kesalahan."
Entah apa yang menggelitik, Puspa tiba-tiba tersenyum. "Kamu nggak akan pernah jadi kami. Walaupun semua fasilitas kamu ditarik, tetap aja kamu itu anaknya Pak Gunawan." Gahar mendesis sebal, tapi sebelum Gahar melayangkan protesnya, Puspa lebih dulu menambahkan. "Ya udah ya udah, ayo kita berandai-andai aja. Kalau seandainya aku jadi kamu, aku nggak akan pusing-pusing mikirin beban kerja sama tenaga yang ada, yang penting neraca masih aman. Semua pengusaha pasti mikirnya begitu."
Rahang Gahar mengetat, lelaki itu tak bisa menampiknya. Namun, ada sisi dalam dirinya yang menolak terima. Bayangan wajah-wajah lesu karyawan menjadi beban pikirannya sejak kemarin. Ia merasa marah kenapa Puspa dan mungkin yang lain juga harus bekerja lebih keras dari bayaran yang mereka terima, dan puncaknya adalah tadi ketika Puspa pingsan tapi masih dicurigai cuma akal-akalan agar mendapat istirahat ekstra. Gahar kini telah mengerti mengapa pelayanan di Gunamart sangat buruk dan tidak ramah, yaitu karena semua orang lelah. Mereka bekerja dibawah tenakanan beban kerja, apa yang semestinya dikerjakan dua orang, menjadi tanggung jawab satu orang. Juga bawah ancama bayang-bayang penutupan yang bisa terjadi sewaktu-waktu.
Ya, alasan mereka tetap bertahan di situasi itulah yang barangkali tidak akan pernah bisa Gahar mengerti sebab meski hanya senadainya, ia tetaplah anak seorang Gunawan. Sesungguhnya Gahar juga tidak mengerti dengan perasaannya sendiri, padahal untuk apa juga ia peduli? Ia hanya perlu menunggu tiga bulan berlalu, lalu kehidupannya akan kembali seperti semula.
"Beri tahu gue kenapa lo menolak keras pas gue pecat?"
"Karena merasa nggak akal aja—"
Gahar menggeleng, menghentikan ucapan Puspa. "Bukan itu, gue tahu ada alasan lain. Alasan sebenarnya lo kekeh ingin bertahan di Gunamart." Setidaknya, itulah kesan yang Gahar dapat sewaktu Bu Ayu berusaha menghentikan niatannya memecat Puspa.
Puspa terdiam sesaat, bukan terlihat seperti sedang mencoba mengarang jawaban. Melainkan menimbang-nimbang apakah ia perlu mengatakannya atau tidak. Lalu kemudian Puspa menoleh dan memberi Gahar senyuman kecil. "Karena Gunamart penyelamat hidupku."
Kening Gahar berkerut, menuntut penjelasan lebih banyak dan lebih jelas. Namun tampaknya Puspa merasa cukup dengan satu kalimat tanggung tersebut. "Penyelamat gimana?" desak Gahar. "Karena udah ngasih lo pekerjaan?"
"Hmm ...," gumam Puspa berlagak berpikir sambil manggut-manggut kepala. "Kurang lebih?"
"Ck, nggak jelas," dengus Gahar kesal-kesal sendiri akibat telanjur dibuat penasaran. Lelaki itu yakin banyak lebihnya yang entah apa alasannya, Puspa enggan membeberkan.
Gahar minum minumannya lagi, dengan pandangan mendongak ke langit malam. Puspa yang mencetuskan ide buruk ini—minum bersama. Kenapa Gahar bilang buruk? Karena paduan rokok, gerimis, minuman, serta pendengar membuatnya merasa nyaman. "Gue tahu semua orang sekarang meremehkan gue. Mereka pasti sedang nontonin gue dari jauh, terus dalam hatinya bilang, 'ayo lihat, anak manja itu bisa apa'. Kayak yang lo bilang, gue adalah anaknya Gunawan, semua hal sangat mudah gue dapatkan. Karena itulah gue yakin, untuk yang satu ini, gue juga pasti bisa lakukan. Karena darah Gunawan mengalir di tubuh gue."
"Apa?"
"Mengembalikan masa kejayaan Gunamart lah, memangnya apa lagi?" decak Gahar sebal lantaran Puspa merusak narasi keyakinannya. "Meskipun gue belum menemukan caranya, gue harus bisa menghidupkan tempat itu lagi sehingga semua orang di dalamnya bisa beneran 'hidup'."
Jika orang lain yang mendengar, ucapan Gahar barusan pasti akan dicibir habis-habisan. Dianggap hanya omong doang. Namun tidak dengan Puspa, ada keyakinan dalam dirinya yang mengatakan bahwa Gahar layak dipercaya.
"Iya, lakukan itu," ujar Puspa, membuat Gahar kembali menoleh ke arahnya sehingga kini tatapan mereka bertemu di satu garis lurus. "Meski semua orang meremehkan, aku akan mendukung kamu. Karena aku juga ingin hidup di bawah Gunamart."